Baru beberapa langkah dari gerbang kosan, mereka dikejutkan dengan kedatangan seorang laki-laki berjaket hitam dengan kain yang melingkar di pergelangan tangannya. Siapa lagi kalau bukan...
“Delfano...?” wajah Anisha tampak bahagia melihatnya.
Berbeda dengan Farel yang sudah memasang wajah masam menatap Delfano. “Mau apa kamu datang ke sini? Belum cukup ancaman saya?”
“Saya hanya ingin menjelaskan...”
“Halah menjelaskan apa? Pergi dari sini!” tegas Farel.
“Tapi Kak Farel–”
“PERGI! SAYA BILANG PERGI YA PERGI! Jangan panggil saya kakak, saya bukan kakak kamu!” gertaknya.
Mendengar gertakan itu ditambah Anisha yang memberikannya isyarat untuk pulang, akhirnya lelaki itu menurutinya. Dengan perasaan kesal Delfano melajukan motornya begitu cepat.
Perlahan sosok Delfano menghilang. Hari itu adalah terakhir kalinya mereka bertemu karena kini dirinya akan tinggal di rumah aslinya.
***
Hari mulai sore. Ketika tengah menunggu lampu merah berubah hijau, seketika ponselnya berdering keras.
“Kenapa?” kata Fano bernada kesal.
“Kamu belum berubah juga, ya? Coba bicara dengan lembut.” Balas Mamahnya.
“Ada apa, Mah?” Tanya Delfano merendahkan suara.
“Fano, hari ini kamu belajar bersama gurumu di pesantren, ya. Dia bilang ada jadwal ngajar di pesantren jadi biar sekalian kamu ikut menyimak.” Jawab Mamahnya menjelaskan.
“Apah? Tapi kenapa harus di pesantren sih? Halo Mah? Halo! Ahkk sial mati lagi.”
Sambungan itu tiba-tiba terputus dan tak lama setelah itu ia diberikan alamat pesantrennya. Singkat waktu lelaki itu sampai di depan gerbang pesantren yang bertuliskan.
“NURUL IMAN”
Delfano tersentak melihat papan nama besar itu. “Ini kan pesantrennya Anisha. Dan...”
“Assalamu’alaikum, sudah datang kamu Delfano.” Sapa Gurunya.
“Waalaikumsalam.” Balasnya.
“Mari masuk gabung dengan yang lain.”
Delfano mengangguk kemudian mengikuti langkah gurunya menuju sebuah bangunan. Ia teringat bahwa Anisha satu pesantren dengan Fathan. Lelaki itu melihat kiri dan kanannya mencari keberadaan Fathan.
Sesampainya di tempat ngaji itu ia dipersilahkan duduk bersama santri-santri lain. Satu hal yang membuatnya heran adalah adanya kain hijau yang membentang memotong ruangan itu entah apa yang ada di baliknya.
“Dibalik kain itu ada apa?” Celetuknya melirik ke kanannya.
“Oh itu sengaja memang biar jadi pembatas antara santri putra dan putri. Dibalik itu ada santri putri.” Jawab salah satu santri di sampingnya.
Kedatangan Delfano menjadi sorotan para santri putra di sana karena hanya dirinya yang berpenampilan berbeda. Dirinya yang berpakaian panjang serba hitam sedangkan yang lain sarung dan baju koko.
“Kamu santri baru, ya?” tanya orang di sampingnya.
“Bukan.”
“Oh cuma ikut ngajinya aja, ya? Coba kalau ikutan mondok di sini, seru banget! Apalagi kalau diajar sama ustaz Musa.” Ucapnya melihat ke arah gurunya.
“Hmm, jadi ustaz Musa itu guru di pesantren ini?” Batin Delfano.
Tak lama kemudian dimulailah pembelajaran itu. Delfano hanya menyimak dan merespons seadanya hingga membuatnya bosan. Ketika yang lain tengah fokus ke depan, diam-diam Fano melangkah keluar ruangan itu.
“Eh mau ke mana kamu?” tegur seseorang.
“Sial, ketauan nih.” ucapnya membalikkan badan melihat seseorang yang menegurnya tadi.
“Delfano?”
“Fathan?”
Ucap mereka berbarengan. Fathan mendekat memastikan yang dilihatnya benar orang yang dikenalnya. “Kamu belajar di sini?” tanya Fathan.
“Gak usah ketawa gak lucu.” Kata Delfano membuang muka.
“Loh saya gak ketawa. Saya cuma nanya.” Balas Fathan.
Karena sudah terlanjur diluar ruangan tadi dan malu untuk kembali akhirnya lelaki itu mengikuti Fathan ke kediamannya. Fano dipersilahkan duduk di kursi depan rumah Fathan.
“Ini minumannya, saya pamit dulu.” kata Mpok Eti menghidangkan teh hangat.
“Kamu bener.” Delfano membuka pembicaraan. “Kakaknya Anisha datang dan mengancamku. Kakaknya saja sudah semarah itu apalagi nanti ayahnya.” Lanjut Fano.
“Jadi itu penyebab wajahmu lebam banyak luka. Kak Farel memang sangat sayang pada Anisha.” jawab Fathan.
“Tapi, kenapa dia menuduhku membuka kembali luka yang pernah diterimanya? Apa yang pernah terjadi pada Anisha di masa lalu?”
Pertanyaan Fano membuat Fathan terdiam sejenak. Satu pertanyaan itu membuat ingatannya flasback ke masa lalu.
“Bila itu yang dikatakan Kak Farel, memang benar. Dulu Anisha pernah mengalami suatu kejadian yang membuatnya trauma berkepanjangan.”
“Ceritakan! Apa yang terjadi?” pinta Fano menatapnya.
“Sebenarnya dulu....”
Tanggal 22 Maret adalah hari terburuk bagi Anisha. Di mana saat itu ia hampir saja mengalami kejadian yang tidak pernah terbayangkan selama hidupnya.
Sore itu setelah ujian sekolah Anisha bergegas pulang karena ingin melihat acara Hadroh di pesantrennya.
“Anisha...! Kamu tidak mau pulang bersamaku?” ujar Fathan menghampiri sepupunya.
“Gak lah kamu kan harus eskul basket dulu, lama pasti. Aku mau cepat-cepat ganti baju liat acara di pesantren.” Jawab Anisha melihat baju putih Abu-Abunya sudah kotor.
“Baiklah. Hati-hati, ya.” ucap Fathan.
Melihat gadis itu perlahan pergi, muncul kekhawatiran di hati kecilnya.
Kenapa perasaanku gak enak, ya? Atau mungkin ini pertama kalinya Anisha tidak pulang bersamaku jadi terasa aneh aja? Apa aku ikuti Anisha aja, ya?
Pada akhirnya Fathan meninggalkan eskul nya kemudian mengikuti Anisha pulang.
Walaupun berbeda angkot, Fathan masih bisa melihat Anisha karena jarak angkotnya tak begitu jauh. “Loh kenapa Anisha turun di situ?” Heran Fathan melihat Anisha berlari meninggalkan angkot itu.
Fathan juga ikut berhenti dan menghampiri angkot yang di tumpangi Anisha tadi.
“Lah jadi di angkot ini hanya ada Anisha seorang?” gumamnya.
“Eh Mas mau naik angkot, ya? Maaf gak bisa soalnya angkot saya tiba-tiba mogok.” kata sopir itu.
“Oh iya Pak Terima kasih.” balas Fathan. Kemudian laki-laki itu mengikuti arah Anisha pergi.
Sayangnya Fathan kehilangan jejak Anisha tepat beberapa meter dari angkot tadi. Ketika tengah memerhatikan sekitar, pandangannya teralihkan dengan sebuah benda berkilau di gang itu.
Fathan mendekat dan memungutnya. “Ini kan bros Anisha yang ku belikan untuk nya bulan lalu. Kenapa bisa terlepas?”
Perasaannya semakin tak karuan ketika mendengar suara teriakan perempuan walau samar-samar.
“Suara itu dari arah gang ini. Teriakannya seperti... Minta tolong!”
Perlahan lelaki itu mencari sumber suara di gang yang cukup kecil. Tepat diujung gang terdapat bangunan tua yang sudah diselimuti tumbuhan rambat.
Dengan mata kepalanya sendiri ia melihat seorang gadis berbusana putih Abu-Abu diseret oleh beberapa orang ke bangunan itu.
“Astaghfirullahalazim! Itu bukannya Anisha? Aduh gimana ya aku mau bantu tapi nanti kalau aku... Akhh sial aku harus apa?” kesalnya mengacak-acak rambutnya.
Karena tak ada pilihan lain, Fathan mengabari kakaknya Anisha untuk datang ke lokasi.
“Di mana Anisha?” tanya Farel panik.
“Di bangunan itu, Kak.” Jawabnya.
Tanpa basa-basi lagi lelaki itu segera berlari menuju bangunan itu. Setelah pintu didobrak paksa alangkah terkejutnya Farel mendapati adiknya yang penuh luka lebam juga busananya robek-robek.
“Sialan! Kalian apakan adik ku, Hah?” ucap Farel tersulut emosi.
Tanpa babibu Farel langsung menghajar keempat orang asing itu. Selagi Farel tengah menghajar orang itu, Fathan bergegas masuk ke bangunan itu dan melepaskan tali yang membelit tangan dan kaki Anisha.
“Anisha kamu baik-baik saja? Mereka tidak berbuat apa-apa, kan?” tanya Fathan khawatir.
“Fathaaaann... Bawa aku pergi dari sini! Aku takut di sini!” ucap Anisha berderai air mata.
Fathan segera menggendong Anisha di punggungnya dan membawanya pergi dari tempat itu. Hatinya begitu perih melihat kondisi Anisha yang sudah hampir setengah telanjang.
“Bertahanlah Nis, kita cari tempat yang aman.” ucapnya.
“Fathan! Bawa pergi jauh Anisha! Biarkan aku yang mengurus orang-orang bejat ini.” Teriak Farel mengelap darah di sudut bibirnya.
Setelah menemukan tempat yang aman, Fathan langsung menghubungi pihak berwajib untuk membantu meringkus penjahat itu.
“Fathan... aku takut,” ucap Anisha jatuh ke pelukannya bersama air mata yang terus turun.
Tubuh Anisha gemetar ketakutan, detak jantungnya begitu cepat sampai Fathan bisa mendengarnya. Ingin sekali ia menghindar pelukan itu tapi melihat kondisi Anisha yang rapuh ia tak tega.
“Tenang... Ada aku di sini. Ada Kak Farel juga, semuanya akan baik-baik saja.” ucap Fathan memakaikan jas almamater nya untuk menutupi tubuh Anisha.
Tak lama kemudian polisi datang dan langsung memborgol penjahat itu. Untungnya polisi datang tepat waktu kalau tidak Farel sudah melampiaskan amarahnya pada empat orang itu.
“Beruntung kalian tidak sampai aku buat mati!” ucap Farel meninggikan suaranya.
“Sudah cukup! Kita bisa bicarakan di kantor. Ikuti saya.” Ucap pak polisi.
Ya semenjak kejadian itu sikap Anisha benar-benar berubah drastis. Gadis itu lebih sering melamun, menangis tanpa sebab dan bahkan mengurung diri.
Kejadian itu benar-benar meninggalkan trauma dalam baginya hingga ia tidak masuk sekolah tiga bulan. Selain itu, Anisha menjadi takut pada semua laki-laki termasuk Ayah dan kakaknya.
Hal itu cukup membuat Fathan sedih karena sudah sejak kecil mereka bersama dan baru kali ini dirinya dibenci oleh sepupunya.Sejak saat itu Farel semakin menyayangi dan menjaga Anisha. Ia tak segan-segan akan menghajar siapa pun yang berani membuat adiknya terluka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomanceKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...