Bab 26 Ketakutan Anisha ✨️

590 50 1
                                    

Beberapa menit kemudian. Perlahan matanya terbuka melihat ruangan yang tak asing baginya.

“Fano?” Anisha cukup terkejut melihat laki-laki itu duduk di sampingnya.

“Anisha... Syukurlah kamu sudah sadar.” ucap lelaki memperlihatkan senyuman manisnya.

Melihat kehadiran Fano membuat hatinya sedikit tenang. Air matanya kembali jatuh melihat wajah laki-laki itu.

“Kamu tau gosip itu benar-benar membuat hatiku pedih teriris! Kenapa aku harus... mengalami ini?” ucapnya sesenggukan. Gadis itu mengadu keluh kesahnya pada Delfano.

Dengan suara rendah dan lembut, lelaki itu menjawabnya. “Tenangkan dirimu, aku janji akan menghapus gosip itu dan mencari tau siapa dalangnya.”

“Heh Delfano, bukan sohibmu yang menyebarkan berita itu?” tanya Elisa berdiri di belakang Fano.

“Bukan. Tapi sepertinya aku tau siapa dalangnya.” Jawab Fano.

“Siapa?” tanya Elisa penasaran.
Lelaki itu hanya terdiam menatap dingin Elisa.

Di saat yang sama, Dinda dan Habibah terkejut bukan main mengetahui berita akan kehamilan sahabatnya tersebar di sosmed.

“Hah yang benar saja? Kenapa bisa tersebar?” Heran Habibah yang baru membuka ponselnya.

“Kita harus temuin Anisha, aku takut dia kenapa-napa.” ucap Dinda diangguki Habibah.

Tak lama kemudian, mereka menemukan sahabatnya yang baru keluar dari ruangan kesehatan itu.

“Anisha!” ucapnya langsung memeluk gadis itu.

“Nis, kamu baik-baik aja, kan? Kandungan kamu gimana?” tanya Dinda membuat Anisha, Delfano dan Elisa terdiam.

Gadis itu tersenyum sambil memegang pundak kanan Dinda. “Apa sih yang kamu ucapkan? Kamu percaya gosip itu? Sudahlah aku baik-baik saja.”

“Tapi Nis–” ucapan Dinda terhenti karena di potong Elisa.

“Nis, sekarang kamu sudah tidak ada matkul, kan?” tanyanya mengalihkan topik.

“Iya.”

“Bagus, aku juga sudah selesai tinggal kelas online saja. Untuk sementara kamu menginap di rumahku saja, ya?” Elisa tampak berharap dengan ajakannya.

Awalnya Anisha ingin menolak tapi melihat kondisinya ini, ia pun memutuskan menurutinya. “Baiklah....”

“Elisa, jaga Anisha.” ucap Fano kemudian pergi meninggalkan mereka berempat.

“Kalau begitu kami pamit dulu, ya. Bye!” kata Elisa melangkah pergi bersama Anisha.

“Kenapa Anisha menepis kenyataan itu? Bukannya benar dia hamil?” tanya Dinda pada Habibah.

“Kata Fathan gitu.” Balasnya.

Bila ditanya sedih, sakit, malu? Oh tentu semuanya bercampur menjadi satu di hati Anisha. Sepanjang jalan gadis itu menangis di hatinya memikirkan konsekuensi kedepannya bila pihak sekolah mengetahuinya.

“Nisha, tenangkan dirimu. Kasihan janin diperutmu.” tegur Elisa lembut.

“Aku sudah berusaha tenang, tapi tidak bisa. Aku takut bila beasiswaku ikut dicabut dan dikeluarkan dari kampus.” balas Anisha khawatir.

“Aku tau aku paham tapi ayolah pikirkan kesehatanmu. Untuk urusan itu tenang saja, aku janji akan bantu buat berita itu lenyap tidak dibicarakan lagi.”

“Benar?” Anisha memastikan.

“Iya Anisha. Sudah kamu tenang sekarang, okey?” ucapnya memeluk sahabatnya itu.


***


Malam pun tiba. Seseorang mengetuk pintu kamar yang ternyata itu adalah pembantu rumah Elisa.

“Maaf eee...”

“Anisha, itu namaku.” ucapnya tersenyum.

“Ah iya Anisha, ini ada mukena dan sajadah. Kata Nona Elisa jangan lupa salat.” ucap Bibi itu.

“MashaAllah Elisa... Iya, Bi, Terima kasih.” Balasnya sembari mengambil mukena itu dari tangan Bibi.

Terima kasih ya Allah, engkau mempertemukanku dengan sahabat seperti Elisa. Walaupun kami berbeda dia tetap menghargai bahkan mengingatkanku akan kewajibanku
Anisha pun melangkahkan kakinya menuju kamar mandi untuk berwudu dan dilanjut salat magrib berharap hatinya tenang setelah curhat dengan Sang Pencipta.

“Bagaimana?” tanya Elisa pada pembantu itu.

“Anisha lagi salat dan saya rasa wajahnya terlihat lesu. Saya khawatir Anisha sakit.” Balasnya.

Mendengar itu, Elisa segera memanggil dokter keluarganya yang biasa dipanggil untuk mengobati anggota keluarga yang sakit.

“Anisha akan menginap di sini, sayang?” tanya Mamahnya.

“Iya, Mah. Kasian Nisha dia lagi banyak masalah. Tidak apa-apa, kan?”

“Oh ya tentu tidak masalah. Tenangkan sahabatmu ya jadi penyemangat dia.” ucap Mamahnya tersenyum.

“Siap, Mah!”

Setelah salat gadis itu merapikan mukenanya, Elisa masuk ke kamar bersama seorang wanita berjas putih yang sepertinya seorang dokter.

“Nis, aku khawatir sama kamu. Kamu cek kondisi dulu, ya.” ucap Elisa memegang pundak kirinya.

“Em... Baiklah boleh.” Balasnya tersenyum.

Sebelum sahabatnya diperiksa, Elisa memberitahu akan kondisi Anisha saat itu lalu menjelaskannya itu pun sudah izin dari Anisha dan meminta untuk dirahasiakan.

“Syukur Janinnya baik-baik saja. Tapi, tolong atur emosi nya, ya? Jangan stress dan depresi, itu tidak baik untuk kesehatan.” Pesan dokter.

“Iya, dok. Terima kasih.” Jawab Anisha.

“Semangat, ya! Oke, ini saya kasih vitamin jangan lupa diminum, ya.”

Gadis itu tersenyum sembari menerimanya. Dalam hatinya ia membatin, “Sehat-sehat, ya, Nak. Kamu harus kuat!”

Waktu berjalan dan kini sudah menunjukkan pukul setengah sembilan malam. Tubuhnya sudah benar-benar lelah namun tidak dengan matanya yang terus terjaga. Anisha masih teringat kejadian di kampusnya tadi.

Seketika ponselnya berdering mengejutkannya. Ketika dilihat itu panggilan telepon dari Delfano.

“Malam Anisha. Lagi istirahat, ya?” ucapnya bernada lembut.

“Assalamu’alaikum.” ucap Anisha.

“Oiya, Assalamu’alaikum warohmatulohi wabarakatuh. Lupa aku. Kamu baik, kan?” tanya Fano.

“Waalaikumsalam warohmatulohi wabarakatuh. Alhamdulillah aku baik. Ada perlu apa kamu menelepon ku?” Anisha balik bertanya keheranan.

“Aku ingin dengar suaramu. Syukurlah kamu baik-baik saja. Kalau sudah salat, langsung tidur, ya. Jangan begadang. Jangan lupa mimpiin aku.” jawabnya yang langsung memutus sambungan telepon itu.

“Eh Fan? Halo Fano? Lah sudah berakhir aja.” ucapnya kecewa.

Bergegas gadis itu salat dilanjutkan dengan membaca Al-Quran. Karena di sana tidak ada Al-Quran, Anisha pun membaca Al-Quran lewat ponselnya.

Perlahan hatinya tenang sedikit melupakan kegundahan dihatinya. Setelah merapikan semuanya, gadis itu merebahkan tubuhnya di atas kasur yang empuk. Tak terasa bulir air jatuh membanjiri pipinya.

“Aku takut. Takut bila semua khayalanku menjadi kenyataan. Di mana aku dikeluarkan dari kampus dan dibenci oleh orang tuaku.”

Anisha tak bisa membayangkan bagaimana kecewanya ayahnya nanti bila mengetahui hal ini. Putri yang sangat disayangi dan dijaganya, harus menerima nasib yang sangat menyedihkan.

“Ayah, Bunda. Semoga kalian tetap menyayangiku walau dengan kondisiku yang seperti ini.” ucapnya lalu memejamkan mata.


***


Tetiba rasa sakit menyerang dadanya. Laki-laki tua itu langsung menghampiri istrinya dan menuntunnya duduk di sofa.

“Bunda kenapa?”

“Tiba-tiba sesak, Yah. Gak tau kenapa.” jawabnya masih memegangi dadanya yang sakit.

“Bunda sudah minum obat?” Laki-laki itu kembali bertanya.

“Sudah. Ayah, apakah Anisha baik-baik saja? Dia sehat, kan?”

“Pasti putri kita sehat. Bunda tenang saja.” Jawabanya mengelus kepala istrinya.

Anisha sayang... Semoga kamu selalu sehat dan kuat menghadapi segala masalah yang datang. Bunda selalu mendoakanmu

Dalam Dekapan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang