"Kenapa Bu Linda panggil aku?" Herannya.
"Mungkin mau bahas lomba MTQ. Beliau kan yang mendampingimu dulu." Tebak Elisa.
Tanpa bertanya lagi gadis itu segera memacu kakinya menuju lantai paling atas. Ada sedikit keraguan dihatinya entah kenapa perasaan takut itu muncul. "Semoga tidak terjadi apa-apa. Tumben Bu Linda manggil aku ke lantai atas, biasanya langsung datang ke ruangannya." Batin Anisha.
Anisha memutar gagang pintu kemudian berjalan masuk. Ia cukup terkejut karena tak ada seorang pun di sana. Gadis itu terus mencari ke kanan dan kiri tidak ada Bu Linda di tempat itu.
"Loh mana Bu Linda?" Anisha terheran.
Seketika langkah kaki terdengar di belakang ia pikir itu Bu Linda namun ternyata....
"Apakah pinggangmu masih sakit, Honey?"
Deg!
Jantungnya seakan berhenti sepersekian detik mendengar suara itu. Kakinya gemetar dan tangannya begitu dingin. Ketika melirik ke belakang benar saja orang yang tak ingin dilihatnya malah berdiri di dekatnya.
"Del... Delfano...?!" Sontak gadis itu melangkah mundur.
"Ah jadi kamu sudah tau namaku." ucapnya mendekat.
"Berhenti! Jangan maju lagi." Ucapan itu tak didengar dan malah membuat laki-laki itu melangkah cepat.
Ketakutan itu semakin menjadi karena tau di belakangnya kini berdiri tembok dan dia tak bisa ke mana-mana lagi.
Seketika tangan laki-laki itu berada di samping pipi kirinya, mata cokelat dan senyum yang terpancar semakin membuatnya takut.
"Anisha Sayeeda Misha, nama yang bagus." ucap Delfano tersenyum.
"Maaf, mungkin kamu salah orang. Aku... Aku-"
"Salah orang? Ku rasa tidak." Delfano memotong ucapan itu. Ia juga memperlihatkan sebuah kartu pelajar milik Anisha.
"Itu kan ... Jadi selama ini ada di kamu? Cepat kembalikan!" ucap Anisha meraih tangan kanan laki-laki itu namun sayang tingginya tidak setara dengan tubuh laki-laki itu.
"Benar, kan? Dilihat dari rekasi wajahmu saja sudah menunjukkan bahwa kamu adalah gadis itu." ucapnya lalu mencengkeram pergelangan tangan kanan Anisha.
Sontak gadis itu mendorong paksa laki-laki di hadapannya dan menamparnya dengan sekuat tenaga.
"Dasar bajingan! Jangan sentuh aku!" raut kesal terlihat di wajahnya. Anisha melangkah pergi menuju pintu keluar.
"Tolong jangan ganggu kehidupan ku, lupakan kejadian malam itu." Tegasnya.
Ketika hendak memutar gagang pintu, tubuhnya mendadak membeku mendengar satu kata terucap dari Delfano.
"Lupakan?"
Lelaki itu berjalan mendekat ke arah Anisha dan mendekatkan wajahnya ke telinga Anisha.
"Bagaimana aku bisa melupakannya? Sedangkan kamu sangat menikmatinya juga, bukan?" bisiknya.
Tamparan kedua mendarat di pipi Delfano hingga meninggalkan bekas kemerahan.
"Jaga ucapanmu, ya! Sekali lagi aku katakan, jangan ganggu kehidupan ku!!" ucapnya dengan penuh penekanan. Lalu gadis itu pergi meninggalkannya.
"Hahahaha...! Aku suka sikapnya yang seperti itu. Tamparan tadi sama seperti malam itu. Sungguh gadis yang menarik."
Dengan perasaan campur aduk Anisha menahan air matanya mengingat kejadian tadi. "Dasar laki-laki gila! Dia pikir aku takut, hah?" kesalnya.
"Eh Nis, gimana apa kata bu Linda?" tanya Elisa.
"Ayok cepat ke kantin!" ajaknya ketus.
Melihat reaksi sahabatnya itu membuat Elisa bertanya-tanya. "Lah napa nih anak? Apa Bu Linda abis marahin dia, ya?"
Saat di kantin, Elisa masih tak mengerti melihat Anisha yang setengah kesal tapi juga kelaparan. Ia tak bisa menahan tawa melihat sahabatnya itu.
"Kenapa sih bestie ku sayang? Kamu di marahin Bu Linda?" tanya Elisa menusuk baksonya lalu dimakan.
"Tadi-"
Ucapannya terhenti ketika seorang laki-laki menerobos masuk dan ikut duduk bersama mereka. "Haaa... Kita bertemu lagi, Anisha." ucap Delfano duduk berhadapan dengannya.
"Fan, yang bener kamu mau makan di sini?" tanya Theo.
"Kenapa? Salah? Semuanya penuh hanya meja ini yang kosong." Jawabnya tersenyum menatap Anisha.
"Dia Delfano, kan?" tanya Elisa.
"Bukan, dia orang gila." Jawabnya.
Melihat lelaki itu terus tersenyum sambil menatap sahabatnya membuatnya heran. "Modus aja dia duduk di sini, padahal banyak kursi yang kosong. Atau jangan-jangan karena Anisha?"
"Haaaa... Cukup. Lis, kita pindah saja, yuk!" ajaknya. Melihat sahabatnya berdiri, dirinya pun ikut berdiri. "Ke mana?" tanya Elisa.
"Ah sepertinya kamu tidak ingin aku ada di sini. It's Okay... Tapi ingat, kamu tidak akan lepas semudah itu dariku." ucap Delfano menatapnya dingin.
Anisha tak ambil pusing lalu menarik tangan Elisa dan berjalan pergi. Jelas hal itu membuat Elisa bertanya-tanya akan maksud ucapan laki-laki tadi.
"Nis, tunggu Nis! Nisha aku butuh penjelasan!"
Mereka pun berhenti tepat di depan toilet perempuan. Gadis berjilbab itu mengajak Elisa masuk.
"Hei ayolah aku butuh penjelasan." Elisa memohon.
"Penjelasan apa sih? Sudah ku bilang dia itu orang aneh, gila!" balasnya.
Elisa tak percaya dan bersikukuh bertanya. "Kalau memang tidak apa-apa, kenapa dia bilang kamu tidak bisa lepas darinya?"
Anisha begitu bingung ingin menjelaskan yang sebenarnya atau tidak. Ia benar-benar memutar otaknya untuk mencari jawaban yang mampu membuat sahabatnya itu terdiam.
"Anu itu... Ah Iya dulu aku gak sengaja nabrak dia ja-jadi mungkin dia masih kesal dan punya dendam padaku." Jelas Anisha.
Mendengar penjelasan sahabatnya Elisa membatin, "Bentar ... Dulu? Bukannya dia baru kenal kemarin-kemarin, ya? Fix sih ada rahasia yang ingin dia pendam sendiri."
Tak mau memperpanjang masalah, Elisa mengangguk-angguk saja paham dengan penjelasan sahabatnya.
"Kalau begitu... Kita balik ke kelas, yuk! Bentar lagi mau mulai mana gedungnya jauh dari sini." ujar Elisa. Anisha mengangguk.
Syukurlah Elisa tidak bertanya aneh-aneh lagi, aku harap dia percaya penjelasan ku tadi
Anisha menyamakan langkahnya dengan Elisa.
Waktu berlalu dan pembelajaran berakhir. Terlihat rintik hujan membasahi jalanan. Semakin lama hujan itu turun begitu deras menahan Anisha untuk pulang. Gadis itu mengangkat tangannya membiarkan rintikan hujan membasahi telapak tangannya.
"Bagaimana aku bisa pulang? Mana aku gak bawa payung. Kenapa coba tadi aku gak ikut Elisa?" Batin Anisha.
Sesalnya mengingat sahabatnya itu sudah pulang lebih dulu. Seketika seseorang berdiri di sampingnya sambil membuka payung dan membagi dengannya.
"Ngapain dia berbagi payung denganku?" gumamnya.
"Dasar aneh!" Anisha berjalan pergi menerobos hujan deras itu. Tetapi tak ada setetes air pun menyentuhnya, karena laki-laki itu mengikutinya dengan payung yang masih di pegangnya.
"Mau dia apa sih?" gerutunya.
Gadis itu hanya bisa diam menunggu angkot datang. "Apa kamu tidak punya kerjaan lain?" Anisha membuka obrolan.
Lelaki itu tersenyum, "Ada. Menunggumu."
"Sampai kapan kamu berdiri di sampingku? Pergilah, aku tidak butuh payung darimu." ucapnya ketus.
Delfano terdiam masih dengan senyum yang sama. Ia tak memedulikan sopirnya yang sudah menunggu dirinya. Udara dingin itu menusuk tubuhnya hingga membuatnya gemetar. "Dingin...." ucapnya pelan.
"Mau ikut pulang bersamaku?" tanya Delfano menyadari kondisi gadis itu.
"Tidak, terima kasih." Anisha langsung menolaknya.
Jawaban itu tak membuat Delfano putus asa. Dia tetap menunggu Anisha di bawah hujan yang begitu deras. Bukan tanpa alasan ia tetap menunggu gadis itu, ada hal yang harus ia selesaikan hari itu juga.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomanceKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...