Fathan tetap berpegang teguh pada keyakinannya untuk tidak menceritakannya. Namun, desakan terus-menerus dari Dinda membuatnya sedikit bimbang untuk menceritakan atau tidak.
"Kalau aku menceritakannya ada baiknya juga mereka lebih bisa memahami akan kondisi Anisha dan ikut menyemangatinya tapi di sisi lain aku takut bila rahasia ini terbongkar." Batin Fathan masih ragu.
Pada akhirnya lelaki itu mau menceritakan yang sebenarnya tetapi dengan sebuah syarat.
“Saya akan menceritakannya tapi dengan satu syarat. Jangan pernah kalian ceritakan masalah ini pada siapapun, ingat... siapa pun. Bila ada salah satu dari kalian yang membocorkannya kalian akan mendapatkan konsekuensinya nanti.” Jelas Fathan sedikit mengancam.
Keduanya mengangguk dan diajak duduk di kursi depan rumah. Dengan tenang lelaki itu mulai menceritakan semuanya dari awal hingga akhir persis yang dikatakan Anisha padanya waktu itu.
“ASTAGFIRULLAHALAZIM!” ucap mereka kompak.
“Gila ya tuh cowok. Ya Allah sahabatku Anisha.” Dinda tampak sedih mendengar cerita itu.
“Kenapa gak dilaporin ke pihak berwajib?” tanya Habibah.
“Saya sudah pernah mengusulkannya tetapi kata Anisha semuanya akan sia-sia. Latar belakang laki-laki itu jauh dari kita, mereka bisa saja menyogok pengacara agar anak mereka tidak bersalah. Bisa saja mereka malah memutar balikkan fakta bahwa bukan laki-laki itu yang melecehkan Anisha tetapi Anisha lah yang mencoba membunuh nya.” Jelas Fathan membuat mereka kehabisan kata-kata.
“Kalian harus ingat janji tadi.” ucap Fathan. Keduanya mengangguk menjawabnya.
“Oiya siapa nama laki-laki yang bertanggung jawab atas kejadian itu?” tanya Habibah.
“Namanya–”
“Eh Gus Fathan di sini rupanya. Itu dicariin ustaz Musa.” ucap salah satu santri putra.
“Oh iya baik, saya segera ke sana.” Balasnya kemudian pamit pada dua santriwati itu dan mengikuti langkah santri putra tadi.
“Kira-kira siapa, ya, laki-laki itu?” tanya Habibah.
“Entahlah. Tapi yang jelas brengsek tuh cowok, Berani-beraninya sentuh Anisha.” Kesal Dinda memaki lelaki itu.
Di waktu yang sama, Anisha tengah bersiap untuk pergi ke kampus karena ada pengumuman bahwa kegiatan KKN-nya di undur sebab ada beberapa kendala.
Baru saja menutup pintu kosannya ia dikejutkan dengan kehadiran laki-laki dengan bandana melingkar di lengan kanannya.
“Delfano?”
“Pagi Anisha. Berangkat bareng, yuk!”
“Kamu kenapa bisa–”
“Ayo cepat!” ucapnya menarik tangan Anisha menuju motornya.
“Tumben kamu pakai motor, waktu itu kamu...”
“Waktu itu aku akan bertemu dengan orang tuaku. Semenjak masuk kampus aku tinggal di rumahku sendiri.” Jawabnya tersenyum.
“Jadi saat kejadian itu aku ada di rumah...”
“Iya. Itu rumahku.” Balas Fano. “Sudah lupakan ayo cepat naik.” Lanjutnya.
Gadis itu menolaknya dengan beralasan takut dicurigai oleh kumpulan mahasiswa di sana karena tau Fano cukup terkenal di kampus. Namun Delfano tak menyerah terus mengajaknya berangkat bersama akhirnya Anisha mengiyakan ajakan itu.
“Tapi turunkan aku sebelum gerbang utama.” ucapnya.
“Iya.” Balas Fano.
Beberapa menit berlalu, mereka sampai di kawasan kampus. Gadis itu segera pamit lalu pergi sendiri menuju gedung kampusnya.
“Alhamdulillah tidak ada yang melihat.” Anisha bernapas lega.
Sepanjang ia berjalan semua tatapan mahasiswa itu tertuju padanya. Tatapan yang seakan mengartikan benci, jijik dan takut.
“Oh jadi itu orangnya yang katanya hamil diluar nikah?”
“Ih amit-amit dia anak pesantren loh padahal tapi ternyata ya...”
“Itu yang juara MTQ waktu itu, kan? Astaga naga dia bener-bener hamil?”
Itulah ucapan yang terdengar dari mahasiswa di sekitar nya. Anisha heran kenapa orang-orang bisa tau bahwa dirinya tengah berbadan dua.
Gak itu pasti khayalan ku aja. Aku salah dengar
Anisha tetap berpositif thinking tak peduli dengan perkataan orang-orang tadi.
“Anishaaaa...!” teriak Vita berlari lalu memeluknya diikuti Karin dan juga Afi.
“Kalian... Eh kenapa ya orang-orang,”
“Nis, kok perut kamu keras banget?” tanya Vita setelah melepaskan pelukannya.
“Ma-maksudnya?” Anisha balik bertanya.
Ketika Vita hendak kembali memegang perut Anisha, dengan cepat gadis itu menepis tangan temannya.
“Ahk! Kok kamu gitu sih? Jangan-jangan...” kata Vita membuat Anisha sedikit takut.
“Jangan-jangan gosip itu bener, ya? Kalau kamu itu hamil diluar nikah.” Karin menerobos ucapan Vita.
Anisha terdiam sejenak menyiapkan kalimat yang pas untuk menjawab pertanyaan temannya. “Tidak. Mana mungkin! Itu kan hanya gosip.”
“Heh Anisha, semua orang di sini sudah tau. Berita itu tersebar di info harian.” Jelas Afi.
“Itu bohong! Aku tidak–”
“Gila ya kamu, Nis? Kami kira kamu anak baik-baik karena lulusan pesantren. Ternyata ... busuk!” ucap Vita.
“Vit, aku bisa jelasin itu semua gak bener! Vitaaa!”
Ketiga temannya pun pergi meninggalkan Anisha seorang diri.
Astaghfirullah ya Allah kenapa bisa gini?
Risau, gelisah tak karuan menyadari semua mahasiswa sudah mengetahui berita tersebut entah dari mana gosip itu menyebar.
Tatapan kebencian diterimanya baik di luar kelas maupun di dalam kelas. Anisha sungguh tertekan karena tak ada yang mau mengobrol dengannya.
Beralih ke gedung satu hingga gedung lain ia benar-benar mendapat perlakuan yang buruk dari teman sekelasnya. Ia tak menyangka dampak gosip itu begitu besar baginya.
“Bisa-bisanya ya anak pesantren yang biasanya dikenal alim, sholehah, paham agama eh taunya pelacur. Ih huek jijik!” ucap salah satu mahasiswa putri.
“Iya gak nyangka ya, itu ya orangnya?” sambung temannya.
“Eh pihak kampus udah tau belum sih? Gedeg aku takutnya malah anak-anak lain ikutan lagih karena dia gak dapet sanksi apa-apa.” Tambah teman satunya lagi.
Ingin sekalian ia hiraukan gosip itu tapi tidak bisa. Dirinya begitu malu melihat semua orang membicarakan nya dan memakinya.
“Sebenarnya dari mana asal gosip itu? Aku bahkan tidak pernah membeberkan di media. Bukannya hanya tiga orang yang tahu rahasiaku?” batinnya.
“Anisha, memang benar ya gosip itu?” tanya salah satu teman kelas bahasanya.
“I-itu tidak benar! Memang siapa yang sudah menyebarkan hoax itu?” Anisha balik bertanya.
Temannya langsung memperlihatkan postingan di ponselnya yang memuat tentang Anisha yang tengah hamil. Entah siapa pemilik akun itu tapi yang jelas komentar nya benar-benar membuat hati Anisha pedih.
Ya Allah apakah ini termasuk hukuman yang harus aku tanggung?
Anisha membuang napas panjang dan meyakinkan temannya itu bahwa gosip itu palsu walau kenyataannya memang benar.
“Aku percaya kok kamu tidak mungkin berbuat seperti itu. Mungkin ini hanya orang yang tidak suka padamu jadi memfitnahmu.” Balas temannya itu.
“Terima kasih ya sudah percaya padaku.” kata Anisha tersenyum.
Belum selesai sampai sana gosip itu benar-benar cepat meluas dan membuat namanya buruk di mata orang lain. Di kelas pun tak ada yang mau mengobrol dengannya. Dirinya hanya mendapat cibiran dan cemoohan dari teman-temannya.
“Kenapa ini harus terjadi?”
Mau ditahan sekuat apapun, ia tak dapat menghiraukan tatapan kebencian itu. Sudah berapa kali ia yakinkan bahwa itu hanya gosip tanpa bukti tetap tidak ada yang percaya. Anisha hanya bisa menitihkah air mata menatap dirinya di cermin wastafel.
“Eh astaga ada kupu-kupu malam.” Celetuk seseorang di pintu masuk toilet.
“Lagi mual-mual ya karena hamil?” lanjut teman di sampingnya.
“Heh Anisha kamu itu padahal santri tapi kelakuanmu ternyata ya... Pelacur!” ucap gadis berambut sebahu.
“Kupu-kupu malam? Maksudnya apa? Kalian percaya gosip itu?” tanya Anisha.
Ketiga orang itu berjalan mendekat mengepung Anisha dari segala sisi.
“Ya kupu-kupu malam, kamu hamil karena pergi ke Bar kan seperti di berita itu?” Jawabnya tersenyum smirik.
Lagi-lagi Anisha meyakinkan ketiga kenalannya bahwa gosip atau berita itu tidak benar. Hanya sebuah tulisan tanpa fakta yang jelas.
Aku memang tengah mengandung tapi aku tidak pernah sekalipun pergi ke Bar. Berita itu hanya dibuat-buat!
***Di saat yang sama, seseorang berlari tergopoh-gopoh menuju aula. Dengan napas yang tersengal-sengal ia menepuk pundak temannya.
“Elisa... Kamu sudah tau gosip itu? Cepat El temui Anisha!”
“Aku tau. Anjing emang yang berani nyebarin gosip itu! Kalau aku tau siapa orang nya aku jambak rambutnya.” Kesal Elisa.
“Udah marahnya entar dulu. Coba samperin sahabat kamu!”
Elisa mengangguk dan bergegas pergi mencari Anisha. Tak hanya Elisa yang tengah mencari keberadaan sahabatnya, Delfano juga sibuk mencari Anisha setelah mendengar gosip itu.
Anisha kamu di mana? Semoga kamu kuat mendengar berita itu. Siapa sih yang berani menyebarkan gosip itu? Bukannya yang tau tentang rahasia Anisha hanya aku, Elisa dan Fathan?
Ketika mengingat itu langkahnya terhenti. “Tidak mungkin Elisa yang membocorkannya. Bila teman-temanku sudahku hajar lebih dulu sebelum mereka menyebarkannya. Jangan-jangan laki-laki itu....”
***
“Ngaku aja deh Nis! Setelah kamu harumkan nama baik kampus dengan prestasi, kamu jatuhkan nama baiknya?”
“Itu tidak benar. Aku–”
“Apa-apaan ini hah? Pergi kalian!” ucap Elisa berdiri di depan Anisha. “Tunggu apalagi? Sana pergi!” lanjutnya.
Dengan penuh emosi ketiga gadis itu pergi meninggalkan mereka berdua. Melihat kini di hadapannya adalah sahabat terpercayanya, Anisha menangis sejadi-jadinya di pelukan Elisa.
“Sabar Nis, aku tau kok perasaanmu. Aku janji akan bantu menghilangkan berita itu.” ucap Elisa menenangkan.
“Elisa, aku...." Tiba-tiba pandangannya kabur dan kepalanya terasa begitu pusing. Elisa yang menyadari sangat khawatir dan bergegas menuntunnya menuju unit kesehatan untuk istirahat.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomanceKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...