Bab 21 Keluarga Pianis ✨️

710 57 1
                                    

Waktu berjalan terasa begitu cepat. Gadis itu menyadari lama juga mereka rapat hingga jam sudah menunjukkan pukul 19.20 WIB.

Elisa langsung menggandeng lengan sahabatnya dan mengajaknya pulang bersama. “Bareng yuk! Tapi nunggu gak apa-apa? Sopir aku ada kendala soalnya.”

“Aku...” ucapan Anisha terputus saat Ravel mendahuluinya.

“Kelamaan itu mah. Mending sama aku aja, yuk! Searah ini jalannya, ke pesantren Nurul Iman kan?”

“Tidak apa-apa. Aku bisa pesan ojek online. Terima kasih ya. Aku duluan.” Ucap Anisha tersenyum lalu melangkah pergi.

Udara malam itu benar-benar menusuk kulitnya. Berkali-kali Anisha meniup tangannya menciptakan rasa hangat walau sesaat.

Baru beberapa langkah dari gerbang utama gadis itu dikejutkan dengan kedatangan mobil hitam pekat berhenti di dekatnya. Bukannya motor yang datang mengapa malah mobil mewah itu yang dipikirkannya.

Pintu mobil terbuka, tampak sosok laki-laki berjaket hitam menghampirinya. Ternyata itu bukanlah kendaraan pesanannya melainkan Delfano yang datang menjemputnya.

“Ayo pulang, aku antar.”

“Gak mau! Aku udah pesan ojek online.” Jawabnya ketus.

“Kamu tidak usah takut, di dalam ada sopirku, kita tidak berduaan. Lagian ini sudah malam, kamu yakin tidak mau pulang?” Dengan lembut Delfano membujuknya.

“Ada yang mau aku bicarakan. Tenang saja, aku tidak akan melukaimu. Kalau kamu merasa terancam, kamu boleh memukulku, aku tidak akan melawan.” Ucapnya meyakinkan argumentnya.

“Baiklah. Aku ikut.” Balasnya kemudian masuk ke dalam mobil bagian tengah.

Sepanjang perjalanan hanya sunyi yang menemani mereka. Hingga tiba-tiba suara perut Anisha tidak bisa dikondisikan.

“Pak Den, kembali ke restoran.” Pinta Fano.

“Baik tuan.” Sopir itu memutar balik jalannya dan kini menuju sebuah restoran.

“Eh tapi,”

“Kamu lapar kan? Kebetulan aku juga lapar, bagaimana kalau kita mampir ke restoran milikku?” Delfano tersenyum menatapnya.

Tak lama terlihat bangunan mewah dipenuhi cahaya terang menghiasinya. Anisha benar-benar tak percaya bahwa restoran itu adalah milik Delfano.

Kedatangannya disambut hangat oleh karyawan di sana dan langsung dilayani dengan baik. Sembari menunggu makanan tiba, Anisha teringat akan pemberian Delfano sewaktu di kampus.

“Terima kasih bunga dan makanannya. Bagaimana kamu tau aku suka bunga lavender?” Tanya Anisha penasaran.

Mendengar itu Delfano hanya tersenyum di sudut bibirnya lalu menjawab, “ Rahasia.”

“Anisha. Kamu bisa jujur sekarang. Apa yang membuat hatimu ragu? Apakah di matamu aku seperti monster? Aku ingin memperbaiki semuanya, ku mohon maafkan aku.” Delfano langsung memulai obrolannya.

Melihat mereka berada di barisan jauh dari keramaian, cukup membuat Anisha berani mengatakannya.

“Bukan seperti itu. Setelah melihat perlakuan lembut dan perhatian darimu, aku berpikir kamu memang tulus untuk bertanggung jawab.”

“Aku bersungguh-sungguh Anisha. Aku ingin memperbaiki kesalahanku. Lantas, apa yang membuatmu ragu?”

“Fano, aku juga bingung dengan diriku sendiri. Aku takut orang tuaku kecewa, aku takut tidak ada yang mau menjalin hubungan serius denganku jika bukan dengan dirimu. Mereka pasti akan berpikir jijik padaku. Aku tidak mau hidup bersama orang yang melukai batinku. Tapi jika bukan denganmu siapa lagi? Siapa yang mau denganku yang sudah kotor ini.” Tanpa sadar air matanya jatuh seiring kalimat yang diucapkannya.

Dalam Dekapan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang