Chapter 46

251 21 13
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kaindra Batara

Saat meminta persetujuan Dokter Colin untuk membawa Senja keluar rumah sakit, gue memang sudah siap akan banyak hal. Meski pada awalnya tidak mendapatkan izin. Di bantu dengan Papa dan Pram untuk bicara, akhirnya Dokter Colin dengan berat hati memberikan waktu meski beberapa jam saja. Dan mencoret taman bermain sebagai tempat yang tidak untuk di kunjungi.

Semua gue dan keluarga lakukan semata untuk memberikan dukungan kepada Senja. Kita sama-sama tahu dia tidak ingin di perlakukan seperti orang yang akan mati. Dan juga kita tidak tahu keputusan apa yang akan Tuhan berikan kepada jalan hidup Senja.

Jadi, gue sama sekali tidak menyesali keputusan membawa Senja keluar. Menghabiskan waktu bersamanya walau hanya sebentar. Meski berujung tubuhnya yang ringkih itu kembali masuk ke dalam ICU.

Gue duduk di ruang ICU tepat di samping ranjang. Dengan doa yang tidak hentinya terucap untuk kesembuhan Senja setelah wanita itu menjalani operasi lain untuk mengeluarkan cairan yang menekan otaknya. Sedangkan besok akan di lakukan operasi besar untuk mengangkat tumor di kepalanya. Ya Tuhan, membayangkan saja gue tidak tega. Tubuh kurus itu menanggung rasa sakit berkali-kali dari penyakitnya dan juga pengobatan yang dia jalani.

Sementara keluarga Senja dan beberapa temannya yang menyusul, mereka menempati sebuah kamar yang menjadi fasilitas rumah sakit. Sedangkan keluarga gue sedang dalam perjalanan kemari saat mendapat kabar tadi, semuanya bergegas memesan penerbangan tercepat.

Ruangan ICU dipenuhi isak tangis dari keluarga dan teman yang silih berganti masuk karena dari Dokter menyarankan tidak boleh banyak orang. Dari Papa yang menangis sambil bercerita tentang penyasalannya di masa lalu sampai teman-teman Senja yang mengulang cerita masa sekolah mereka. Gue mendengarkan semua ketulusan yang mengharap untuk kesembuhan Senja.

Hingga ruangan itu menjadi hening kembali saat jam sudah memasuki waktu dini hari. Gue angkat satu tangan Senja lalu mengecup punggung tangannya yang sudah seperti tulang berbalut kulit saja.

"Kamu tahu nggak? Kalau dipikir-pikir, rasanya aku sudah tertarik sama kamu saat pertama kali kita ketemu. Di bar dan juga di kafe itu, kamu selalu mencuri perhatian aku."

Gue merasakan sentuhan lemah dari tangan yang tergenggam. Satu bibir gue tertarik ketika kelopak mata Senja bergerak terbuka sayu.

"Kai..?"

"Hmm...?" Gue mengecup punggung tangannya berkali-kali dengan rasa syukur yang menggunung.

"Maaf ya."

"Kamu nggak perlu minta maaf, Senja."

"Kamu juga nggak perlu merasa bersalah karena udah ngajakin aku keluar rumah sakit."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 27, 2023 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Our Last SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang