Bab 14 Sebuah Kebohongan ✨️

930 64 2
                                    

Angin malam berembus cukup kencang membuat kerudung Anisha tersingkap. Gadis itu langsung merapikan kerudungnya dan bergegas menuju kediaman Umi. Setelah mengetuk pintu dan mengucapkan salam, ia disambut hangat oleh Abi kemudian dipersilahkan masuk juga duduk.

Tanpa basa-basi Anisha mengutarakan isi hatinya yang ingin keluar dari pesantren. Dengan nada tenang dan kata yang sopan ia berharap mendapatkan izin dari keduanya.

Mendengar pernyataan itu Umi terheran. "Kenapa Nisha? Ada yang membuatmu tidak nyaman di pesantren?"

"Tidak, Umi. Di pesantren nyaman, kok. Anisha hanya ingin merasakan pengalaman baru saja. Lagian Anisha sudah izin ke Bunda dan Ayah dan mereka mengizinkan." Jawabnya penuh kebohongan.

Wajah polos itu berhasil mengelabuhi kedua pemilik pesantren. Mereka percaya karena tak mungkin keponakannya sendiri berbohong. Akhirnya setelah dipertimbangkan Anisha mendapatkan izin itu.

"Terima kasih, Umi... Abi. Maaf bila selama Anisha di pesantren melakukan banyak kesalahan dan membuat Umi dan Abi susah." ucapnya tersenyum.

"Semoga keputusanmu baik untuk dirimu." kata Abi.

"Umi, Abi... Tolong jangan benci pada Anisha, ya? Kalau suatu saat nanti kalian tau...." Gadis itu tak dapat meneruskan ucapannya karena air matanya tak tahan untuk turun.

"Kenapa, Nisha?" tanya Umi.

"Maaf, Umi. Nisha balik ke asrama, ya. Wassalamualaikum." jawabnya pergi.

"Waalaikumsalam." balas mereka berdua.

Baru sepuluh langkah dari kediaman Umi, suara seseorang menghentikan langkahnya.

"Kenapa kamu keluar?" tanya Fathan yang tak sengaja mendengar percakapan itu. "Aku tau kamu bohong tentang sudah diizinkan oleh orang tuamu. Wajah polosmu tak bisa membohongiku." Lanjutnya.

"Aku malu, Fat. Aku sudah mengotori nama baik pesantren ini." jawabnya kemudian pergi.

"Bagaimana aku bisa menjalankan amanah dari kak Farel? Semoga kak Farel cepat pulang. Tapi, kalau kak Farel pulang dan tau tentang hal ini ... itu bahaya!" ucapnya pelan.

***

Tiga hari telah berlalu Anisha masih belum menemukan kosan yang cocok dengan budgetnya. Sampai akhirnya atas bantuan Elisa ia bisa menemukan tempat tinggal yang bagus dan bersih.

"Ini uang awal bulannya, bu." ucap Anisha ramah.

"Semoga betah ya cantik di kosan Ibu." balas Bu kos.

"Aku bantu beres-beres, ya?" Elisa menawarkan sendiri.

Tanpa diketahui oleh orang tuanya ia diam-diam pindah ke kosan. Satu persatu barangnya di pesantren di pindahkan ke kosan barunya. Kenapa Umi tidak melapor ke saudaranya? Karena Umi tau orang tuanya Anisha sudah mengizinkannya.

***

"Nis, kenapa pindah? Kita berdua jadi kehilangan kamu." kata Dinda diangguki Habibah.

"Maaf, ya. Ini pilihanku." balas Anisha tersenyum.

Setelah mengurus surat dan keperluan lain akhirnya Anisha resmi keluar dan berhenti mondok di pesantren itu. Lambaian tangan disertai senyuman manis menghantarkan perpisahan itu.

"Kita masih bisa bertemu, kan?" tanya Habibah.

"Tenang saja, kita bisa bertemu lain waktu." Jawabnya.

Dari kejauhan ia melihat sepasang mata terus menatapnya dengan tatapan yang sulit diartikan. Lantas Anisha membatin, "Kenapa Fathan terus menatapku? Apa ada yang ingin dia katakan?"

Dalam Dekapan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang