Tepat sore hari mereka tiba di rumah sakit. Setelah memarkirkan kendaraan mereka bergegas masuk untuk mendaftar. Semua proses itu dibantu Elisa hingga mereka diarahkan menuju ruang tunggu.
Elisa yang menyadari sahabatnya terdiam, kemudian menggenggam erat tangan Anisha. "Tidak usah tegang, Nis. Kan ada aku."
Bagaimana tidak tegang, di sekeliling ruang tunggu itu dipenuhi ibu-ibu yang tengah mengandung besar. Ia sempat berpikir apakah nanti dirinya akan seperti itu.
"Mbaknya mau periksa, ya?" Tiba-tiba orang disamping Elisa mengajak bicara.
"Tidak. Saya hanya mengantar... Sepupu saya, iya sepupu." Jawabnya tersenyum.
"Oh mbak ini. Berapa bulan kandungannya?" tanya wanita tua itu.
"Du-dua bulan." jawab Anisha.
"Wah sehat-sehat, ya. Saya juga lagi nganter anak saya. Eh itu Suaminya, mbak?" tanya wanita itu lagi.
Elisa yang risih dengan wanita tua itu langsung menjawabnya. "Dia bukan-"
"Iya. Saya suaminya." Delfano menerobos ucapan Elisa.
"Heh kamu..."
"Udah Lis, ini tempat umum. Malu ih jangan marah-marah." ucap Anisha berbisik di telinga Elisa.
"Tapi kan dia bukan suamimu, Nis." Elisa tak terima.
"Kalau mereka berpikir yang tidak-tidak gimana? Sudah tak apa untuk kali ini saja."
Penjelasan Anisha membuat amarahnya sedikit reda.
"Nikah muda, ya? Kelihatan banget masih muda Mas, Mbaknya." ucap Ibu itu.
Elisa yang sudah kesal membalasnya dengan senyum kecut. "Ibu, sepertinya anak ibu butuh minum deh. Dia terlihat pucat sekali."
"Ah begitu, maaf sudah banyak tanya." Wanita tua itu langsung mengajak anaknya pergi mencari minum.
"Sabar, Lis." ucapnya menepuk-nepuk pundak Elisa.
Sesaat ia melirik ke arah Delfano yang sama tengah menatapnya lalu memberikannya senyuman.
"Lis, kita nomor berapa? Kok lama banget."
"Nomor 15 kalau tidak salah. Ini baru nomor 7. Memang kenapa? Kamu lapar?" tanyanya pada Anisha.
Gadis itu mengangguk pelan. "Iya, aku mau roti cokelat."
"Akan ku belikan." kata Delfano yang tak sengaja mendengar percakapan itu.
"Tidak usah. Aku saja yang membelinya, nanti kamu malah beli yang sudah kadaluarsa." ucap Elisa melangkah pergi.
Semoga Elisa cepat kembali, aku tidak enak berdua bersamanya
Anisha menatap Delfano yang fokus ke ponselnya.Waktu terus berjalan hingga tak terasa nomor antrean sudah mendekati angka 15. Namun, Elisa belum juga kembali.
"Kenapa Elisa belum datang? Duh... Mana pengen pipis lagih. Udah gak tahan." Batinnya.
Melihat raut gelisah itu, Delfano berjalan lalu duduk di kursi bekas Elisa.
"Kenapa? Hm?" tanyanya.
"Aku, aku mau ke toilet."
"Ayo aku antar."
"Tapi-"
"Kamu mau banjir di sini?" tanya Delfano.
"Tidak usah. Aku bisa sendiri." Jawabnya.
"Memang tau letaknya di mana?" Pertanyaan itu membuat Anisha terdiam. "Ayo cepat!" ucap Delfano.
"Baiklah." Jawabnya kemudian berdiri dan melangkah mengikuti laki-laki itu.
Beberapa menit berlalu. Elisa sampai di tempat tadi dan terkejut melihat dua kursi itu kosong. Ia benar-benar panik dan khawatir karena sahabatnya tidak ada.
"Ke mana Anisha pergi? Pasti tuh cowok biangnya. Awas kamu, ya, Fan."
Ketika berbalik ia tersentak melihat sahabatnya berdiri di dekatnya. Juga laki-laki berjaket hitam berdiri di belakang Anisha.
"Kamu habis dari mana? Aku khawatir tau."
"Maaf, aku tadi kebelet jadi ke toilet dulu." Jelasnya.
"Dia?"
"Tenang, Lis. Dia cuma nganter. Oiya kok kamu lama banget?" herannya.
"Asal kamu tau, ya, Nis. Tuh minimarket rame banget di kasir. Mana ada ibu-ibu yang nyelonong motong barisan. Sumpah aku kesel banget." Jawabnya.
Belum sempat ia membalas, nomornya sudah dipanggil dan Anisha bergegas masuk.
"Eh Fano, sana masuk." ucap Elisa pada Delfano.
"Kamu..."
"Sudah sana masuk!" tegasnya.
Rasa tegang langsung menyelimutinya ketika berhadapan dengan dokter kandungan. Tak henti-hentinya ia berzikir dihatinya.
"Dengan Mbak Anisha, ya?"
"Iya, dok." Jawabnya tersenyum.
"Ini suaminya? Maaf sebelumnya, saya seperti pernah lihat ya wajahnya gak asing. Masnya mirip anak dari perusahaan Arsyanendra. Maaf, siapa toh nama mas nya?" ucap dokter itu.
Keduanya langsung membeku mendengar itu. Bukan pernah liat tapi memang itulah anak dari perusahaan Arsyanendra.
"Nama saya ... Sahril. Saya fans berat tuan muda perusahaan itu. Jadi, saya mengikuti gaya rambut beliau." Jelas Delfano dengan tenang.
"Owalah begitu..."
Setelah mengobrol cukup panjang kini saatnya Anisha di USG untuk melihat keadaan janinnya. Ketika alat itu sudah mulai di gunakan ke perut Anisha dan layar monitor menampakkannya.
"Titik ini, Bu. Janinnya sehat, ya, alhamdulillah." ucapnya.
Entah ingin bahagia atau sedih melihat titik kecil itu. Yang dipikirkannya saat itu adalah orang tuanya, bagaimana bila mereka melihat kejadian ini.
Selepas pemeriksaan itu mereka keluar dari rumah sakit lalu duduk sebentar di kursi panjang dekat pintu keluar.
"Ini fotonya? Wah gila keren banget. Nanti kalau sudah lahir aku dipanggil apa, ya? Aunty? Hahaha,"
Anisha tersenyum melihat Elisa tertawa puas sambil memegang foto hasil USG nya. Sebelum pulang mereka menyantap roti yang sudah dibelikan Elisa tadi. Delfano juga membeli buah-buahan segar untuk Anisha.
Melihat perlakuan lembut laki-laki itu membuat hatinya sedikit melunak. Kini terbukti satu persatu ucapan laki-laki itu dan membangun kepercayaan Anisha.
"Ini makanlah." Delfano memberikan kelengkeng yang sudah di kupas kulitnya.
"Terima kasih. Fan, apakah kamu yakin dengan janjimu?" Anisha memberanikan untuk bertanya.
"Anisha, tidak ada untungnya aku berbohong. Aku janji akan bertanggung jawab untukmu dan untuk anakku." Jawab Delfano tersenyum menatap lurus ke arahannya.
"Anisha. Apa yang membuat hatimu ragu bila aku menikahimu? Adakah ketakutan dalam hatimu?" Delfano memastikan keraguan itu namun Anisha memilih diam.
Delfano beranjak dari tempat duduknya lalu mengulurkan tangan membantu Anisha berdiri. "Setelah kegiatan KKN. Kita menikah!"
"Tapi-"
"Tidak ada tapi. Saat itu juga aku akan meminta maaf pada orang tuamu." Ucapnya.
"Andai kamu tau Fan, ada satu laki-laki lagi selain ayah yang mungkin akan murka padamu. Kak Farel, semoga belum datang saat hari itu." Batin Anisha memikirkan kakaknya.
BERSAMBUNG....
________________________
Thank you yang masih setia baca cerita amatir ini hehe. Oiya karena ini Re-publish kemungkinan ada komentar yang tidak sesuai Bab. Mohon maaf bila ada kesalahan dalam cerita ini ya😊
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomanceKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...