“Benar apa yang dikatakan Fathan. Aku harus segera keluar dari pesantren agar tidak memunculkan sesuatu yang lebih buruk.” batinnya.
Tak terasa hari semakin siang dan aula sudah dipenuhi mahasiswa juga orang lain untuk menyaksikan drama dan pentas musik.
“Nis, liat drama ini juga ternyata,”
“Iya, Lis. Oiya judulnya apa, ya? Aku gak lihat posternya.” tanya Anisha.
Sahabatnya itu memberikan poster yang dia punya. “Judulnya ‘Putri yang terbuang' dengar-dengar sih mereka ambil dari novel yang dibuat anak sastra.”
Seketika semuanya hening dan tirai merah terbuka menandakan drama tersebut dimulai. Sorakan gembira terdengar di ruangan itu, kisah yang disuguhkan benar-benar menyihir mereka.
Ditengah acara itu Anisha merasakan hal tak enak dengan tubuhnya. Takut bila ia mual-mual di sana dan menganggu suasana penonton, gadis itu cepat-cepat pergi dari keramaian dan memacu kakinya menuju toilet.
Di sudut ruangan seseorang memerhatikan gadis itu. “Anisha? Lagi-lagi dia seperti itu.”
Setelah tiba di toilet, gadis itu berlari ke watafel di mana dia melontarkan isi perutnya yang tak tertahankan itu. Dengan cepat Anisha membersihkan mulutnya lalu menatap dirinya sendiri di cermin. “Tubuhku lemas... Apa aku izin pulang saja, ya?”
Pandangannya mendadak kabur dengan rasa yang tak mengenakan di perutnya. Anisha menyerah, dia memutuskan untuk izin pulang dan memilih istirahat di pesantren. Setelah merapikan pakaiannya, gadis itu bergegas keluar dari toilet.
“Kamu sakit?” Tubuhnya membeku mendengar suara itu.
Kepalanya menengok ke kanan mendapati sosok laki-laki yang dikenalnya. “Delfano...!” Spontan Anisha menjauh dari laki-laki itu.
“Mau apa kamu ke sini? Aku kan sudah bilang jangan usik–” ucapnya terhenti dengan rasa tak enak di perutnya.
“Seharusnya aku yang bertanya, kamu sakit?” Balasnya balik bertanya.
“Kalau pun aku sakit, itu bukan urusanmu!” Anisha melangkah pergi namun tangannya ditarik dan di cengkeram erat oleh Delfano.
“Tunggu, aku belum selesai.” ucap Delfano.
Anisha begitu risih ketika mereka berdua menjadi pusat perhatian di sekitar toilet karena memang keadaannya saat itu cukup ramai. “Delfano. Tolong, di sini banyak orang. Biarkan aku pergi.” Bujuknya berharap melepaskan genggaman tangan itu.
Delfano baru tersadar bahwa sedari tadi banyak mata yang memerhatikan mereka berdua. Tanpa persetujuan Anisha, lelaki itu langsung menarik tangan Anisha berjalan mengikuti arahannya. Jelas hal itu tak disukai Anisha dan ia hanya meronta agar dilepaskan.
“Delfano lepaskan! Kau pikir dengan cara ini aku akan memaafkanmu? Justru aku semakin benci!” ucap Anisha.
“Diam dan ikuti aku.” Tatapan yang menusuk itu langsung membuatnya terdiam. Bayangan malam kelam itu seketika terlintas lagi di otaknya.
Gadis itu dibawa ke ruang kelas kosong dan barulah tangannya bisa terbebas dari cengkeraman itu. Kepalanya mendongak menatap laki-laki di hadapannya.
“Nah sekarang tidak ada yang memerhatikan kita. Tanganmu gemetar, kamu takut denganku, hm?” tanya Delfano tersenyum.
Anisha hanya terdiam tidak ingin meladeni ucapan itu. Namun, semakin lama ia diam ia tidak bisa pergi dari ruangan itu. Anisha menghela napasnya seraya berkata, “Baiklah aku kalah. Apa yang ingin kamu ketahui dariku?”
“Sebelumnya maaf perlakuanku tadi. Anisha, entah aku berhak atau tidak, tau akan kondisimu. Tapi aku perhatikan kamu terus-menerus mual dan wajahmu selalu pucat. Itu... itu karena aku, kan?”
Anisha paham maksud pertanyaan laki-laki itu tapi dia tidak ingin apa yang sedang dialaminya diketahui oleh Delfano. Meski ketakutan, ia memberanikan untuk terus menatap lawan bicaranya.
“Itu bukan urusanmu. Apa pedulinya kamu terhadap kondisi kesehatan... aku, maaf...,” Kalimatnya terhenti. Dalam pandangannya dunia terasa berputar ditambah gelombang mual yang semakin terasa di perut hingga ke tenggorokannya.
“Kamu baik-baik saja, Anisha?” tanya Delfano khawatir.
“Aku baik.” jawabnya.
Delfano mendekat lalu memegang kedua pundak Anisha seraya berkata, “Anisha, ceritakan saja apa yang terjadi pada tubuhmu. Semua itu kesalahan ku, aku berani tanggung jawab. Aku janji, apa pun itu.”
Namun Anisha memilih diam. Ia memalingkan pandangannya. Delfano tak patah semangat ia terus membujuk agar lawan bicaranya itu mau mengakuinya.
“Anisha, kamu hamil?”
Gadis itu langsung menatap Delfano dengan wajah terkejut. Entah sudah tau atau tidak pikirnya lelaki itu hanya menebaknya saja.
“Nggak! A-aku gak hamil!” jawab Anisha cepat.
“Anisha, aku–”
“Cukup! Pembicaraan ini selesai. Aku baik-baik saja dan jangan pedulikan kondisiku karena semua itu bukan urusanmu!” ucapnya tegas, kemudian pergi meninggalkan Delfano.
“Kenapa kamu begitu ragu untuk jujur? Apakah aku terlalu kejam di matanya? Aku ingin memperbaiki kesalahan ku. Tapi, bagaimana?” batin Delfano.
Setelah meminta izin ke leader-nya dan mendapatkan izin itu. Anisha pun bergegas pulang ke pesantren diantar Elisa. Gadis itu tidak menceritakan kejadian tadi saat bertemu dengan Delfano.
Di perjalanan pulang, Anisha teringat sesuatu. Ia pun bertanya, “Lis, bisa bantu aku cari kos-kosan?”
“Lah, bukannya kamu tinggal di pesantren? Kenapa cari kosan?” Elisa balik bertanya.
“A, aku ingin keluar dari pesantren.” jawabnya.
Tiba-tiba motor itu berhenti mendadak membuat Tubuhnya terlonjak kaget. “Kenapa keluar? Ada yang bully kamu? Siapa hah? Sini biar aku hajar!” ucap Elisa.
“Eh bukan gitu, aku hanya ingin tinggal sendiri saja.” Jelasnya. Anisha terpaksa berbohong tak ingin sahabatnya tau masalahnya.
Sesampainya di pesantren, sebelum pergi ke asrama ia berterima kasih pada sahabatnya kemudian mereka berpisah.
“Apa Fathan sudah kembali?” gumam Anisha melihat rumah lelaki itu.
***
Di sisi lain. Seorang laki-laki yang tengah termenung dikejutkan oleh teman-temannya. Ketiga laki-laki itu ikut duduk di sampingnya sambil membagikan minuman dingin.
“Kenapa? Tumben tuan muda Arsyanendra melamun.” Awang memotong keheningan.
“Gua bingung,” ucap Delfano.
Ketiga sahabatnya saling bertatap ikut bingung dibuatnya.
“Emang bingung kenapa?” tanya Theo membuka tutup botol mineral.
“Gua pengen dia jujur.” Jawabnya.
“Jujur? Masalah cewek? Emangnya lo mau tuh cewek jujur apa?” tanya Gading ikut membuka tutup botol air minumnya.
Lelaki itu terdiam sejenak, “Gua mau dia jujur, kalau dia hamil.”
Ketiga lelaki itu tersedak minumannya mendengar jawaban itu. Lantas mata mereka tertuju pada Delfano dengan penuh pertanyaan. “Tunggu apah? Maksudnya ... Hamil?” tanya mereka bertiga.
“Aduh keceplosan lagih... Gimana ya apa gua jelasin aja?” batin Delfano.
Setelah di pikir-pikir Delfano pun memutuskan untuk menceritakan yang sebenarnya pada sahabatnya. Wajah syok terlihat jelas di ketiga laki-laki itu. Mereka tak percaya gara-gara minuman malam itu berdampak pada orang lain.
“Sumpah demi apa lo lakuin itu ke anak orang?” Gading masih tak percaya.
“Apalagi anak kampus sini,” Sambung Theo.
“Terus ... Sekarang dia hamil anak lo?” tanya Awang.
“Ahk tau lah pokoknya gitu. Gimana, ya, biar dia jujur?” Kesal Delfano.
Awang ikut berdiri dan menepuk pundak Delfano. “Fan, kalau lo suka sama tuh cewek dan mau dia tetap di dekat lo, kejar Fan! Gak usah bingung!”
Theo juga berdiri menyambung ucapan Awang. “Lo mau anak lo, darah daging lo sendiri pergi dibawa cewek itu? Jangan sampai malah digugurkan.”
“Kita tau hal yang lo lakuin itu salah, tapi lo bakal tanggung jawab, kan?” tanya Gading.
“Iya! Gua berani tanggung jawab.” jawabnya semangat.
“Tenang, Fan. Kita bakal bantu lo dan kita janji gak bakal bocorin rahasia ini. Lagian kalau di bocorin kita udah duluan bonyok sama lo.” ucap Awang tertawa.
“Paham juga kalian.” Delfano tersenyum sinis.
“Jadi, siapa nama cewek yang lagi ngandung anak lo itu?” tanya Theo penasaran. Begitu juga Awang dan Gading.
“Anisha Sayeeda Misha.” jawabnya.
“Wait... Apah! Gila anjir dia kan anak pesantren.” Theo terkejut.
“Bakal berat sih. Bagaimana pun juga lo harus tanggung jawab, kasian Fan dia santri loh. Gimana perasaan pengurusnya kalau tau ini.” kata Gading.
“Ah udahlah berisik! Gua mau sendiri.” ucapnya pergi meninggalkan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
Storie d'amoreKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...