Dalam perjalanan pulang, tangan yang semula gemetar kini kembali normal. Perlahan kediaman Arsyanendra tak terlihat oleh matanya dan membuat perasaannya tenang.
Mengingat tujuan awalnya bukanlah ke kosan, Anisha menepuk pundak sopir seraya berkata, “Pak, setelah taman patung angsa belok kanan ya jangan belok kiri.”
“Maaf mbak, tapi itu bukan jalan ke pesantren Nurul Iman. Bukannya mbak mau ke pesantren tersebut?” sopir itu bertanya karena arah tujuan yang berubah.
“Iya, pak. Saya tau. Tapi saya mohon pak bisa kan ganti tempat tujuan? Nanti saya tambahin deh uangnya dan ... bapak bisa rahasia-in ini dari orang tadi?” mohonnya Anisha.
“Begitu ya, baik mbak.” Jawabnya kemudian mengganti tempat tujuannya.
***
Sesampainya di kosan, gadis itu langsung menutup pintu kamarnya. Anisha masih mengingat betul kejadian tadi. Hatinya begitu perih mengharuskannya menerima kondisinya saat ini.
Jauh dalam lubuk hatinya, ia berharap waktu dapat diputar dan ia ingin menghindari kejadian malang tersebut.
Gadis itu menjatuhkan dirinya ke lantai yang dingin. Bulir air mata menetes semakin deras. Anisha merasa semakin berdosa karena sudah banyak berbohong pada pengurus pondok dan orang tuanya. Sempat terpikirkan sesuatu yang nekat karena rasa frustasinya itu.
“KENAPA! KENAPA HAL BURUK ITU HARUS TERJADI PADAKU?”
Tangisannya semakin keras. Kemudian ia menyentuh perutnya dengan pikiran buruk yang lalu lalang di otaknya.
“Apa aku gugurkan saja, ya? Aku tidak mau memiliki anak diluar nikah.” Anisha bangkit dari lantai itu menuju dapur dan mengambil sebelah pisau tajam.
Pikirannya begitu gelap, tak ada pilihan lain yang lewat di benaknya.
“Tapi ... Anak ini tidak bersalah. Aku tak tega bila membunuhnya, tapi bila tidak....” Anisha benar-benar hilang kontrol atas tubuhnya.
Semua pilihan itu benar-benar menyudutkannya. Tanpa disadari pisau itu sudah dilayangkan dan siap menusuk perutnya. Namun tiba-tiba, dari arah belakang seseorang sigap merebut pisau itu lalu membuangnya.
“ANISHA! KAMU GILA HAH? KAMU MAU BUNUH DIRI?” Suara Elisa terdengar begitu nyaring menusuk gendang telinganya.
“Aku tidak tau harus apa lagi. Aku mau bebas dari beban itu. Aku–”
Elisa segera memeluk sahabatnya dengan erat mencoba menenangkan sahabatnya itu, lalu ia memegang kedua pipi Anisha.
“Lihat aku, kamu kenapa Nisha? Kamu frustasi? Depresi? Cerita sama aku makanya! Kamu pikir aku sahabat macam apa yang tidak mau mendengarkan curhatan sahabatku sendiri? Nis, sepanjang apa pun kamu cerita pasti aku dengarkan! Kamu jangan ambil jalan pintas, Nis. Selesaikan dengan kepala dingin!” Bentaknya.
Jelas gadis itu tersadar atas apa yang mau dilakukannya. Ia menangis memeluk sahabatnya meminta maaf karena mengkhawatirkannya.
“Ini minum dulu. Sekarang coba cerita kamu kenapa, Nisha?” tanyanya lembut.
“Aku tidak–”
“Jujur Anisha! Aku tau selama ini kamu bohong, kan? Aku ini sahabat kamu! Aku pasti membantumu!” Elisa meyakinkan Anisha agar mau membuka mulutnya.
“Sebenarnya aku....” Gadis berjilbab hitam itu mulai menceritakan kejadian naasnya malam itu.
Saat cerita pun ia masih merasakan bagaimana rasa sakit yang diterimanya, rasa putus asa dan berdosa. Semua itu masih terbayang-bayang di pikirannya.
Mendengar cerita lengkap dari mulut sahabatnya sendiri benar-benar membuat Elisa geram. Tangannya mengepal dan sorotan matanya berubah tajam.
“BANGSAT...! Siapa laki-laki brengsek itu! Berani-beraninya dia melakukan hal keji itu pada sahabatku. Aku tidak terima dia memperlakukan kamu seperti itu sampai kamu terpikirkan untuk bunuh diri. Jawab Anisha siapa laki-laki itu? biar aku hajar dia!”
Amarah Elisa benar-benar meledak. Berkali-kali Anisha menenangkannya mengatakan untuk tidak memperpanjang lagi tetap saja Elisa tak terima karena bila tadi ia terlambat sedikit saja mungkin sekarang nama sahabatnya sudah tertulis di batu nisan.
“Aku tidak bisa tenang sebelum bertemu dengan laki-laki itu! Siapa namanya?!”
“Di-dia... Delfano, Delfano Arsyanendra.” ucapnya dengan cepat.
“APA!” Raut murka terlihat jelas di wajah Elisa.
Ia tak percaya bahwa teman sekelompoknya sendiri yang sudah berbuat hal seperti itu.
“Demi apa? Dia... Delfano? Astaga...! Aku kira dia laki-laki baik, walau terkadang kasar dengan perempuan tapi tidak sampai membuat kamu hamil juga. Aku harus laporkan ini dan menyeretnya ke penjara!”
Anisha menahan sahabatnya seraya berkata, “Tunggu Elisa. Apakah kamu yakin? Delfano itu bisa berbuat apa saja untuk menyelamatkan dirinya."
Elisa terdiam sejenak memikirkan ucapan Anisha. Gadis itu baru ingat bahwa Delfano adalah putra dari keluarga Arsyanendra.
“Elisa... Aku malu, aku takut orang tua ku tau apalagi pengurus pesantren dan kakakku.” Anisha melanjutkan kalimatnya.
“Oh jadi gara-gara hal ini kamu keluar dari pesantren? Astaga ya Tuhan...! Benar-benar brengsek Delfano!” kesalnya.
“Tapi kamu janji tidak akan bilang siapa-siapa? Aku benar-benar bingung, malu, takut dan... Aku tidak tau harus apa. Aku tidak berani menunjukkan wajahku atau pun memperdengarkan suaraku pada orang tuaku. Aku takut!” ungkapnya masih dalam kesedihan.
Melihat masalah yang tengah dihadapi sahabatnya, ia tak tega melihat kini mata Anisha sudah sembab karena air mata. Gadis itu memegang kedua tangan Anisha dengan tatapan serius.
“Sekarang aku serius tanya padamu. Apakah kamu menginginkan anak ini? Nis, anak yang kamu kandung tidak salah apa-apa, Delfano yang salah, Nis! Kamu tega membunuh anak ini? Sedangkan diluar sana masih banyak orang yang menginginkan anak. Walaupun kamu tidak menginginkan anak ini, setidaknya jangan sakiti dia.”
Anisha terduduk lemas mendengar pertanyaan sahabatnya. Memang benar yang diucapkan sahabatnya itu namun entah mengapa hatinya begitu bimbang.
“Aku tau, Lis. Aku memang tidak ingin anak ini di gugurkan. Anak ini memang tidak bersalah, tapi... Aku malu pada orang tuaku. Mereka pasti marah besar padaku.” balasnya membalas tatapan Elisa.
“Justru bila kamu menggugurkannya akan semakin membuat mereka marah.” Timpal Elisa.
“Kenapa? Kenapa marah?” Anisha tak paham.
“Anisha, mau bagaimana pun juga anak ini adalah anakmu! Ibu siapa coba yang rela melihat anaknya meninggal? Mereka akan semakin kecewa padamu, Nis!” jawab Elisa.
“Lantas aku harus apa?”
“Pilihanmu hanya dua. Pertama, menggugurkannya. Kedua, mempertahankannya. Keduanya punya konsekuensinya sendiri.” Jelas Elisa tenang.
Haaa...! Aku benar-benar bingung. Pilihan ini sulit bagiku. Bila aku menggugurkannya suatu hari nanti akan datang penyesalan yang teramat berat. Tapi, bila aku mempertahankannya, aku harus siap memikul rasa malu dan rasa berdosa
Elisa menepuk pundak Anisha membuatnya tersadar dari lamunannya. “Tadi kamu dari mana aja? Kenapa teleponku tidak diangkat? Kamu tau? Sepupumu sampai ke kampus nyariin kamu.”
“Ah itu tenang aja aku udah kabarin Fathan kok aku baik-baik aja dan udah sampai di kosan.” Balasnya lalu menceritakan yang sebenarnya terjadi.
“Jadi, mereka sudah tau ya.”
Elisa yang tak tega melihat kondisi sahabatnya memutuskan untuk menginap di kosan tersebut. Ia juga memanggil dokter pribadi keluarganya untuk datang mengobati Anisha.
“Lis. Makasih, ya, sudah sejauh ini kamu membantuku. Aku jadi tidak enak karena selalu merepotkanmu.” ucap Anisha lemas.
“Stttt...! Aku tidak peduli! Pokoknya sahabatku harus sehat dan hapus rasa tidak enakan itu!” jawabnya.
“Makasih, ya, Lis.”
***
Fathan membuka pesan yang di kirim Anisha ke ponselnya. Hatinya perlahan tenang setelah mengetahui bahwa sepupunya itu sudah tiba dengan selamat sampai di kosan.
Umi Tati ikut lega mendengarnya. Anisha juga menjelaskan mengapa ponselnya mati dan menceritakan bahwa dirinya dibawa ke kediaman Arsyanendra.
“Orang itu tak kenal lelah. Dia sampai menculik Anisha demi tau kondisi tubuhnya. Lain kali aku harus bertemu dengannya, dia harus menerima balasan atas kejahatannya.” Batin Fathan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomanceKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...