Hari semakin siang. Setelah salat zuhur, gadis itu duduk di sofa dekat jendela kamarnya. Dari lantai atas, ia dapat melihat security membukakan gerbang untuk seseorang.
Saat itu, notifikasi masuk ke ponselnya, menunjukkan nama Bunda yang mengirim pesan tersebut.
“Sayang, Bunda kirim brownies tadi. Kalau sudah sampai bilang, ya.”
“Terima kasih, Bunda.” Anisha membalas pesan itu.
Tak lama pintu kamarnya dibuka oleh Delfano yang baru kembali dari urusannya. Melihat di genggamannya ada tas kecil bertuliskan "Brownis Lumer" ia tau pasti itulah kiriman Bundanya.
Lelaki itu juga membawa segelas susu di tangan satunya dan berjalan menghampiri Anisha.
“Minumlah. Habisin, ya.” ucap Delfano menyerahkan segelas susu tersebut.
Gadis itu mengambilnya lalu meminumnya namun hanya setengah saja ia minum.
“Sudah.” kata Anisha menyerahkan gelas tersebut.
“Tinggal sedikit lagi, habisin ya sayang.” Pintanya.
“Gak mau.”
“Mubazir, loh. Yuk habisin.”
“Kamu aja yang minum.” Sahut Nisha.
Delfano menghela napasnya kemudian meminum sisa air susu di gelas tersebut. Setelah meletakkan gelas itu di meja, Fano pun memakan brownis yang ia bawa sambil mengutak-atik ponselnya.
“Itu dari Bunda, ya? Kenapa gak tawarin aku?” Sambil cemberut, Anisha menyuapkan sepotong brownis ke mulutnya.
Lelaki itu mendekat kemudian menyeka noda brownis di sudut bibir Anisha. “Kamu kayak anak kecil aja makan blepotan gini,”
“Huh! Biarin terserah aku.” jawabnya ketus. Delfano menyimpulkan senyumnya melihat tingkah lucu istrinya.
“Istriku imut banget sih kalau marah.” ucap Delfano mencubit lembut hidung Anisha.
“Ih jangan dicubit nanti hidungku panjang kayak pinokio.” Kesalnya membuang muka.
Lagi-lagi lelaki itu tertawa melihat wajah kusut istrinya. Anisha melirik memerhatikan lengan kanan Delfano, ia cukup senang kain itu masih melingkar di lengannya.
“Tadi saat aku sampai di rumah ada orang yang mengirim brownies ini. Katanya dari kediaman Misha. Kamu suka banget cokelat, ya?”
“Iyalah kan manis. Terima kasih ya sudah membawakannya.” Balas Anisha.
“Apa hanya dengan kata-kata saja ungkapan itu?” responsnya.
“Eeh? Ka-kalau begitu, kamu mau apa?” tanya Anisha.
“Cium aku.” Jawabnya.
“A-apa?!”
Anisha terdiam cukup lama sedangkan lelaki masih setia menatap lurus wajahnya diselipi senyumannya. Gadis itu pun mengangguk pelan menyetujuinya.
Delfano mendekat mengusap lembut pipi gadis itu, lalu berbisik padanya. “Mau aku yang memulainya? Hm?”
Tanpa drama lagi, gadis itu langsung mencium pipi kanan Delfano kemudian kembali ke posisi semula sambil menyembunyikan wajah malunya.
“Terima kasih kembali.” ucap laki-laki itu.
“Delfano.”
“Kenapa sayang?” Delfano mengangkat tangannya untuk menyelipkan rambut Anisha di telinga, memperlihatkan wajah cantik istrinya yang tak berbalut hijab.
“Tadi Fathan memberitahuku, dia mau pergi ke Kairo. Katanya sih melanjutkan study di sana. Aku mau ke pesantren untuk mengantarnya pergi, boleh?”
Tatapan yang semula hangat mendadak berubah datar. Lelaki itu mengelus lembut kepala Anisha seraya berkata, “Sayang, kamu harus banyak istirahat. Jarak dari sini ke pesantren jauh, kasihan kamu sama bayi kita.”
“Tidak boleh, ya?” Batin Anisha, sedih.
Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk oleh seseorang. Ketika terbuka, tampak sekretaris Arka bersama kedua adiknya masuk sambil membawa beberapa kotak di tangannya.
Lelaki itu menjelaskan bahwa Bu Fiona yang menyuruh membawakan hadiah-hadiah tersebut karena sudah lama tidak dibuka sejak hari pernikahan itu. Setelah mengantarnya sekretaris Arka pamit meninggalkan kedua adik Delfano di kamar tersebut.
“Kalian mau ikut membukanya?” Tanya Anisha melihat dua adiknya masing-masing sudah memeluk satu kotak.
“Iya kak. Siapa tau isinya mainan ya?” jawab David.
“Atau mungkin boneka besar.” Sambung Kayla semangat.
“Mereka lucu sekali. Seperti ini ya rasanya punya adik?” Batin Anisha tertawa melihat tingkah dua adik iparnya.
Ketika sibuk membuka hadiah-hadiah itu, Delfano menemukan kado dari anak-anak adgares. Bentuknya kubus sedang berwarna hitam.
“Perasaan gua gak enak liat nih kado. Pasti mereka kasih yang aneh-aneh.” Tebak Delfano dalam hatinya.
Saat dibuka ia melihat sticky note bertuliskan.“Biar lo kuat. Happy wedding, Sohib kita!”
“Sialan mereka ini! Benerkan isinya itu, awas saja kalau ketemu.” Kesalnya tak sengaja di dengar oleh orang disampingnya.
“Kenapa kamu? Marah? Itu hadiah isinya apa?” tanya Anisha kemudian mendekat mencoba melihat isi hadiahnya.
“Eh gak, gak! Bukan apa-apa. Hehe.” Jawab Delfano menyembunyikan kado tersebut.
Anisha tak ambil pusing kemudian kembali membuka kado itu. Ada satu totebag yang mengalihkan matanya, ketika dibuka isinya adalah Al-Quran yang ada resletingnya. Di dalamnya juga terdapat surat yang bertuliskan.
“Banyak-banyakin baca Qur’an, ya. Nanti bayinya jadi penghafal Al-Quran. Aamiin....” Tulis Fathan Dzaki Al-Faris.
“Aamiin... Terima kasih, Fathan.” ucapnya pelan.
Melihat gadis itu tersenyum menatap hadiah yang dipegangnya membuatnya ikut tersenyum bahagia lalu memeluknya.
Perlahan luka yang semula dirasakannya digantikan dengan rasa cinta yang diberikan laki-laki itu. Dalam dekapannya ia merasakan kehangatan dan kasih sayang laki-laki itu.
“Ikutan, kak.” Tetiba kedua adiknya ikut memeluknya.
“Aku tidak akan membiarkan hatimu terluka Anisha. Aku janji kamu akan merasakan kebahagiaan yang belum pernah kamu rasakan sebelumnya.” Batin Delfano.
Malam harinya setelah membantu mertuanya membersihkan cucian piring, ia kembali menuju kamarnya. Saat menaiki tangga, seseorang memanggilnya dari belakang.
“Nona Anisha, ada surat untuk tuan Delfano.” Lelaki itu menyerahkan amplop tersebut.
“Baiklah, aku akan memberitahunya. Terima kasih, ya.”
Saat tiba di kamarnya, ia melihat Delfano tengah fokus dengan laptopnya. Anisha pun mendekat lalu menyerahkan amplop itu dan menyampaikan semuanya.
“Ini adalah undangan kompetisi musik tahunan. Kamu ingat acara musik waktu itu?”
“Iya, aku ingat. Memangnya kenapa?” Anisha tak paham.
“Aku lolos masuk final dan ini surat pemberitahuannya.” Jawab Delfano tampak bahagia.
Dalam surat itu juga diberitahukan untuk mempersiapkan penampilan sebaik mungkin yang akan diselenggarakan dua bulan lagi.
Waktu yang cukup untuknya berlatih dan memenangkan kompetisi itu. Anisha ikut senang mendengar kabar gembira itu.
“Anisha, ada yang mau aku bicarakan.” Nadanya terdengar serius kali ini.
“Kenapa, Fan?”
“Aku mau kita pindah dari rumah ini dan tinggal di rumahku. Aku ingin kita memulai hidup baru dengan keluarga kecil kita.”
Anisha cukup terkejut mendengarnya. Kemudian ia tersenyum dan meraih kedua pipi Delfano.
“Aku akan ikut ke mana pun kamu pergi. Kalau memang itu yang terbaik, aku setuju.”
“Terima kasih, Anisha.” Balasnya memeluk gadis itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomanceKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...