Setelah keduanya sepakat untuk menjalani hidup bersama keluarga kecilnya. Mereka membicarakan hal itu pada kedua orang tuanya.
Awalnya berat bagi Bu Fiona mengiyakan untuk berpisah dari rumah itu namun akhirnya ia mengizinkannya. Begitu pula dengan Bunda dan Ayah yang mendengar kabar itu.
“Kalau kamu gak main ke sini, mamah yang akan sering main ke rumah kamu.”
“Iya, Mah. Tenang saja, kalau ada waktu inshaallah kami berkunjung ke sini.” Balas Anisha.
Satu persatu barang miliknya mulai dipindahkan ke rumah Delfano yang cukup jauh dari rumah utamanya itu. Mereka pun mengikuti mobil yang membawa barang-barangnya menuju rumah Delfano.
Beberapa jam kemudian mereka sampai di rumah besar bercat full putih dengan pagar yang menjulang tinggi. Kedatangan mereka disambut hangat oleh pelayan dan security di sana.
“Selamat datang Tuan, Nyonya.” Sapa mereka.
Mereka pun masuk ke rumah itu. Pernak-pernik dan dekorasi rumah itu tidak ada yang berubah. Masih sama persis ketika kejadian waktu itu.
“Nah Anisha, dia pelayan yang akan membantumu. Panggil dia Ika, dan dia yang akan mengurusi kebun juga tanaman di sini, panggil dia Eza.” Jelas Fano.
Anisha mengangguk paham. Kemudian mereka pergi ke kamar utama lalu membuka pintunya.
Alangkah terkejutnya Anisha melihat banyak sekali buket bunga di dalam kamar tersebut. Terlebih lagi ada beberapa buket bunga favoritenya yaitu lavender.
“Bagaimana? Kamu suka?” Tanya Delfano.
“Ini sungguh indah, terima kasih, Fan.”
Baru saja senyuman itu terpancar di wajahnya, tetiba kesedihan teramat berat melandanya. Melihat tempat tidur itu, ingatannya benar-benar flashback saat kejadian waktu lalu.
“Kenapa bayangan itu harus terputar lagi? Bahkan sekarang aku masih merasakan ketakutan itu.” Batin Anisha.
Sentuhan hangat di tangannya membuat perasaan takut itu hilang. “Tenanglah. Sekarang sudah berbeda, kamu tidak usah takut.” Delfano mencoba menenangkan.
“Terima kasih.” Anisha tersenyum tipis.
Setelah membereskan barang-barang yang dibawa, mereka berbaring mengistirahatkan tubuhnya di kasur.
“Sampai kapan kita tinggal di sini?” Anisha menekuk bibirnya merasa bosan.
“Memangnya kenapa?” Sahut Delfano menatap lawan bicaranya.
“Di sini sepi, tidak ada suara adik-adikmu. Memangnya kamu tidak merasa sepi?”
“Tidak, tuh. Justru aku senang karena bisa menghabiskan waktu berdua bersamamu tanpa diganggu siapa pun.” Jawabnya memeluk Anisha lalu mendusel-dusel kepalanya pada leher yang tak terbalut hijab.
“Kamu ini sejak kapan berubah jadi manja seperti ini.” Anisha tertawa melihat tingkah laki-laki itu.
Lima hari berlalu Anisha mulai terbiasa tinggal di rumah baru itu. Perhatian yang diberikan Delfano padanya benar-benar membuat hatinya senang.
Semua pekerjaan di rumah itu selalu lebih dulu diambil oleh Delfano. Lelaki itu seolah tak mau Anisha lelah membersihkan rumah besar itu. Bahkan yang menyiapkan sarapan pagi pun Delfano sendiri.
“Fan, aku jadi tak enak padamu. Masa aku hanya rebahan saja tidak melakukan tugasku. Bukankah ada pembantu di sini? Di mana Ika?”
“Dia tidak datang sepagi ini, mungkin sekitar jam delapan baru sampai. Kamu tidak usah khawatir, aku memang sudah biasa seperti ini.” Jawabnya.
“Huh! Lihat saja besok aku lebih dulu menyelesaikan pekerjaan itu.” ucap Anisha percaya diri.
Pada akhirnya kalimat itu hanya sebatas omongan saja. Lelaki itu selalu lebih dulu mempersiapkan semuanya untuk Anisha dan ia hanya membantu seadanya saja.
Pagi itu setelah sarapan, Anisha yang diantar suaminya pergi menuju butik milik keluarganya. Sesampainya di sana mereka pun berpisah karena ada hal yang harus di urus Delfano di kafenya.
Melihat kedatangan putrinya, Bunda langsung memeluk erat Anisha dan menciumnya. “Sayang, Bunda kangen banget sama kamu.”
“Bunda, aku juga.”
Gadis itu dituntun masuk ke dalam mendapati tempat itu sepi belum ada orang yang berkunjung, mungkin karena masih terlalu pagi.
“Kamu sering cek kandungan kan sayang? Sekarang berapa usia kandunganmu?” Bunda merendahkan suaranya agar tidak didengar oleh karyawan di sana.
“Aku rutin kok cek ke rumah sakit. Sepertinya sudah memasuki bulan ke tujuh.” Jawabnya kemudian duduk berhadapan dengan Bundanya.
Bunda mengelus kepala putrinya disertai dengan senyuman hangatnya. “Anisha, kenapa kamu tidak menunggu di rumah saja? Cukup jauh loh ke sini.”
Anisha hanya tersenyum membalas pertanyaan Bundanya itu. Tak berselang lama satu persatu pengunjung datang dan melihat semua busana yang dipajang.
“Kamu tunggu sini, ya. Bunda ke sana sebentar.” ucapnya meninggalkan Anisha di kasir bersama karyawannya.
Pakaian yang dikenakan Anisha cukup untuk menutupi perutnya yang kini membesar. Ia hanya duduk melihat aktivitas di butik itu.
Beberapa jam berlalu. Ketika sibuk dengan ponselnya, Anisha mendengar ada seseorang yang memanggil namanya.
“Anisha, hebat ya kamu udah punya usaha sendiri.” Ravel berjalan menghampiri Anisha.
“Ah tidak, ini milik keluargaku. Aku hanya membantu. Oiya kenapa kamu bisa ke sini?”
“Aku sedang mengantar ibuku. Gila ya sudah lama kita tidak bertemu. Kamu apa kabar?” Jawabnya balik bertanya.
“Alhamdulillah sehat. Kamu?”
Merasa pembicaraan mereka akan panjang, lelaki itu mengajak Anisha berbicara di luar butik itu. Keduanya pun duduk di kursi panjang tak jauh dari toko milik Anisha.
Lelaki menjawab pertanyaan Anisha tadi dengan jawaban sama bahwa dirinya juga sehat-sehat saja. Namun, satu pertanyaan yang kembali diucapkan Ravel benar-benar membuat Anisha membisu.
“Maaf nih bukannya ngejek, kamu gendutan ya sekarang? Bukannya hari ini sangat panas? Kamu gak kegerahan gitu?”
Anisha hanya tersenyum membalasnya. Bingung menyusun kalimat untuk jawaban pertanyaan itu.
“Sebenarnya aku ingin mengatakan sesuatu,” kata Ravel, mengganti topik percakapan.
“Sesuatu?” tanya Anisha, bingung.
“Ya, sudah lama aku ingin mengungkapkannya, tapi selalu saja ada halangan. Dan sekarang, sepertinya waktu yang tepat,” kata Ravel, menghela napas dan menatap gadis di sisinya.
“Aku menyukaimu, Anisha. Lama sekali sejak pertama kita bertemu saat ospek.” Ungkap Ravel dengan suara yang tulus.
“Benarkah?” tanya Anisha dengan suara yang terkejut.
“Ya,” kata Ravel, “dan aku ingin menjalaninya dengan serius.” Lanjutnya.
“Maksudmu?” tanya Anisha dengan suara yang penuh dengan kebingungan.
“Kamu mau kan jadi pendamping hidupku?” tanya Ravel, dengan penuh harapan.
“Ekhem, maaf memotong percakapan kalian.” ucap laki-laki dengan bandana di pergelangan tangan kanannya.
Keduanya terkejut melihat kedatangan laki-laki itu. Anisha beranjak dari tempat duduknya.
“Delfano?”
Lelaki itu berjalan mendekati Anisha, kemudian menarik tubuhnya ke dekapannya.
“Kamu pasti lelah, ya, sayang?” tanya Delfano, tersenyum.
“Sayang?” heran Ravel.
“Maaf telat memperjelas semuanya. Anisha itu adalah istriku dan dia sedang mengandung anakku.” Jelas Delfano, tersenyum sinis.
Tiba-tiba mulutnya membisu mendengarnya. Ravel terdiam menatap lurus mereka berdua. Melihat sekretaris Arka datang menghampirinya, Delfano menyuruh sekretaris itu untuk membawa Anisha ke mobilnya.
“Jadi berita yang sempat booming di kampus, itu fakta?” tanya Ravel.
“Kalau iya kenapa? Kamu akan melaporkannya? Sudah terlambat.” Jawab Delfano.
“Aku tidak habis pikir, ya. Bisa-bisanya kamu dari keluarga terhormat melakukan hal seperti itu.”
“Dengar Ravel... Seindah apa pun dia, dia sudah ada pemiliknya. Bukankah kita tidak boleh menginginkan hal yang sudah ada pemiliknya?” ucap Delfano, membuat Ravel kehabisan kata-kata.
“Jadi selama ini saat di festival kampus juga dia sedang... mengandung anak laki-laki itu?” Batin Ravel.
Di dalam mobil tampak wajah suntuk laki-laki itu. Anisha paham bahwa suaminya itu tengah kesal mendengar percakapannya bersama Ravel. Setelah mengabari Bundanya untuk pulang, mobil pun dilakukan oleh Pak Arka.
“Sudahlah jangan cemberut gitu, sekarang kan dia tau aku sudah menikah.”
“Tetap saja aku tidak suka itu!” balasnya ketus.
Anisha tertawa melihat raut wajah suaminya. Delfano meliriknya kemudian menggenggam tangan kanan Anisha.
“Hari ini, teruslah berada di sisiku.” ucapnya.
“Kenapa? Kamu cemburu, ya?” tanya Anisha menatap laki-laki itu.
Seketika Delfano menarik pinggang Anisha ke pelukannya. “Terlihat jelas, ya? Senangnya.”
Gadis itu mendorong tubuh Delfano dan menjaga jarak dengannya. “Aku malu banget. Tadi terlalu dekat, mana ada Pak Arka di depan.” Batinnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomansaKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...