"Tidak. Aku hanya ingin menjelaskan yang sebenarnya. Aku tidak mau terlibat dengan pesantren Nurul Iman." Ucap Delfano.
***
Pecahan piring itu berserakan di lantai. Anisha yang tersadar segera memungutinya. "Duh kenapa tiba-tiba bayangan laki-laki itu muncul lagi?"
"Eh sayang kenapa bisa jatuh? Kamu gak apa-apa, kan? Sudah biar Bunda saja yang membereskan." ucap Bunda khawatir.
"Tidak apa-apa, Bunda. Tadi tanganku hanya licin." jawabnya tersenyum.
Wanita tua itu menghela napasnya, "Sayang... Kamu istirahat saja, ya? Bunda perhatikan kamu kayak lesu gitu, kamu sakit?"
"Cuma gak enak badan, Bunda." jawabnya lalu menuruti ucapan Bundanya untuk istirahat.
Ketika tengah istirahat Elisa meneleponnya dan mengajaknya untuk mengerjakan tugas kampus bersama di kafe.
"Aku tanya Bunda dulu, ya?" ucapnya.
"Siap, aku tunggu." Balas Elisa lewat ponselnya.
"Ke kafe? Sama siapa sayang?" tanya Bunda sibuk mencuci piring.
"Sama Elisa. Boleh, Bun?"
"Oh Elisa... Boleh, kok. Hati-hati, ya." Jawabnya.
Setelah mendapatkan izin ia pun pergi ke luar rumah yang ternyata Elisa sudah standby di sana.
"Wih cantik banget kamu pakai kerudung hitam sama gamis biru tua." Pujinya.
"Alhamdulillah, Terima kasih."
"Aku jadi mau pakai kerudung kayak kamu." ucap Elisa.
"Pakai saja kalau kamu mau." Anisha langsung menjawabnya.
"Memangnya non muslim boleh pakai kerudung?"
Anisha tersenyum mendengarnya, "Mau dia non muslim tidak ada larangan untuk berkerudung. Kalau kamu mau pakai saja, siapa tau kamu dapat hidayah."
"Ah bisa aja kamu. Makasih, ya, kamu sudah mau sahabatan denganku, padahal kepercayaan kita berbeda." kata Elisa.
"Berbeda keyakinan tidak berpengaruh pada persahabatan. Di agama ku mengajarkan untuk toleransi, menerima dan menghormati pada setiap perbedaan tapi tidak pada penyimpangan." jelas Anisha.
Mereka pun segera berangkat ke tempat yang sudah dituju. Sesampainya di sana, Elisa memesan minuman, cappucino dan americano untuk menemaninya mengerjakan tugas.
"Nis, katanya ada yang mengikutimu? Siapa? Sampai-sampai kamu harus tinggal di rumah bukan di pesantren." Elisa memulai obrolan.
Anisha terdiam sejenak lalu menjawabnya, "Iya. Entahlah apa mau orang itu, tapi aku-" ucapannya berhenti.
"Tapi aku... Apa? Apa Nis? Kok berhenti?" Elisa heran.
"Hampir saja aku mengatakan kejadian waktu itu. Aku harus menyembunyikannya." Batin Anisha.
Gadis itu menggeleng dan mengalihkan pembicaraannya. Jelas hal itu membuat Elisa curiga karena dia tau sikap Anisha sejak pertama kali bertemu.
"Ada yang disembunyikan Anisha dariku. Tapi apa?" batin Elisa.
"Kamu baik-baik saja, kan, Nisha?" tanya Elisa meminum kopi americanonya.
"Yes, aku baik." Anisha tersenyum.
Ketika sibuk dengan tugasnya, tiba-tiba ia mendengar suara yang sama sekali tidak ingin di dengarnya. Siapa itu? Oh ya tentu siapa lagi kalau bukan Delfano.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomanceKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...