Bab 17 Hati yang Ragu ✨️

800 65 3
                                    

Setelah diobati dokter itu pun pamit pulang. Dirinya diberi pesan agar tetap menjaga kesehatan tubuhnya karena dokter itu tau bahwa Anisha tengah berbadan dua.

“Jadi, sekarang kamu tetap memilih menggugurkannya?” tanya Elisa menggenggam kedua tangan Anisha.

“Tidak. Aku akan menjaganya sampai dia lahir, dia kan tidak bersalah.” jawabnya tersenyum.

“Syukurlah bila kamu sudah memutuskannya. Aku janji akan menjaga rahasiamu, dan siapa pun yang berani mencelakaimu atau pun menghinamu, aku yang akan melawan mereka.” tegasnya.

Hari itu cukup membahagiakan hati Anisha karena rasa setia kawan Elisa yang rela menginap di kosannya.

Elisa juga sangat menghargai dan menghormati dirinya ketika ia salat dan juga mengaji, sahabatnya itu diam mendengarkan lantunan ayat Al-Quran.

“Suara kamu merdu, Nis.” Pujinya.

“Terima kasih.”

Keesokan harinya asisten Elisa sudah datang ke kosannya lengkap dengan pakaian ganti untuk Elisa. Setelah bersiap mereka berangkat bersama menuju kampus.

Aku harus bertemu Delfano! Dasar laki-laki brengsek, tega sekali kamu melakukan hal itu pada sahabatku

Elisa tersadar ketika pundaknya ditepuk Anisha yang khawatir dengan keadaannya. “Jangan melamun...”

“Aku tidak melamun, kok. Cuma masih mengantuk aja hehehe...” Balas Elisa.

“Ah begitu... Seharusnya semalam kamu tidak usah begadang.” ucap Anisha yang dibalas senyuman Elisa.

Sesampainya di kampus mereka bergegas masuk melewati gerbang. Keberuntungan saat itu memihak pada Elisa. Keinginannya sudah terkabul di depan mata.

“Eh Lis mau ke mana?”

Anisha heran melihat sahabatnya itu berjalan cepat dengan penuh amarah ke arah seseorang.

“Woi Delfano...!” teriak Elisa emosi.
Lelaki itu melirik ke samping melihat seorang gadis berjalan dengan raut kesal.

Tetiba tamparan itu mendarat di pipi Delfano. Suara tamparan itu membuat orang-orang di sana terdiam menyaksikannya. Mendadak suasana hening tak ada yang berani berbicara dan melangkah.

“BANGSAT! Kamu memang cowok brengsek yang pernah ku temui!” Kesal Elisa memaki laki-laki itu.

Delfano hanya terdiam sambil memegang pipinya yang ditampar tadi.

“Anjir! Berani juga lo tampar Delfano. Mau cari mati?” Theo membuka suaranya.

“Apa sih urusan lo sama Fano? Berani-beraninya tampar dia.” Awang menyambung.

Tak hanya itu, teman-teman yang didekat Delfano juga menyalahkan Elisa akibat tamparannya.

“Apa? Aku tidak salah. Yang salah itu dia! Ini ketua brengsek kalian! Kamu gila, ya, sudah menodai sahabat ku? Cowok macam apa kamu Delfano!”

Ketika amarahnya semakin memuncak, Anisha berlari melerai pertikaian itu dan menarik Elisa pergi dari hadapan Delfano.

“Maaf, ya, sahabatku lagi kurang enak badan, jadi ucapannya suka asal. Maaf!”
Selepas kepergian dua gadis itu, sejuta pertanyaan muncul di benak teman-teman Delfano.

Dalam Dekapan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang