Hari mulai Sore. Kini Anisha tengah menunggu angkot untuk pulang ke kosannya. Dia menolak untuk pulang bersama Elisa karena tak enak sudah terlalu merepotkan sahabatnya itu.
"Kok belum muncul ya angkotnya? Hatiku kenapa resah?" gumamnya melihat kanan dan kiri.
Bosan menunggu, gadis itu berjalan menuju pertigaan dengan harapan dapat menemukan angkot. Baru lima meter ia berjalan, kakinya terhenti melihat mobil hitam mewah menghadang jalannya.
"Siapa, ya? Padahal jalan selebar ini kenapa harus menghalangi zebra cros?"
Tak peduli dengan itu ia bergegas menyebrang. Seketika tangannya ditarik oleh seseorang dan mulutnya di bekap, saat itu juga pandangannya mulai kabur, tubuhnya lemas dan akhirnya tak sadarkan diri.
"Tuan, kami sudah menemukan gadis yang tuan pinta," ucapnya pada seseorang lewat telepon.
"Bagus. Bawa dia kemari, sekarang!"
"Siap!" Jawabnya. "Cepat weh tuan muda sudah menunggu." ucapnya pada 4 rekannya.
***
Meja itu di pukul begitu kuat. Dari seberang telepon terdengar napas geram seseorang.
"Katakan! Jangan berani kamu sembunyikan tentang Anisha, Fathan! Secepatnya aku akan datang...."
"Tapi Kak Farel, Anisha baik-baik saja. Kakak tidak perlu tergesa-gesa untuk pulang." Balas Fathan.
"Bagaimana aku tidak tergesa-gesa? Mendengar jawabanmu saja sudah jelas ada yang kamu sembunyikan." Seketika telepon terputus.
"Semoga kak Farel tidak memarahi Anisha walau kemungkinan itu terjadi. Aku harus mengabari Anisha tentang ini." Farel langsung mencari nomor sepupunya itu dan memanggilnya.
Ditunggu punya tunggu yang terdengar hanya suara sistem saja yang masih memanggil. Berkali-kali Fathan meneleponnya tak ada satupun panggilan yang terjawab. Perasaannya semakin tak karuan saat mengirim pesan pun hanya ceklis satu.
Baginya jarang sekali bila Anisha bisa tidak mengangkat teleponnya, namun ia mencoba berfikir positif mungkin saja sepupunya itu sedang sibuk.
Pintu diketuk lalu dibuka oleh Umi yang membawakan teh untuk putranya. Wanita itu duduk di dekat Fathan seraya berkata, "Dari tadi Umi denger suara telepon, kamu mau menghubungi siapa? Wajah kamu kok khawatir gitu?"
Fathan meletakkan ponselnya dan menjawab, "Umi, ada yang harus aku sampaikan pada Anisha. Tapi ponselnya tidak aktif. Aku pikir dia sedang sibuk karena jarang Anisha tidak menjawab panggilan dariku."
"Ya Allah ... kemana ya Anisha? Kalau memang sangat penting, mengapa tidak menyusul ke kampusnya saja?" balas Umi membuat Fathan memikirkan hal yang sama.
Atas saran dari ibunya, Fathan pun pergi ke kampus Anisha. Uminya juga ikut karena khawatir dengan keponakannya itu.
Setibanya di depan gerbang utama. Fathan keluar dari mobilnya, berjalan sendiri menuju pos satpam. Belum juga ia bertanya, seseorang yang tak asing di matanya berjalan melewatinya.
"Itu bukannya teman Anisha yang beda agama itu, kan? Aku ingat saat Anisha mengirimkan foto mereka berdua." Batinnya.
Lelaki itu menghampiri gadis berambut pirang dan menghentikan langkahnya. "Tunggu, kamu temannya Anisha kan?"
Gadis itu melepaskan kacamata hitamnya dan melihat Fathan dari ujung rambut hingga kaki. "Iya. Kamu ... kayak kenal deh tapi siapa ya? Oiya kamu sepupunya Anisha? Namanya ... Farhan!"
"Maaf, Fathan bukan Farhan. Iya saya sepupunya Anisha." Balas Fathan sedikit terkejut namanya dipanggil beda.
"Oh, ya maap typo dikit. Ada urusan apa nyariin Anisha?" tanya Elisa serius.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomansaKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...