“Jadi begitu ceritanya. Itulah alasan Kak Farel mengatakan kamu telah membuka kembali luka Anisha karena kejadian itu hampir sama dengan yang dia alami sekarang." ucap Fathan.
“Maksudnya? Tapi Anisha tidak sampai di apa-apa, kan?” Fano penasaran.
“Dia tidak di apa-apa kan. Kata Anisha waktu itu dia turun dari angkot karena angkot itu mogok dan tak lama menemukanmu tergeletak di tepi jalan. Dan setelah itu...” Fathan tak meneruskannya karena ia masih terbayang kondisi Anisha saat itu.
Aku tidak tau Anisha saat SMA pernah hampir mengalami pelecehan. Entah apa yang akan terjadi bila Fathan tidak mengikutinya. Kenapa waktu itu aku bodoh sekali? Kenapa coba aku harus membuka kembali trauma itu?
Panggilan namanya menyadarkan lamunannya. “Sekarang kamu tau kan bahayanya pengaruh minuman memabukkan itu?” tanya Fathan menatapnya datar.
“Iya, aku salah. Ternyata kau sangat mengenal Anisha, ya. Sepertinya dulu kalian sangat dekat.” Kata Delfano.
“Ya, semua hal tentang Anisha... Aku mengetahuinya. Lebih banyak dari yang kamu bayangkan. Anisha itu orangnya sangat waspada, jadi wajar bila dia masih dingin padamu.” Jelas Fathan.
“Kau benar.” Balas Delfano.
***
Semenjak kedatangan kakaknya, Anisha memilih tinggal di rumahnya yaitu kediaman Misha. Semua barang-barang kuliahnya sudah dipindahkan secara bertahap ke rumahnya.
Farel benar-benar menepati janjinya untuk tidak mengatakan rahasia Anisha pada orang tuanya. Hingga saat ini pun orang tuanya belum tahu bahwa Anisha sudah tidak mondok lagi di pesantren.
“Akhirnya ya kita bisa kumpul lagi seperti dulu.” ucap Bunda menuangkan air ke gelas.
“Benar kata Bunda. Oiya Rel, gimana kabar anak dan istrimu di sana?” tanya Ayah.
“Alhamdulillah mereka baik. Mereka tidak bisa ke sini karena ada kendala paspor.” Jawabnya.
Kebersamaan itu menciptakan rasa hangat dan harmonis. Berkumpul dalam satu tempat ditemani makanan dan saling bertukar cerita benar-benar membuatnya nostalgia semasa kecil.Ketika asyik menikmati makanan itu, tetiba perasaan tak enak terasa di perutnya. Anisha mencoba menahan namun tidak bisa.
“Eh kenapa berhenti makannya sayang?” tanya Bunda.
“Nisha kebelet Bunda, pengen pipis.” Jawabnya segera pergi.
“Hmm makanya jangan kebanyakan minum beser kan jadinya.” Kata Bunda tertawa.
Melihat hal itu Farel paham dengan alasan adiknya. Ia pun ikut ke belakang dengan alasan ingin mengambil oleh-oleh yang ia bawa dari luar negeri.
Anisha kembali melontarkan isi perutnya sama seperti hari-hari sebelumnya. Mungkin itu yang dinamakan morning sickness selalu merasa mual saat mencium bau yang menyengat.
Mendengar itu hati Farel begitu pedih. Ia masih tak Terima melihat kondisi Anisha. Pintu pun terbuka dan terlihat wajah Anisha begitu pucat. Farel langsung menyodorkan gelas berisi air hangat pada Anisha.
“Kalau tidak kuat, istirahat saja di kamar.” ucapnya lalu kembali ke ruang makan.
Selalu begitu tiap harinya, terkadang Bundanya pun menyadari perubahan pada putrinya. Namun dengan alasan yang diberikan Farel sukses menutupi rahasia adiknya.
Kini di kamarnya Anisha sibuk mempersiapkan keperluannya untuk kegiatan KKN-nya. Farel mengetuk pintu kamar lalu berjalan mendekati adiknya.
“Rajin juga beres-beres.” ucap Farel menjahili Anisha dengan mengacak-acak barang-barangnya.
“Ih kakak kalau mau ganggu sana deh! Aku sibuk!” Kesalnya.
“Ke Bazar, yuk! Aku traktir deh.” Ajak Farel.
“Beneran?” Anisha tampak tak percaya dengan kakaknya.
“Ya iya masa bohong.” Jawabnya.
Sore itu mereka segera meluncur ke bazar dekat taman kota. Suasananya begitu ramai dan meriah ditambah banyak lampu warna-warna mengelilingi lokasi itu.
Namanya juga di bazar apalagi kalau tidak lihat-lihat barang dan kulineran di sana. Hingga setelah puas dengan permainan di sana, Farel mengajaknya untuk istirahat menikmati kembang api yang menghiasi langit malam.
“Anisha, selamat ulang tahun. Maaf, sudah membuat adikku ini kesal.” ucap Farel mencubit pipi adiknya.
“Aduh ih, Kak! Sakit tau!” kesalnya.
“Kak Farel ingat ulang tahunku?” tanyanya.
“Ini ambil.” Farel menyerahkan paperbag putih.
“Apa... Ini?” Heran Anisha. Kemudian gadis itu membukanya.
“Kamu sangat ingin Ipad itu, kan? Gunakan dengan baik.” ucap kakaknya. Anisha mengangguk dan berterima kasih pada kakaknya.
Tiba-tiba dari arah belakang terdengar suara Elisa yang memanggilnya. Ya gadis itu juga mengucapkan selamat pada Anisha dan memberikan paperbag.
“Terima kasih, Elisa. Kamu jauh-jauh datang ke sini hanya untuk mengucapkan selamat padaku?”
“Iyalah kan aku sahabatmu.” Jawabnya memeluk Anisha.
Ketika kakaknya izin pergi untuk membeli minum, Elisa mengambil kesempatan itu untuk menyampaikan sesuatu.
“Sebelum ke sini, aku sempat memberitahu Delfano bahwa kamu ulang tahun hari ini dan dia menitipkan bingkisan ini padaku untuk kamu.” Tutur Elisa sembari memberikan paperbag hitam.
“Tapi, kenapa?” heran Anisha.
“Udah gak apa-apa. Coba buka isinya apa.” Kata Elisa penasaran.
Gadis itu mengambil isi dari paperbag hitam tersebut. Hanya ada satu kotak kecil di dalamnya dan ketika dibuka betapa terkejutnya Anisha bahwa isinya adalah kalung emas dengan liontin inisial namanya.
“Astaga gila keren bener. Sumpah ini asli?” Elisa terkagum-kagum akan hal itu.
“Lis, aku tidak bisa menerima ini. Ini terlalu mahal untukku. Aku tidak enak merepotkannya.”
“Aku tau tapi kan aku hanya perantara. Yang penting aku sudah amanah menyampaikan ini padamu. Coba tanya pada Delfano.” Ucapnya.
***
Waktu berlalu setelah merayakan ulang tahunnya bersama kakaknya dan Elisa, kini tubuhnya lemas terbaring di tempat tidur.
Seketika notifikasi masuk ke ponselnya. Ketika dibuka itu adalah pesan dari sepupunya.
“Barakallah Fii Umrik. Semoga di umurmu yang ke 23 tahun, semua impianmu tercapai.” Pesan dari Fathan.
“Terima kasih. Ingat juga kamu Fathan.” Ucapnya tertawa.
Tak hanya Fathan, Dinda dan Habibah juga teman-temannya semasa di pondok mengirimkan pesan yang sama yaitu ucapan selamat atas ulang tahunnya.
“Oiya aku harus menanyakan perihal hadiah ini.”
Gadis itu segera menutup pintu kamarnya dan menguncinya agar tidak didengar oleh kakaknya.
“Assalamu’alaikum, Fan...?” panggilnya lewat telepon.
“Waalaikumsalam warohmatulohi wabarakatuh. Hmm, kenapa?” balasnya.
“Hadiah itu...”
“Kamu tidak suka?” tanya Fano.
“Aku suka! Tapi, itu terlalu mewah. Lagi pun aku siapa, aku tidak enak harus menerima barang–”
“Tidak ada penolakan. Kamu layak kok memakainya, sudah terima saja jangan berpikiran yang tidak-tidak.” Jelas Fano.
“Baiklah. Wassalamualaikum.” ucapnya mengakhiri telepon itu.
“Waalaikumsalam. Happy birthday Anisha.”
***
Sudah satu minggu Anisha mempersiapkan keperluannya selama KKN nanti. Kini tiba saatnya program kuliah kerja nyata dilaksanakan. Dengan segala persiapan yang sudah matang mereka pun memutuskan untuk berkumpul sebelum berangkat.
“Kakak di rumah aja, aku bisa pergi dengan Elisa toh kita satu kelompok.” ujar Anisha.
“Baiklah. Elisa, saya titip Anisha.” Ucap Farel.
“Yaelah kayak barang aja, aman udah.” Balas Elisa sedikit tertawa.
Setelah berpamitan pada keluarganya, mereka pun segera berangkat menuju lokasi. Melihat kepergian adiknya membuat rasa khawatir di hati Farel. Lelaki itu masih teringat trauma adiknya dahulu.
“Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus bertindak tegas!” Batin Farel. Kemudian mengambil kunci mobilnya.
Lelaki itu pamit pada Ayahnya untuk pergi ke kediaman Fathan tanpa memberitahu maksud tujuannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomanceKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...