Bab 3 Trauma ✨️

1.6K 93 13
                                    

Di sebuah ruangan tampak dua santriwati terdiam dengan perasaan cemas menyelimutinya. Mereka khawatir karena semalaman sahabatnya itu belum kembali dari kampus. Tidak ada kabar apa pun dari Anisha bahkan ponselnya saja terakhir dilihat kemarin sore.

Tak enak menyimpan kabar itu sendiri, Habibah dan Dinda segera melaporkan Anisha yang menghilang semalaman. Mendengar kabar itu Umi dan Abi ikut gelisah dan langsung mengabarkan kedua orang tua Anisha.


***

"Apah! Nisha belum pulang semalam? Ya Allah kamu ke mana, nak?" risau Bundanya.

"Sekarang kita ke pesantren, kita harus memastikan." ucap Ayah.

***

Di kediaman Umi, terlihat jelas wajah panik Umi ia gelisah tak karuan. Dengan gemetar ia berkata, "Bagaimana ini Abi? Keponakanku belum juga kembali dari kampus? Benar kan perasaanku semalam tidak enak."

Walaupun sama-sama panik lelaki tua itu berusaha tetap tenang kemudian memeluk istrinya. "Tenang dulu, Anisha pasti baik-baik saja."

Dari balik gorden seorang laki-laki mendengarkan percakapan itu. Fathan terheran ke mana perginya Anisha semalam.

Di waktu yang sama Anisha sudah sampai di dekat gerbang pesantrennya. Kakinya begitu berat untuk melangkah masuk ke tempat suci itu, ia merasa sangat kotor dan malu.

"Lebih baik aku lewat belakang saja." ucapnya.

Keberuntungan sedang ada di pihaknya. Tak ada orang di gerbang belakang. Ia mencoba masuk diam-diam berlari menuju kamarnya. Napasnya lega ketika sudah berada di asrama tersebut. Masih dengan rasa sedih ia mengambil alat mandinya dan pergi ke kamar mandi.

Melihat diri sendirinya di cermin kecil, Anisha membatin, "Ya Allah... rasanya aku tidak pantas ada di sini. Aku benar-benar santriwati terburuk. Aku sangat malu."

Hatinya begitu pedih seakan tersayat pisau melihat kini sekujur tubuhnya dipenuhi tanda yang dibuat oleh laki-laki itu. Dalam tangisan ia merintih, "Sakit... Sakit sekali... Kenapa aku harus berakhir seperti ini? Aku benar-benar kotor!"

Anisha mengguyur tubuhnya dengan air, terasa segar ketika air dingin itu membasahi tubuhnya. Sesaat ia terdiam memejamkan matanya memikirkan kembali kejadian semalam yang sangat memilukan.

"Aku harap itu hanya mimpi buruk." ucapnya.

Di saat yang sama seorang santriwati berlari tergesa-gesa menuju kamar mandi karena sudah tak tahan untuk buang air. Ketika sampai di depan pintu samar-samar ia mendengar suara perempuan menangis. Awalnya ia bergidik ngeri namun akhirnya ia serasa mengenal suara itu.

"Nis? Itu kamu?" Dinda memberanikan diri bertanya.

Tangisan itu berhenti, "Eh iya ini aku Anisha. Kenapa ya, Din?" Balasnya tau itu sahabatnya.

Sesudah membersihkan diri dan menggunakan pakaiannya ia membuka pintu itu. Melihat wajah sahabatnya membuat hati kecilnya tenang. Anisha memeluk sahabatnya itu dengan derai air mata. "Dindaaaa...!"

"Eh kenapa Nis? Kamu kenapa nangis? Tunggu, semalam kamu ke mana? Kenapa tidak pulang? Eh itu kemeja putih siapa? Tumben kamu pakai kemeja biasanya pakai gamis."

Anisha terdiam bingung menjawab apa untuk bisa mengelabuhi sahabatnya itu. Ia hanya bicara terbata-bata yang tentunya tak dimengerti Dinda.

"Sudah nanti saja ceritanya. Sekarang ikut aku dulu bertemu kedua orang tua kamu. Mereka sangat khawatir." ujarnya.

Dalam Dekapan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang