Chapter 13

133 23 11
                                    

Kaindra Batara

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Kaindra Batara

Gue melempar asal jas di kursi belakang kemudi. Memosisikan diri di balik stir dengan lengan kemeja yang tergulung. Saat keluar dari halaman kantor, kemacetan jalanan ibu kota menyambut. Tidak heran di jam segini waktunya orang-orang pulang dari kerja.

Saat mobil berhenti di tengah kemacetan, sekali lagi gue mengecek pesan di grup keluarga Batara. Sedari tadi grup tersebut memang tengah berisik. Mereka yang sedang ada di rumah bergantian mengirim foto kebersamaan di sana. Foto mereka tengah memasak, foto Oma yang sedang menghias kue, ada pula vidio tiktok dari kedua ponakan kembar gue yang sedang berjoget. Dan kali ini Mami mengirim foto Senja yang mengenakan apron tengah tersenyum. Duduk dengan tangan tertumpuk di atas meja sembari menatap kedua ponakan kembar yang tengah mencicipi cookies.

Sudut bibir gue tertarik dengan sendirinya. Ketika klakson mobil di belakang berbunyi, gue menancap gas kembali. Kali ini ada perasaan tidak sabar untuk cepat-cepat sampai. Demi membunuh kebosanan dan perasaan aneh yang tiba-tiba muncul sejak melihat foto Senja, gue memutar musik.

Klalson berbunyi. Menyapa saat Mang Ujang, satpam rumah membukakan gerbang. Gue memarkir asal mobil dan berniat menyuruh Mang Ujang untuk memindahkannya dengan benar. Sejujurnya hal ini gue lakukan karena tidak sabar untuk bergabung bersama mereka yang berada di dalam rumah. Namun langkah gue terhenti bersamaan dengan bunyi dari alarm mobil tanda pintu terkunci.

Pernah tidak berpikir bahwa seseorang yang kalian rindukan menjelma sebagai mimpi buruk yang perlahan-lahan menggeregoti kehidupan kalian sehingga hal itu menjadi lebih jelas. Seperti saat ini ketika gue berdiri mematung, menatap seorang wanita yang tidak tahu dirinya tersenyum begitu anggun. Senyum yang pernah mengisi hari-hari gue. Yang anehnya terasa begitu mencekik sekarang.

Kegetiran kembali merayap, senantiasa menertawakan gue yang tidak pernah bisa belajar untuk melupakan. Bagaimana dia dengan teganya meninggalkan begitu saja.

Sekujur tubuh gue menegang saat dia berjalan mendekat. Wajah terasa kaku menatapnya dengan sinis. Hingga kali ini wujudnya bukanlah lagi mimpi buruk lagi. Wanita ini sedang berdiri tepat di depan. Sedikit menunduk dan gue tersentak saat mendapati seorang gadis kecil tengah mendongak menatap ke arah gue. Dia berbisik pada gadis kecil itu hingga keduanya tertawa. Gadis kecil yang memilik mata indah seperti miliknya. Seolah sebuah tangan menarik kembali ke masalalu. Wajah gadis kecil itu benar-benar menjadi cetakannya tanpa celah.

"Uncle Kai...?"

Gue di dorong kembali ke sebuah realita. Seorang gadis kecil tengah memeluk satu lutut gue. Dia mendongak sembari tersenyum, memamerkan dua gigi depannya yang ompong. Memang sangat menggemaskan jika saja tidak mengetahui siapa orang tuanya.

Tidak ada yang salah dari gadis kecil ini. Seharusnya gue dapat bersikap biasa. Gue bukan tipe pria yang tidak suka anak kecil. Bahkan sebaliknya, sangat menyukai mereka. Tapi yang satu ini berbeda.

Our Last SunsetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang