Bab 24 Mengobati Luka ✨️

676 60 1
                                    

“Untuk apa aku marah padamu, hm?” balas Anisha sedikit tertawa.

“Aku sedang belajar, Anisha.” ungkap Fano.

“Belajar?” Anisha bingung dibuatnya.

“Akan ku buktikan bahwa aku bisa menjadi imam yang baik untukmu dan anak-anak kita.” Delfano memperjelas maksud kalimatnya.

Matanya berbinar mendengar ucapan tersebut. Anisha bersyukur akhirnya lelaki itu mau merubah sikapnya tanpa paksaan darinya.

“Semoga kamu istiqomah pada pembelajaranmu.” kata Anisha memberi semangat. “Em... Mau makan bareng?” lanjutnya mengangkat kresek itu.

“Boleh.” jawab Fano.

Mereka pun memakan martabak itu bersama di teras ditemani kue kering yang Anisha beli kemarin.

“Fan, bagaimana kamu bisa mabuk waktu kejadian itu?” Anisha memulai obrolan.

“Itu salah ku karena kabur dari les piano malam itu. Dan bodohnya aku malah ikut minum bersama teman-temanku.” jawabnya.

Aku juga menyesal kenapa waktu itu aku tidak menuruti ucapan Bunda akan jangan pulang sendirian terlebih lagi malam hari
Anisha masih ingat betul pesan Bundanya sebelum kejadian itu.

“Padahal pakaianmu sangat tertutup waktu itu, tak ada satu pun lekuk tubuhmu yang terlihat. Tapi kenapa diriku malah–” Belum selesai lelaki itu berucap, Anisha langsung memotong ucapannya.

“Apa yang kamu sukai sampai ingin memilikiku?” tanyanya.

“Wajahmu, senyumanmu. Keduanya sungguh indah. Kamu–”

“Fan, bila kamu mencintaiku hanya karena wajahku cantik, sebaiknya pikir dua kali sebelum menikahiku. Kecantikan itu hanya sementara, nantinya aku juga bakal keriput, kusam dan lain-lain.” jelas Anisha.

“Lebih baik kamu pulang, sekarang sudah sore.” ucap Anisha merapikan gelas-gelas.

“Tapi ... Baiklah. Maaf bila tadi ucapanku membuatmu terluka.” kata Delfano beranjak dari duduknya.

Ketika Delfano melangkah pergi, Anisha salah fokus dengan luka yang ada di pergelangan tangan laki-laki itu. Ia pun menghentikannya lalu menanyakannya.

“Oh ini alah cuma luka kecil ya bisalah gara-gara Agzar geng motor sebelah.” Jawabnya tertawa kecil.

“Agzar? Oiya kamu anggota geng motor?” Tanya Anisha yang penasaran dari dulu.

Lelaki itu tak jadi pergi dan kembali duduk menjelaskan pertanyaan Anisha. Delfano menceritakan bahwa Agzar adalah geng motor yang selalu membuat kerusuhan dan nantinya mengatasnamakan Adgares sebagai pelakunya.

Padahal Adgares tidak pernah berbuat onar di mana pun. Itu hanyalah klub motor biasa sebatas teman bermain saja. Ia juga menceritakan awal mula terbentuknya klub motor Adgares dan anggotanya.

“Kenapa mereka malah menuduh kamu dan teman-temanmu?” tanya Anisha heran.

“Dulunya Agzar adalah bagian dari Adgares. Tapi karena suatu hal mereka memisahkan diri. Ku rasa mereka dendam padaku dan teman-temanku.”

“Jadi, kamu adalah ketua di klub Adgares?” Anisha kembali bertanya.

“Bisa dibilang begitu. Kami juga punya basecamp di jalan garuda dekat pohon besar. Lain kali kamu boleh ke sana, tenang saja basecamp-ku tidak seperti yang kamu pikirkan.” Jelasnya tertawa.

Delfano juga memberitahukan basecamp-nya Agzar yang selalu membuat kerusuhan itu. Bahkan tak jarang orang-orang menganggap Agzar dan Adgares sama, padahal berbeda.

“Oiya Fan, waktu itu kamu bilang dapat nomor teleponku dari Jay. Kok kamu bisa kenal sama Jay?”

“Jay itu teman klub motorku. Sebenarnya udah lama sih aku dapet nomor itu, tapi aku baru menghubungimu setelah pembagian tim KKN.” Jawabnya.

Delfano juga menyebutkan jumlah anggota klub motornya beserta nama-namanya. Setelah mendengarkan cerita itu, Anisha sedikit mengobati luka Delfano dengan obat seadanya dan menutupnya dengan plester. Kemudian lelaki itu pun pamit pulang.

Belum juga ia menaiki kendaraannya, seseorang mengejutkannya membuat matanya mencari sumber suara itu.

“Saya akui kamu memang tulus ingin bertanggung jawab.” ucap Fathan yang selama ini masih diam di balik gerbang tersebut. Lelaki itu belum pulang karena takut Delfano akan melakukan hal yang tidak-tidak pada sepupunya.

“Aku harap Anisha lebih hati-hati lagi dengan orang terdekatnya.” kata Delfano tak dimengerti Fathan.

“Maksudmu?”

“Tidak. Lupakan.” jawab Fano memakai helmnya.

“Asal kamu tau Delfano. Akan ada satu laki-laki lagi yang mungkin akan marah besar padamu dan kamu harus siap akan konsekuensinya.” Pesan Fathan.

Tanpa menjawab sepatah kata pun, Fano segera pergi begitu cepat dengan motornya.


***


Malam harinya lelaki berpeci itu termenung menatap layar ponselnya.

“Apa yang harus aku katakan pada Kak Farel? Dia benar-benar akan datang dan sekarang malah menanyakan kabar adiknya.” Risau Fathan.

“Kenapa kamu tidak menjawab pesanku, Fathan? Apakah terjadi sesuatu yang buruk pada Anisha?”

“Tidak, Kak. Anisha baik-baik saja, dia ceria seperti biasanya.”

“Syukurlah. Kamu tau aku mempercayaimu, jadi jangan mengecewakanku.”

Pesan terakhir Farel sebelum ponselnya itu mati.

“Lah baterainya habis. Cepat atau lambat Kak Farel akan mengetahui semuanya dan aku tidak bisa terus-terusan menutupi rahasia Anisha.” ucap Fathan meletakkan ponsel tersebut.

Masih di langit yang gelap lelaki itu terbangun dari tidurnya mendapati jam sudah menunjukkan pukul setengah empat pagi. Setelah membaca doa, ia mengambil pecinya kemudian berjalan keluar rumah.

“Eh Assalamu’alaikum, Gus Fathan.” Sapa salah satu santri bagian keamanan.

“Waalaikumsalam warohmatulohi wabarakatuh. Baru mau keliling?” tanya Fathan mengingat biasanya para santri bangun untuk salat tahajud.

“Iya benar, Gus. Mau ikutan keliling?”

“Boleh.” balas Fathan mengangguk.

Mereka berdua pun mulai berjalan ke asrama putra membangunkan mereka untuk salat dan dilanjut tadarus bersama. Kegiatan itu berjalan dengan baik hingga matahari mulai menampakan cahayanya.

Ketika tengah menyapu halaman rumah seseorang memanggilnya dan mendekat.

“Assalamu’alaikum Gus Fathan.” ucap Dinda dan Habibah berbarengan.

“Waalaikumsalam warohmatulohi wabarakatuh. Ada apa ya menemui saya?”

“Kami mau tanya.” ucap Dinda.

“Tanyakan saja.” balas Fathan.

“Anu itu Gus kami boleh tau gak kenapa Anisha keluar dari pesantren?” tanya Dinda penasaran begitu juga dengan Habibah.

“Kalian kan sudah tau itu pilihan Anisha sendiri karena ingin mempunyai pengalaman baru.” jawab Fathan tenang.

Terlihat jelas kedua santriwati itu tidak puas dengan ucapan Fathan.

“Masa hanya karena hal itu dia memutuskan untuk keluar? Padahal kami sahabat dekatnya kenapa dia tidak pernah bercerita?” kata Dinda kecewa.

“Maaf, pasti Gus Fathan tau sesuatu kan tentang Anisha? Tolong kasih tau kami siapa tau kami bisa membantu.” Sambung Habibah.

"Benar apa kata Habibah. Kami masih penasaran kenapa kemarin Anisha enggan untuk diperiksa dan waktu itu dia mual-mual terus.” ungkap Dinda.

“Tolong Gus, kami janji kok bila memang itu rahasia kami akan pegang rahasia itu.” Lanjut Dinda meyakinkan.

Fathan terdiam cukup lama memikirkan jawaban yang pas untuk kedua sahabat Anisha.

“Masalah itu tidak baik disebarkan ke siapapun. Dan kalian tidak mungkin bisa membantunya.” jawab Fathan membuat mereka membisu.

“Tapi setidaknya kami bisa mengerti posisi sahabat kami sendiri dan kami bisa menenangkannya. Ayolah kami mohon.” Bujuk Dinda.



••

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Dalam Dekapan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang