Udara dingin menyapu wajahnya membuat gadis itu terbangun dari tidurnya. Ketika melihat jam sudah menujukan pukul 02.55 WIB. Ia pun memutuskan untuk salat tahajud.
“Dia mau ikut salat tidak, ya?” batinnya.
“Fan, bangun. Kamu mau ikut salat tahajud, tidak?” tanya Anisha.
“Hm?” Lelaki itu terbangun dan langsung menarik pinggang Anisha ke pelukannya. “Pagi sayang, kiss me!”
“Hah? Apa-apaan sih kamu? Lepasin Fan aku mau wudhu.” Anisha meronta minta dilepaskan.
“Gak mau. Cium aku dulu baru ku lepaskan. Siapa suruh mencium orang saat tertidur, hm?” ucap Delfano tersenyum smirik.
“Jadi kamu masih terjaga?” tanya nya merasa malu.
“Wajahmu memerah, tuh.” kata Fano.
“Ih diem!” kesalnya menyembunyikan wajahnya.
Anisha menatap suaminya, Delfano, yang masih setia menunggu permintaan itu. Ketika dia akan mencium pipinya, Delfano malah membalikkan posisi, sehingga yang dicium bukanlah pipinya, tetapi bibirnya.
“Eh? Fan tunggu...!”“Maaf sudah mengejutkanmu, Anisha.”
“Hah... aku tidak apa-apa.” jawabnya pergi meninggalkannya.
Setelah salat, mereka melanjutkan dzikir pagi dan tadarus bersama sampai azan subuh berkumandang. Delfano pergi ke masjid untuk salat, sementara Anisha memilih salat di kamarnya."Ayo Nisha, kamu pasti bisa melupakan trauma itu sepenuhnya!" Anisha yakin itu di dalam hatinya.
Setelah salat, ia kembali membaca Al-Quran. Itulah rutinitas yang sudah melekat di dirinya, mungkin bawaan dari pesantren, pikirnya.
***
Delfano kembali ke kamarnya melihat keadaan ruangan berlatar abu itu sepi dan sunyi. Hanya ada suara kran yang menyala di kamar mandi.
“Mungkin dia sedang ada di kamar mandi. Baiklah kalian boleh masuk.” kata Fano lalu empat pembantu datang mendekat.
“Bantu Anisha mempersiapkan diri. Perhatikan dia jangan sampai dirinya tergores, terluka, tergelincir atau semacamnya yang bisa membahayakan dirinya dan kandungannya.” jelas Fano.
“Siap, tuan muda!” jawab mereka kompak. Lelaki itu pun pergi dari kamarnya.
Sinar mentari menyapa cerahnya pagi itu. Di ruang makan, anggota keluarga berkumpul untuk sarapan pagi bersama. Satu hal yang membuatnya terkejut adalah semua pelayan dan security di rumah itu ikut makan bersama layaknya keluarga sebenarnya.
"Ternyata Fano dan keluarganya baik banget dan humble orangnya. Walaupun mereka berbeda, mereka tetap dermawan pada bawahannya." Batinnya, senang merasakan kebersamaan keluarga besar itu.
Sejak menjadi bagian dari keluarga Arsyanendra, Anisha memahami semua jadwal acara suaminya.Setelah empat minggu dari acara pernikahannya, Delfano sibuk menghadiri festival musik dan konsernya. Terkadang Anisha ikut menemani acara itu, tentunya dengan pakaian yang melebihi ukuran tubuh aslinya.
“Sudah jam delapan malam. Kenapa Delfano belum pulang ya?” Anisha khawatir melihat layar ponselnya tidak ada pesan apa pun dari Delfano.
Tetiba pintu rumahnya dibuka. Tampak sosok laki-laki dengan tas besar di gendongnya di mana isinya adalah gitar.
“Syukurlah kamu sudah pulang.” Anisha menghampiri laki-laki itu.
Dengan wajah lesu Delfano menjatuhkan kepalanya di pundak Anisha lalu memeluknya. Sekretaris Arka yang menyusul masuk segera mengambil tas besar itu dan membawanya ke ruang musik.
“Terima kasih, pak.” Anisha tersenyum ramah.
“Sudah menjadi tugas saya nona.” Balas sekretaris Arka.
“Fan jangan seperti ini. Sebentar aku ambilkan minum dulu, ya.”
“Tidak usah.” Delfano langsung menggendong gadis di hadapannya membawa ke kamarnya.
Saat di kamar, lelaki itu masih lengket mendekap Anisha. Tubuhnya lemas seolah baterainya sudah nol persen.
Delfano beralih mendekati perut buncit Anisha lalu menciumnya. Anisha yang menyadarinya tersenyum kemudian mengelus lembut kepala suaminya.
“Lagi... Elus aku lagi Anisha.” Pinta laki-laki itu sadar sentuhan lembut itu sudah tak terasa lagi.
“Rambutmu sangat halus, ya?” kata Anisha kembali mengelus kepala suaminya.
“Kamu bisa menyentuhnya kapan pun.” Jawab Delfano lalu menatap lurus ke arah Anisha.“Jangan sungkan untuk meminta bantuan padaku, ya. Aku akan selalu ada untuk membantumu dan melindungimu.” Lanjutnya mengecup kening istrinya.
“Iya, baiklah. Sekarang istirahatlah, kamu tampak lelah. Oiya sudah salat Isya?” Tanya Anisha.
“Sudah. Tadi sebelum pulang aku singgah ke masjid.” Jawabnya.
Pagi harinya, semua anggota keluarga berkumpul di meja makan untuk sarapan bersama. Banyak makanan yang dihadirkan benar-benar menggugah selera.Gadis itu merasa kehangatan keluarga barunya di mana semua orang di kediaman itu menerima dirinya. Perhatian penuh yang diberikan mertuanya benar-benar menyentuh hatinya.
“Delfano, kamu terlihat rapi. Mau ke mana?” Mamah membuka obrolan.
“Ada yang harus aku urus di kampus. Ah iya, mau ikut?” Delfano melirik ke samping mengajak Anisha.
“Tidak, aku di rumah saja.” Balasnya terlihat murung mengingat kini cukup sulit menyembunyikan kehamilannya.
“Tenang aja Kak Anisha, di rumah seru kok. Aku punya banyak mainan, satu lemari besar.” ucap David, adik bungsu Delfano.
“Hei David, kak Anisha itu perempuan gak mungkin main mobil-mobilan punyamu. Kak Anisha, main sama aku aja, aku punya banyak boneka.” Kayla tak mau kalah dengan adiknya.
Anisha tertawa kecil melihat tingkah dua adik iparnya yang mencoba menghiburnya. Seketika meja itu dipukul begitu keras oleh Bu Fiona membuat semuanya terkejut.
“Kalian harus sekolah! Cepat habiskan makanannya.” Tegas Mamahnya.
“I-iya, Mah.” Jawab keduanya takut dengan tatapan ibunya itu.
“Maaf ya sayang. Mereka selalu gitu, pasti kamu terganggu, ya.” Mendadak ekspresi mertuanya berubah lembut padanya.
Anisha tersenyum canggung kemudian mengangguk. “Tidak apa-apa, Mah. Namanya juga anak-anak.”
Setelah menghabiskan makanannya, ia mengantar Delfano hingga gerbang depan. Dipeluknya tubuh Anisha oleh laki-laki itu lalu mencium pipinya.
“Aku hanya pergi sebentar, kok. Kamu mau aku bawakan apa?”
“Tidak usah, Fan.” Balasnya tersenyum.
Lelaki itu meraih kedua tangan Anisha dengan wajah yang seolah penuh rasa bersalah. “Maaf, maafkan aku.”
“Maaf untuk apa?” Anisha tak mengerti.
“Tadi saat sarapan. Mungkin mama memang tegas, tapi dia baik kok.”
“Aku kira apa. Tidak usah khawatir, Fan. Aku baik-baik saja.”
***
Di sisi lain, seorang laki-laki berkopiah dengan sorban yang melingkar di lehernya tengah sibuk mengemasi barang-barangnya.
“Beneran kamu mau lanjut kuliah di Kairo?” tanya wanita bercadar itu.
“Iya, kak. Kalau aku terus di sini aku tidak bisa melupakan dia. Aku ingin belajar dan berkembang di sana.” Jawab Fathan ke kakaknya.
“Sebelum kamu berangkat, lebih baik kamu kasih tau dia.” Saran kakaknya kemudian pergi.
“Iya juga tapi aku takut mengganggunya.” Fathan memberanikan dirinya lalu mengirim pesan pada sepupunya akan keberangkatannya itu ke Kairo.
“Sampai jumpa, Anisha.” ucap Fathan.
***
Ketika sibuk membantu mertuanya di dapur, telepon yang ia bawa berdering mengartikan ada panggilan masuk. Anisha bergegas mencuci tangannya lalu mengelapnya sebelum menyentuh ponsel itu.
Belum sempat ia angkat panggilan itu sudah mati namun meninggalkan beberapa pesan di kotak chatnya.
“Assalamu’alaikum warohmatulohi wabarakatuh. Anisha, bagaimana kabarmu? Maaf bila aku mengganggumu. Aku ingin memberitahu sesuatu, sore nanti aku akan pergi ke bandara. Aku mau melanjutkan study-ku di Kairo. Oiya bagaimana dengan hadiahku? Kamu suka?”
Anisha tampak sedih membaca pesan itu. Teman masa kecilnya yang selalu bermain dengannya kini akan pergi cukup lama. Namun dibalik itu ia senang melihat sepupunya bisa study ke luar negeri.
“Aku belum membuka kado dari Fathan. Memang apa isinya?” Anisha bergumam dan tak sengaja di dengar oleh mamahnya.
"Oiya sayang, kamu belum membuka hadiah pernikahanmu, kan? Nanti Mama minta pak Arka untuk membawa hadiah-hadiah itu ke kamar kamu, ya. Setelah Delfano pulang, kamu bisa membukanya bersama."
“Baik, Mah. Terima kasih.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomanceKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...