Semenjak hari itu perhatian Ayah terhadapnya semakin meningkat. Hampir setiap hari Ayahnya menjenguk ke kamarnya sembari membawakan camilan kesukaannya.
Selalu tersenyum ceria di depan Anisha dengan candaan yang membuat gelak tawa. Entah kenapa kini Anisha merasa hidupnya lebih berwarna.
“Selamat pagi peri kecil, Ayah bawa jajanan nih.”
“Saur... saur... bangun yuk kita makan.”
“Perhatian kepada Anisha Sayeeda Misha, janganlah kamu fokus dengan layar laptop itu, ayo cepat habiskan makan siangmu.”
“Masih nulis skripsi ya? Istirahat dulu yuk makan martabak manis.”
Mendengar semua kalimat itu, terasa perih dihatinya. Sebegitu besar rasa sayang ayahnya pada putri satu-satunya. Bunda yang melihatnya pun ikut terbawa suasana hingga meneteskan air matanya.
Seketika seseorang memberikannya sapu tangan. “Jangan sedih Bunda.”
“Farel? Gimana Bunda gak sedih, kamu tau? Mungkin ayahmu selalu tersenyum di depan kalian, tapi ketika dia sendirian, Bunda liat ayahmu menangis seperti ini.”
Farel memeluk Bundanya sembari menenangkannya. “Iya, Bunda. Aku juga pernah melihatnya.”
Beberapa minggu setelahnya, gadis itu masih disibukkan dengan skripsinya. Rasa malas yang kerap mendominasi menjadikannya leha-leha dalam mengerjakannya.
Kini di kamarnya ditemani Elisa mereka Melukis bersama mengobati kebosanan itu. Ketika asyik Melukis Elisa terpikirkan sesuatu tentang sahabatnya.
“Oiya Nis, udah lama aku gak denger kabar darimu tentang Delfano. Dia masih suka ngirim paket?”
“Tidak. Semenjak hari pembebasan itu aku sudah lost contact dengannya.” Anisha juga menceritakan tentang perjanjian yang dibuat kakaknya itu dengan keluarga Delfano.
“Oiya di taman patung angsa tuh nanti sore sekitar jam tigaan deh bakal ada bazar sama konser tau. Nonton, yuk!” ajaknya.
“Beneran? Kuy lah, tapi....” Anisha terpikirkan dengan kondisi tubuhnya saat ini.
Elisa meriah pundak kanan sahabatnya. “Anisha, tenang saja. Kamu bisa pakai baju yang longgar dan jika ada yang bertanya aneh-aneh tentangmu, aku akan bantu menjawabnya.”
Tepat setelah salat ashar, mereka berdua pergi ke taman bersama Farel yang mengendarai mobilnya. Tampak ramai jalanan di sana baik itu mobil, motor dan pejalan kaki.
Setelah memarkirkan kendaraannya, mereka bertiga masuk melewati patung angsa yang menjadi maskot taman itu. Alunan musik terdengar nyaring dari arah panggung yang sedang menampilkan grup band.
“Nis, itu liat ada yang jual set alat lukis. Ke sana yuk.” Elisa menarik tangan sahabatnya.
Dari namanya saja bazar murah benar saja semua harga alat lukis itu baik cat air maupun kuas terbilang murah.
“Kalian mau minum?” tanya Farel menawarkan.
“Boleh tuh.” Balas Elisa.
“Iya nih haus.” Anisha menyambung.
Lelaki itu pun pergi mencari stand minuman tak jauh dari tempat adiknya itu. Ketika tengah memesan es teh manis di penjual itu, Farel melirik kembali adiknya memastikan masih dalam jangkauan matanya.
Akan tetapi hal yang tak pernah terpikirkan terjadi. Farel melihat laki-laki itu berhadapan dengan adiknya. Ia tak menyangka akan bertemu dengan Delfano di taman itu. Setelah membayar yang dibelinya, bergegas Farel menghampiri adiknya dan berdiri di depannya.
“Mau apa kau bertemu dengan Anisha? Bukankah sudah ku peringatkan?”
“Aku juga tidak tau bisa bertemu di sini. Anisha, bagaimana dengan kondisimu?” Delfano melangkahkan satu kakinya mendekati Anisha.
Dengan emosi Farel mendorong tubuh laki-laki itu agar menjauh dari adiknya. “Jangan usik lagi kehidupan adikku. Kau tak perlu tau kondisinya.”
“Aku berhak tau, Kak. Aku sudah bilang akan tanggung jawab. Aku ingin memperbaiki semuanya. Lagi pun siapa lagi yang mau–”
“Fathan. Dia yang akan menikah dengan Anisha. Kau pikir siapa berani ikut campur hm? Memangnya hanya kau yang bisa menikahi Anisha? Mulai saat ini lupakan semua tentang Anisha! Ayo pulang!” Farel langsung menarik tangan adiknya.
Delfano tak percaya mendengar semua itu. Ia menatap Anisha yang seolah tak mau membenarkan pernyataan kakaknya.
“Tunggu, Anisha. Apakah benar apa yang dikatakan kakakmu? Benar kamu akan menikah dengan Fathan?” tanyanya diselimuti kebingungan.
Anisha memilih diam tidak membalas pertanyaan itu. Gadis itu melangkah pergi bersama Elisa dan kakaknya. Sedangkan Delfano masih membeku memikirkan kembali kalimat Farel.
“Gak mungkin itu terjadi. Laki-laki itu ... dia serius dengan Anisha?” batinnya.
“Eh Fan, ayok ikut nyanyi di panggung.” Ajak Gading menepuk pundaknya.
“Aku harus pergi."
“Apa? Pergi ke mana?” Gading terheran.
Tanpa basa-basi lagi lelaki itu melajukan motornya ke sebuah tempat. Tak memakan waktu lama kini ia sudah tiba di pintu gerbang pesantren Nurul Iman. Dari luar tampak sepi tak ada aktivitas.
Delfano bertanya pada security itu tentang Fathan. Namun sayang orang yang dicarinya itu masih di luar menghadiri sebuah acara. Dengan sedikit memaksa Delfano diizinkan masuk ke dalam pesantren dan menunggu orang yang dicarinya.
Tak lama kemudian, sebuah mobil hitam masuk melewatinya. Pintu mobil dibuka tampak laki-laki berpakaian rapi dengan sorban di pundaknya yang kini menyadari kedatangannya.
“Delfano? Ada apa kamu datang ke sini? Bukannya jadwal ngaji masih lama?” Fathan berjalan menghampirinya.
“Fathan. Apakah benar kamu akan menikahi Anisha?” Delfano langsung menanyakan hal itu.
Di bawah sinar mentari sore itu, Delfano mengatakan apa yang terjadi ketika di taman beberapa menit yang lalu. Mendengar Fathan terdiam cukup lama memikirkan bahwa Farel benar-benar tidak mau adiknya bersama Delfano.
Fathan membuang napas kasarnya lalu menatap serius lawan bicaranya. “Aku pernah berniat menikahi Anisha dan aku siap menerima semua kondisinya.”
Lelaki berpeci itu tertawa kecil lalu memegang pundak kiri Delfano. “Tenang saja, Delfano. Kamu lah yang akan mendapatkan hati Anisha.”
“Maksudmu? Bukannya kau juga menyukainya?” Tanya Delfano.
“Aku memang menyukai Anisha. Tapi, aku tidak mungkin menikahi sepupuku sendiri. Pernikahanku sudah diatur, mana bisa aku membantahnya. Aku hanya ingin membuat Anisha bangkit dan melupakan traumanya. Aku ingin senyuman itu kembali terukir di wajahnya. Setelah hal itu terjadi, aku akan pergi dan mengubur perasaan ini.”
“Maksudmu diatur?” Delfano tak paham.
“Delfano, dengarkan ini... jika kau menginginkan kepercayaan dari Farel dan keluarganya, cepatlah pergi ke rumahnya dan menjelaskan semua itu pada orang tua Anisha. Itu pun jika kau berani dengan konsekuensinya nanti dan kau harus siap akan itu.” Saran Fathan.
***
Malam harinya tanpa sepengetahuan Anisha. Lelaki itu datang ke kediaman Misha sembari membawakan makanan di genggamannya. Mendengar ada tamu yang datang semua anggota keluarga bergegas menuju ruang tamu.
Anisha pikir itu adalah Elisa yang datang namun tebakannya salah. Setelah pintu dibuka tampak sosok laki-laki dengan bandana di pergelangan tangan kanannya.
“Delfano? Ah gawat!” Belum sempat Anisha menghalangnya, lelaki muda itu langsung ditinju oleh ayahnya yang sudah mengetahui siapa pelaku yang berbuat jahat pada anaknya.
Semua orang di sana terkejut termasuk pembantu dan security rumahnya. Jelas raut marah dari majikannya itu menatap Delfano penuh kebencian.
“Berani-beraninya kamu sentuh putri saya, HAH? Dasar laki-laki brengsek kamu!!” kesal Pak Husen.
“Ayah....” Bunda langsung mendekat menenangkan suaminya.
“Ayah, tenang dulu biarkan dia menjelaskannya.” ucap Anisha menenangkan.
Delfano dipersilahkan masuk dan duduk di kursi yang berhadapan dengan pak Husen. Pembantu rumahnya segera menyuguhkan minuman dan camilan. Setelah menjelaskan maksud kedatangannya, Delfano mulai menceritakan yang sebenarnya.
Mulai dari malam karena ia mabuk dan ditolong oleh Anisha malah membuat niat baik gadis itu menjadi petaka. Semuanya Delfano ceritakan. Jelas laki-laki berjanggut itu marah mendengar penjelasan Delfano.
“DASAR LAKI-LAKI TAK TAU DIRI! Sudah mending kamu ditolong putri saya dan kamu malah melampiaskan nafsu bejatmu padanya? Astaghfirullahalazim ya Allah....” Pak Husen terlihat frustasi mendengar itu.
“Maaf, maaf saya tau saya salah. Keadaan saya saat itu tidak sadar. Maka dari itu kedatangan saya ke sini ingin bertanggung jawab dan menebus semua kesalahan saya.” Kata Fano.
Bundanya hanya bisa menangis meratapi nasib anak gadisnya. Pak Husen kembali dibuat kesal setelah mendengar perkataan tersebut.
“Tidak sadar kamu bilang?”
Pak Husen berjalan mendekati Delfano mencengkeram kerah bajunya lalu meninjunya membuat laki-laki itu terjengkang ke belakang.
“Bagaimana mungkin kamu melakukannya tidak sadar, hah? Dari awal kamu memang mengincar anak saya, ya? Begini didikan orang tua yang disegani itu? Berandalan kamu!”
“Ayah udah ya tenang sebentar.” Bunda dan Anisha berusaha memisahkan ayahnya dengan Fano.
“Lepaskan! Saya tidak bisa memaafkan perbuatan bejat kamu! Kalau memang mau tanggung jawab kenapa baru sekarang kamu datang? Sini kamu biar saya hajar!!” kesalnya.
Farel segera menahan tangan ayahnya yang siap mendarat di wajah Delfano. Lelaki itu mencoba mendinginkan situasi yang panas itu.
Farel meminta agar Delfano bisa menjelaskan semua yang ingin dikatakannya. Lelaki itu juga patut dihargai dengan kedatangannya untuk jujur.
“Sebelumnya aku sangat berterima kasih sudah membantuku bebas dari tuduhan kasus itu. Aku benar-benar menyesal.” ucap Delfano.
“Delfano, Cukup. Sebelum terjadi hal buruk lagi, lebih baik kamu pulang. Saya tidak mau penyakit suami saya kambuh lagi dengan marah-marah seperti tadi.” Kata Bunda dengan derai air mata.
“Tapi,”
“Tolong dengarkan saya sebelum saya marah. Security! Usir laki-laki ini dari kediaman Misha.” Pinta Bunda.
“Siap Nyonya! Mari Mas pergi.” Kata Security.
Pada akhirnya Delfano memilih pulang dengan perasaan bersalah. Ia tak menyerah dan berjanji akan datang kembali di lain hari.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomanceKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...