Ketika asyik menikmati kopinya, Pak Ucup dibuat kaget oleh klakson mobil yang dibunyikan. Security itu langsung mendorong gerbang utama pesantren dan membiarkan kendaraan itu masuk.
Dibukanya pintu mobil, tampak seorang laki-laki dengan sorban melingkar di lehernya berjalan mendekat.
“Assalamualaikum, kak. Tumben kak Farel minta ketemuan. Ada apa?” Fathan menyambut kedatangan Farel.
“Waalaikumsalam warohmatulohi wabarakatuh. Kamu sudah baca pesanku, kan? Ada yang mau aku bicarakan.” Balas Farel.
Mendengar nada Farel yang terkesan serius, Fathan langsung mengajak ke rumahnya. Obrolan itu mereka teruskan di ruang tamu rumah Fathan. Lelaki itu dapat merasakan dengan jelas bahwa Farel sedang memendam amarahnya.
“Kau sudah tau masalah Anisha kan? Aku mau bawa kasus ini ke jalur hukum.” Farel memulai pembicaraan.
Fathan tersentak mendengar keinginan itu. “Kak, apakah kakak punya bukti untuk memberatkan kasus itu? Polisi tidak mungkin langsung bertindak jika tak ada bukti jelas.”
“Aku tidak terima adikku seperti itu. Dia kembali merasakan trauma masa lalunya, aku gagal untuk kedua kalinya. Mungkin yang pertama Anisha baik-baik saja tapi sekarang....”
Fathan paham apa yang dirasakan sepupunya itu karena ia juga merasakan hal yang sama mengingat kejadian masa lalu Anisha.
“Lalu apa rencana kakak?” Tanya Fathan.
“Tunggu, bukti? Bagaimana kalau kita pergi ke tempat kejadian itu? Mungkin kita bisa mendapatkan bukti. Lalu setelah itu aku bisa seret Delfano ke penjara!”
Fathan tidak yakin dengan rencana sepupunya itu namun ia tetap mengiyakannya. Tepat pukul sembilan pagi, mereka berangkat menuju lokasi tersebut.
Dengan bermodalan cerita yang Anisha jelaskan dulu dibantu pemandu jalan dari ponselnya, kini mereka sampai di tempat tujuan itu.
“Anisha benar, di dekat Bar.” ucap Fathan sembari memerhatikan bangunan itu.
“Anisha bilang persis depan Bar ini, tapi apa yang bisa dijadikan bukti?” Pandangannya terhenti di satu titik di mana ada cctv terpasang di toko seberang.
Farel segera mendekati toko itu diikuti Fathan yang penasaran. Mereka pun masuk ke sebuah toko pernak-pernik lalu pergi menemui pemiliknya.
Dengan sopan dan penjelasan maksud dan tujuannya mereka akhirnya diizinkan untuk melihat rekaman cctv itu. Dicari punya cari belum ada rekaman hari di mana kejadian itu terjadi.Sampai akhirnya mereka menemukan satu rekaman yang kemungkinan itulah yang dicarinya.
“Putar yang ini, pak.” Pinta Farel pada pemilik toko itu.
Apa yang dicari mereka selama ini akhirnya membuahkan hasil. Sepanjang rekaman itu diputar Farel menahan emosinya melihat adiknya ditarik paksa ke dalam mobil.
Melihat raut wajah Farel yang sudah berubah, Fathan meminta menghentikan rekaman itu dan hanya meminta salinannya.
“Tenang, Kak. Mari kita kembali, tahan emosi kakak.” ucap Fathan.
Hari semakin sore. Mereka hanya menemukan satu bukti dari rekaman itu saja. Saat perjalanan pulang, Fathan masih memikirkan akan rencana sepupunya itu.
“Apa aku bilang rencana ini ke Anisha, ya? Bagaimana jika rencana kak Farel malah gagal?” Batin Fathan lalu melirik ke arah Farel.
“Kakak yakin dengan ini? Bagaimana jika mereka malah kembali menyerang kita? Mereka itu keluarga berada kak.”
“Aku tidak peduli. Pokoknya laki-laki itu harus masuk penjara!” Farel tetap pada pendiriannya.
Fathan menghela napasnya mendengar jawaban itu. Memang sulit bila berbicara dengan Farel terlebih lagi menyangkut adik tersayangnya.
“Kak, bagaimana jika kakak melaporkannya setelah kedatangan Anisha? Lagi pun pastinya butuh kesaksian korban juga selain bukti, dan Delfano juga harus ada.” Saran Fathan.
“Tapi ... itu sangat lama.” Balas Farel tak setuju.
“Kak, hanya empat minggu. Itu waktu yang cukup singkat. Tunggu sampai kegiatan mereka selesai baru kakak buat laporannya.” Jelas Fathan dengan tenang.
Farel terdiam sangat lama mendengar saran dari Fathan. Sedangkan kini Fathan sibuk mengirim pesan pada sepupunya.
***
Notifikasi masuk ke ponselnya. Gadis itu segera membukanya dan membaca dengan saksama.
“Nis, Kak Farel mau angkat kasus kamu ke jalur hukum. Bukti rekaman itu sudah ada di tangan Kak Farel.”
“Kenapa kak Farel se-nekat itu? Bagaimana kalau tuduhan itu malah berbalik menyerang?” Balas Anisha pada Fathan.
“Tenang saja, aku sudah membujuknya agar tidak melaporkannya sebelum kamu datang.”
Ada sedikit rasa tenang dihatinya membaca pesan itu. “Semoga tidak ada hal buruk terjadi.” Batinnya.
***
Tetiba mobilnya berhenti melihat banyak sekali orang berkerumun di tengah jalan. Farel menurunkan kaca mobilnya dan bertanya pada salah satu warga di sana.
“Ada apa ya pak? Kecelakaan?”
“Bukan, Mas. Itu biasa anak geng motor Adgares suka buat keributan. Heran anak zaman sekarang ya.” Jawabnya.
Fathan ikut mendengar percakapan itu. Dari kejauhan ia melihat salah satu anggota geng motor yang dimaksud itu.
“Katanya nama geng itu Adgares, tapi kenapa di jaket yang dipake orang itu bernama Agzar?” Batin Fathan terheran melihat sebuah nama di punggung jaket orang itu.
“Merepotkan, harus ambil jalan muter ini mah.” Farel mendengus kesal lalu melajukan mobilnya mencari jalan lain.
Sesuai apa yang dikatakan sepupunya itu, Farel menahan dirinya untuk tidak melaporkan kasus itu sebelum adiknya kembali.
Kini sudah empat minggu berlalu. Seorang pemuda berpakaian rapi berjalan mendekati meja kantor. Diserahkannya sebuah amplop yang terlihat mewah. “Nyonya, ada surat untuk tuan muda.”
Wanita tua itu membuka isi amplopnya lalu membacanya. Intinya amplop itu berisi pemberitahuan kejuaraan musik.
“Baiklah. Aku yakin putraku bisa memenangkan penghargaan itu. Aku harus memberitahunya.” ucap Fiona tersenyum.
***
Pintu ditutup setelah barang terakhir dikeluarkan dari dalam rumah itu. Semua barang-barang selama KKN sudah diangkut ke dalam mobil truk.
Sembari menunggu mobil jemputannya datang, Anisha bersama teman-teman lainnya asyik menikmati buah-buahan yang disuguhkan para warga.
“Hari terakhir KKN di sini malah dikasih buah-buahan. Makin betah gua gak mau pulang.” Celetuk salah satu temannya.
“Baik-baik bener ya warga sini.” Elisa mengiyakan ucapan temannya.
Seketika ponsel Anisha berdering, gadis itu melangkah pergi untuk mengangkat panggilan tersebut.
“Assalamualaikum, Delfano. Ada apa ya?” Tanya Anisha mengawali pembicaraan itu.
“Waalaikumsalam. Bagaimana kabarmu di tempat itu? Ada yang ingin aku sampaikan, Nis.”
“Alhamdulillah baik.” Balasnya menunggu apa yang akan disampaikan laki-laki itu.
“Malam besok, aku akan ikut kompetisi musik. Kamu bisa hadir? Tidak usah khawatir, aku bayar semua keperluanmu untuk sampai gedung itu. Kamu juga boleh mengajak Elisa.”
Anisha terdiam cukup lama hingga ia pun meminta waktu untuk menanyakannya pada Elisa. Setelah diskusi dengan sahabatnya, gadis itu pun mengiyakan ajakan Delfano.
“Kamu yakin Nis? Bukannya masih marah?” Tanya Elisa.
“Aku memang belum memaafkannya. Tapi kapan lagi Lis kita nonton acara musik gratis? Lumayan buat refreshing.” Jawab Anisha begitu semangat.
“Benar juga. Eh bentar, aku penasaran deh. Delfano dapet nomor kamu dari siapa? Kamu yang minta?” tebak sahabatnya itu.
“Justru aku kira kamu yang kasih nomorku. Mana mungkin Lis, dia duluan yang chat aku. Katanya dapet dari Jay. Tau kan yang satu organisasi denganku?”
“Oh Jay iya tau.”
Setelah mobil jemputannya datang, mereka semua bergantian masuk ke dalam mobil sembari melambaikan tangan untuk salam perpisahan.Dilajukannya mobil tersebut keluar desa. Perjalanan yang memakan waktu sangat panjang membuat mereka lelah berada di kendaraan.
Hingga akhirnya tepat azan subuh berkumandang Anisha sudah tiba di depan rumahnya. Kedatangannya disambut hangat oleh keluarganya. Hidangan favorite Anisha sudah tersaji di meja makannya.
“Bagaimana sayang kegiatannya?” Tanya Bunda sembari menuangkan air ke gelas milik Anisha.
“Seru, Bun. Oiya malam nanti aku mau lihat kompetisi musik di pusat kota. Tenang Bunda, ada Elisa kok.”
“Yasudah tapi jangan pulang kemaleman ya.” ucap Bundanya.
Farel hanya diam tak berani menghalang adiknya, karena sudah mendapat izin dari ibunya ia tak bisa berbuat apa-apa lagi.
“Pasti laki-laki itu? Apakah Anisha sudah terpengaruh buruk olehnya? Aku harus mengatakan rencanaku.” Batin Farel.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomanceKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...