Waktu berlalu, dan perpisahan antara mereka tak bisa dihindari. Anisha menangis saat ia dipeluk oleh Bunda, karena kini tempatnya pulang bukan ke rumah kelahirannya, tetapi ke rumah suaminya.
Bunda mengelus kepala putrinya dan berkata, “Jaga dirimu baik-baik, ya. Doa kami selalu menyertaimu.”
“Apakah aku bisa pulang kapan saja untuk melepas rindu dengan Bunda, Ayah, dan kakak?” tanya Anisha.
“Tentu saja, pintu rumah terbuka lebar untukmu,” jawab Bunda.
Anisha tersenyum melepaskan kepergian keluarganya. Perpisahan hangat itu benar-benar membuat hatinya sesak.
“Anisha, lebih baik kamu pulang bersama suamimu. Nikmati waktu kalian berdua,” kata Bu Fiona dengan tersenyum.
“Kami menunggumu di rumah,” lanjut Pak Edric saat mereka.
“Kami juga! Cepat pulang dan kita bisa bermain bersama,” tambah adik-adik Delfano.
“Baiklah,” balas Anisha dengan tersenyum lebar.
Setelah kepergian keluarga barunya, Delfano menggenggam erat tangan kanannya sambil tersenyum manis terukir di wajahnya. “Yuk!” ajak Fano.
Anisha mengangguk lalu mengikuti langkah Delfano menuju mobilnya lalu berangkat lah mereka ke suatu tempat.
Melihat suasana luar dari kaca mobil membuat matanya terpana. Gadis itu begitu bahagia melihat viu pemandangan.
“Eh Fan berhenti! Ada yang jual makanan tradisional. Aku pengen...”
“Masih lapar?” tanya laki-laki itu.
“Ya-yaudah kalau gak mau.” balasnya cemberut.
Delfano menggelengkan kepalanya melihat tingkah istrinya itu. Mereka pun menepi dan membeli beberapa jajanan jadul lalu kembali ke mobil.
“Ke taman, yuk!” ajak laki-laki itu.
“Yuk! Gak enak kalau makan di mobil, susah....” balasnya.
Sesampainya di taman patung angsa, gadis itu menyantap jajanan nya ditemani Fano yang terus menatapnya.
“Kamu tidak mau ini?” tawarnya memberikan satu potong kue putu.
“Tidak. Aku sudah kenyang melihatmu makan lahap.”
Delfano mengambil botol air dan membuka tutupnya lalu memberikannya pada Anisha.
“Anisha, pernahkah kamu berpikir tentang janin yang ada di kandunganmu? Dia laki-laki atau perempuan, ya?”
“Uhm, terkadang aku memikirkannya. Mau perempuan atau laki-laki yang penting sehat tidak ada kekurangan satu pun.” jawabnya.
“Yah, kamu benar.” kata Delfano mencium pipi kanan gadis itu.
Langit mulai gelap. Sebelum pulang ke rumah mereka singgah ke sebuah masjid untuk menunaikan ibadah salat magrib. Ada satu perubahan yang gadis itu liat dari diri Delfano.
Lelaki itu tidak kaku seperti dulu, mungkin semenjak bergaul dengan Fathan, beberapa kepribadiannya berubah.
“Syukurlah sikapnya berubah jadi lebih baik.” Batin Anisha.
Beberapa jam kemudian mereka sampai di sebuah rumah bak istana dongeng. Para pelayan dan keluarganya menyambut hangat kedatangan mereka.
“Kak Anishaaa!” teriak dua adiknya Fano memeluk Anisha.
“Salam kenal kak namaku Agnes. Anak kedua dari empat bersaudara.” ucap gadis berambut cokelat.
“Iya, salam kenal. Namaku Anisha.” jawabnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomanceKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...