Gelas berisi teh hangat itu di letakkan di atas meja, ditemani kue kering dan manisan. Cahaya surya yang masuk melewati jendela rumah memberikan kesan damai pagi hari di pesantren itu.
Ketika menyeruput tehnya, pintu rumah diketuk begitu keras berkali-kali.
"Assalamualaikum Pak Kiai, Bu Nyai." Suara Pak Ucup terdengar nyaring.
Umi segera membukakan pintu mendapati Pak Ucup yang datang dengan wajah panik.
"Waalaikumsalam warohmatulohi wabarakatuh." Umi dan Abi menjawab berbarengan. "Kenapa toh pak?" Lanjut Umi.
"Anu itu Pak Kiai, Bu Nyai ... di depan gerbang banyak sekali wartawan! Katanya mereka mau nanya kebenaran berita di televisi." Jelas Pak Ucup.
Suara nyaring itu terdengar hingga ke dalam rumah, Fathan yang penasaran ikut keluar rumah dan mendengarkan.
"Berita? Apa hubungannya dengan pesantren ini?" Abi tak paham maksudnya. Tanpa basa-basi lagi mereka semua pergi menuju gerbang depan pesantren.
Benar saja suara antusias para wartawan hingga menggedor-gedor gerbang pesantren. Santri-santri yang mendengar keributan itu mendadak keluar dari asrama dan mendekat ke sumber suaranya.
"Eh itu Kiai-nya, Pak Kiai bagaimana tanggapan pesantren tentang berita yang hangat di sosial media?"
"Seperti apa gadis yang dimaksud di postingan itu? Dikatakan gadis itu juga seorang santriwati Nurul Iman. Apakah benar santriwati berinisial A punya hubungan gelap dengan putra keluarga Pianist itu?"
"Apakah akan ada tindakan tegas dari pesantren terkait berita itu?"
Fathan yang mendengarnya saja dibuat bingung memang berita apa yang dimaksud itu pikirnya. Dengan susah payah Pak Ucup menenangkan keributan itu dan menahan agar gerbang tidak di jebol.
Tetiba pundak Fathan di tepuk oleh seseorang. "Antum belum tau beritanya?"
"Rahmat? Memang berita apa?" Tanya Fathan benar-benar tidak tahu.
Lelaki itu menjelaskan apa yang dimaksud wartawan itu. Ketika dirinya izin pergi ke warung depan untuk membeli sesuatu, ia mendengar sebuah berita di televisi dan menyangkut nama pesantren Nurul Iman.
"Sebenarnya ana mau cerita ke Abi, tapi ana lupa." Ucap Rahmat dengan logat khasnya.
"Jangan-jangan itu tentang Anisha? Kenapa bisa sampai masuk televisi masalah itu." Batin Fathan tak menyangka.
Kerusuhan itu semakin menjadi ketika salah satu orang yang membawa kamera berusaha naik ke gerbang. Tiba-tiba dari arah samping terdengar teriakan begitu nyaring.
"Semuanya! Pegang selang air dan dalam hitungan ke satu... dua... Tiga, tembak!"
Komando Haris diikuti beberapa santri di sana yang langsung mengarahkan selang air itu ke arah wartawan. Semprotan air itu mengguyur mereka hingga membuatnya basah kuyup.
Entah ide aneh apa yang di pikirkan Haris, Tora dan Daffa sampai bisa terpikirkan seperti itu. Satu persatu orang-orang yang berkumpul di depan gerbang berlari meninggalkan pesantren.
"Mampus! Rasain makanya jangan buat rusuh!" Haris tampak puas dengan tawanya.
Santri-santri lain ikut bersorak riang berhasil mengusir para wartawan itu. Abi dan Umi yang melihat tingkah anak muridnya hanya bisa tersenyum geleng-geleng kepala.
"Wah ana gak nyangka berguna juga tuh trio rusuh. Ya gak Fat?" Ucap Rahmat ikut tertawa.
"Iya." Fathan ikut tersenyum. "Sekarang, apa yang terjadi pada Anisha?" Batin Fathan khawatir.
***
Meja itu dipukul begitu keras. Delfano tampak kesal melihat berita yang sudah menyebar luas di media sosial. Gading dan kedua temannya, Awang juga Theo tak percaya akan diangkat ke televisi beritanya.
Gading kembali menyampaikan bahwa di luar gerbang utama kampus banyak wartawan yang datang ingin memastikan berita itu. Ditambah kabar dari kediamannya yang tengah keos gara-gara berita tersebut.
"Gue tau lo gak bener-bener niat ngelakuin itu kalo gak terpengaruh. Tapi ayolah Fan kasian Anisha, dia nanggung malu karena berita ini." ucap Awang.
"Gue denger juga anak-anak kampus nuduh Anisha yang ngegoda lo duluan, malah sampe nuduh Anisha itu pelacur!" Tambah Theo.
“Mending sekarang lo temuin Anisha dan tenangin dia. Gue yakin dia lagi nangis gara-gara ini.” Saran Gading.
***
Air mata begitu deras mengalir ke pipinya. Di taman belakang kampus yang jarang dilalui orang-orang, Anisha menangis meratapi nasibnya yang sangat sial itu. Elisa yang dari tadi mengikutinya kemudian mendekat dan menenangkan sahabatnya.
Elisa yakin bahwa Delfano tidak akan tinggal diam mendengar berita itu. Kata penenang itu belum cukup mengobatinya.
“Tapi, berita itu sudah masuk televisi, Elisa! Kamu tidak dengar dari ucapan-ucapan orang-orang tadi? Mereka semua mencibir dan menghinaku. Hatiku sakit Lis.” Balas Anisha sesak.
“Hei Nisha... Inget kata dokter semalam, kamu jangan terlalu larut dalam kesedihan.” ucap Elisa mengingatkan.
“Tapi... Baiklah.” jawabnya tersenyum.
Dari kejauhan tampak sosok laki-laki berlari menghampiri mereka. Entah ingin bahagia atau sedih melihat wajah laki-laki itu, Anisha hanya bisa menitihkan air matanya melihat sosok Delfano yang membuatnya tenang ketika bersamanya.
“Anisha, maaf. Maafkan aku.” ucap Fano penuh penyesalan. Entah sudah keberapa kalinya laki-laki itu mengucapkan kata maaf.
“Eh bentar kok kamu tau kita di sini?” tanya Elisa heran.
“Itu... Alah gak penting. Dengarkan aku, di depan gerbang banyak sekali wartawan dan pastinya sebentar lagi kita berdua bakal dimintai keterangan. Aku punya rencana...."
Dengan tenang dan jelas lelaki itu menyusun rencananya di mana bila Anisha dimintai tes kehamilan dengan tes pack, ganti saja urine itu dengan air biasa di toilet.
"Tunggu, kalau ketauan gimana? Air di toilet kan bening." ucap Elisa tak setuju.
"Elisa, gak semua urine itu berwarna kuning. Lalu kau ada rencana apa untuk hal ini?" Delfano balik bertanya.
Elisa menjelaskan rencananya, melihat kini Anisha berpakaian panjang juga lebar hingga menutupi lekuk tubuhnya ia terpikirkan untuk menyelipkan satu teh kotak pada baju Anisha.Bila membawa tas kemungkinan akan di curigai oleh petugasnya, maka cara lainnya ya dengan mengantongi minuman itu.
"Yakin gak bakal ketauan?" Tanya Anisha khawatir.
"Gak mungkin, aku yakin. Baju kamu aja gedombrang gitu, gak bakal keliatan deh kamu bawa sesuatu, apalagi minumannya kan kecil." Jawab Elisa.
Setelah semua rencana selesai, Delfano bergegas pergi meninggalkan tempat itu. Tak berselang lama, tampak Vita dengan teman-temannya datang dengan wajah senang seolah berhasil menemukan yang dicarinya.
“Eh Anisha, kamu dipanggil Bu Eti ke ruangannya sekarang.” ucap Vita.
“Untuk apa?” tanya Anisha heran.
“Udah sih tinggal ikut aja.” Jawab Karin menarik tangan Anisha.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomanceKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...