Bab 36 Penyelundupan? ✨️

491 50 4
                                    

Ketika sibuk menikmati makanannya, tetiba security rumahnya masuk membawa sesuatu di genggaman tangannya.

“Ini ada paket buat Anisha.”

“Paket? Perasaan aku tidak belanja online deh.” Heran Anisha lalu menerima paket tersebut.

Tidak ada satu pun keterangan dari mana paket itu berasal. Setelah selesai dengan makanannya, gadis itu pergi ke kamarnya. Ia pun membuka isi tasnya tampak satu gaun biru tua lengkap dengan hijabnya.

Di dasar tas itu juga terdapat satu lembar kertas kecil yang bertuliskan.

“Kamu bisa pakai ini ke acara itu. Jangan lupa malam nanti, ya.” –Delfano.

“Pasti dari laki-laki itu ya?” Farel tetiba masuk ke kamar Anisha.

“Kak, ketuk pintu dulu napa? Kaget tau.” Kesalnya lalu merapikan pakaian itu.

Farel mendekat dan duduk di hadapan adiknya. Ia mulai mengatakan rencananya terkait kasus Anisha beberapa bulan lalu. Farel tampak semangat untuk melaporkan kasus itu ke polisi.

Berbeda dengan Anisha yang tampak lesu seolah tak ingin rencana itu berjalan. Anisha meraih kedua tangan kakaknya.

“Kak, bagaimana kalau besok saja kita melaporkannya? Hari ini aku mau istirahat dulu.”

Farel terdiam sejenak melihat tatapan adiknya yang penuh harapan. “Baiklah. Tapi besok kamu tidak bisa menghentikanku.”

Malam harinya tepat setelah salat magrib, Elisa datang menjemputnya. Gadis dengan dress grey itu tertegun menatap sahabatnya. Bola matanya seolah tersihir dengan keindahan gaun Anisha.

“Cakep banget Nis. Cocok deh sama jilbab kamu.”

“MashaAllah, terima kasih Lis. Menurutmu dress ini aneh gak?” Tanya Anisha.

“Nis, percaya sama aku. Kamu cantik banget pakai dress navy ini. Udah yuk lah berangkat.” Elisa langsung menggandeng tangan sahabatnya.

Setelah berpamitan pada orang tuanya mereka pun berangkat dengan mobil Elisa. Ketika di perjalanan, Anisha menceritakan perihal busana yang dikenakannya. Ia masih belum yakin siapa pengirim dress biru tua itu.


***


Beberapa jam kemudian. Mereka telah sampai di tempat tujuannya. Anisha sedikit khawatir saat melihat banyak sekali orang dengan pakaian formalnya masuk ke gedung mewah itu.

Dari kejauhan seorang laki-laki melambaikan tangan padanya. Lelaki itu berjalan mendekat bersama keluarganya.

“Kamu cantik sekali Anisha.” Puji Delfano diselipi senyumannya.

Anisha terkejut melihat pakaian yang dikenakan laki-laki itu senada dengan dress yang dikenakannya.

“Kamu sengaja, ya?”

“Wah, ketahuan deh.” Balas Delfano tertawa kecil.

Bu Fiona meraih tangan Anisha lalu menggandengnya. “Ayo masuk. Duduk di sebelah tante ya.”

Elisa tak mau kalah, ia juga menggandeng tangan Anisha yang satunya. “Aku juga mau duduk samping kamu, Nis.”

“Iya-iya Baiklah.” Balasnya tersenyum.

Tak berselang lama, acara itu dimulai sambutan hangat dari pembawa acara. Anisha duduk di bangku barisan ketiga cukup dekat dengan panggung itu.

“Anisha, bagaimana kandunganmu? Belum terlalu kelihatan, ya.” Bu Fiona memulai obrolan.

Anisha hanya mengangguk lalu tersenyum menjawabnya.

Sorak penonton terdengar begitu meriah memberikan apresiasi pada peserta yang telah tampil. Pertama kali melihat acara musik seperti itu benar-benar menjadikannya pengalaman yang berharga.

Penampilan Delfano yang menyentuh hati pendengarnya memberikannya banyak sekali applause. Alunan melodi yang di mainkan sangat ramah di telinganya.

“Dia memang hebat. Terima kasih Delfano sudah mengundangku.” Batin Anisha.

Tak heran lagi ketika pengumuman hasilnya itu siapa yang meraih penghargaan tertingginya. Sorakan gembira langsung terdengar ketika nama Asryanendra yang menjadi juara di kompetisi tersebut.

“Sungguh hebat, setiap tahun keluargamu pasti memenangkan ini.” ucap salah satu sahabat Bu Fiona.

Acara musik yang semulanya meriah dan berjalan dengan lancar, tiba-tiba sirine polisi terdengar di luar gedung itu. Dengan gerakan gesit mereka semua sudah di kepung oleh anggota kepolisian.

Semuanya terheran entah apa maksud pengepungan itu. Hingga salah satu polisi mendekat meraih tangan Delfano.

“Delfano Asryanendra, ikut kami ke kantor polisi untuk menjelaskan kasus penyelundupan narkoba itu.”

Delfano tersentak mendenger tuduhan itu, ia bingung kenapa bisa dirinya yang ditargetkan.

“Maaf, saya tidak tahu maksud bapak apa. Saya tidak pernah terlibat dengan hal berbau narkoba.” Jelas Delfano dengan tenang.

“Jelaskan nanti di kantor polisi.” Balasnya.

“Tunggu apa? Anak saya tidak mungkin terlibat kasus itu. Menyentuhnya saja dia tidak pernah.” Bu Fiona memberi pembelaan.

“Anda jangan seenaknya menuduh! Putraku tidak mungkin–” ucapannya terhenti saat polisi itu lebih dulu berargumen.

“Intinya saudara Delfano ini sebagai ketua geng motor Adgares yang diduga menjual dan mengkonsumsi barang haram tersebut.” Polisi itu langsung menyeret Delfano ke dalam mobil.

Suasana di sana mendadak rusuh ketika keluarga Delfano menahan para polisi itu. Anisha hanya bisa diam, tak percaya dengan tuduhan itu.

“Gak mungkin Fano berbuat seperti itu. Dia bilang kan mau berubah. Tapi, kenapa Fano diam saja tidak berusaha untuk kabur?” Batin Anisha.

Melihat penangkapan itu tak sedikit orang yang langsung mencibir dan menghina keluarga Delfano. Mereka sama halnya terkejut seorang pianist dari keluarga terpandang melakukan hal seperti itu.

“Aku gak nyangka dia dalangnya.” Ucap Elisa.

“Lis, ayo kita pulang. Ada yang aneh dengan penangkapan ini.” Tangannya langsung ditarik keluar dari keramaian itu.

“Aneh?” heran Elisa.


***


Kabar penangkapan itu cepat menyebar di media sosial dan menjadi trending. Di perjalanan pulang, Elisa masih sibuk dengan ponselnya membaca berita itu.

Seketika ponsel Anisha berdering memperlihatkan nomor tak dikenal. Awalnya ia tak peduli dengan panggilan itu namun karena terus menerus berdering ia pun mengangkatnya.

“Kak Nisha.” Suara isak terdengar di seberang teleponnya.

“Ini siapa, ya?” Tanya Anisha.

“Ini aku Agnes. Adiknya kak Fano. Kak, tolong....” Gadis itu menceritakan perihal penangkapan itu.

Dari yang Agnes dengar selama di kantor polisi, bahwa ada salah satu anak geng motor yang ditangkap oleh polisi saat kejadian penyelundupan itu terjadi.

Ketika tengah di mintai keterangan, laki-laki itu mengatakan dirinya adalah anggota geng motor Adgares di mana yang diketuai oleh Delfano. Laki-laki itu juga bilang bahwa teman-teman yang kabur tadi adalah anggota Adgares.

“Jadi, polisi menangkap Delfano agar mengaku di mana tempat persembunyiannya gitu?”

“Iya, kak. Aku percaya Kak Fano gak mungkin berbuat jahat gitu. Mungkin teman-temannya saja yang berkhianat dan memgatasnamakan kak Fano dalangnya.”

Elisa dapat mendengar pembicaraan itu karena sengaja Anisha keraskan volumenya. Setelah mendengarkan cerita itu, Anisha hanya bisa menenangkan Agnes lalu panggilan pun berakhir.

Tak lama panggilan lain masuk ke ponselnya dan itu dari Jay, teman organisasinya.

“Halo Anisha. Ini aku Gading temannya Delfano. Aku tidak tau dia sudah cerita atau belum, intinya ada yang gak beres tentang kasus itu. Kamu sudah liat kan beritanya?”

Lelaki itu mulai menjelaskan di mana seminggu sebelumnya semua anggota Adgares tidak ada yang berkeliaran melainkan diam di basecampnya dan Delfano masih sibuk dengan acaranya sendiri. Sedangkan, kabar yang disampaikan polisi penangkapan itu dilakukan tiga hari yang lalu.

“Jadi menurutmu ada yang sudah menjebak Delfano?” Tanya Anisha menyimpulkan.

“Iya! Anisha, kamu yang dekat dengan Delfano. Aku yakin dia pernah menceritakan sesuatu padamu. Aku tidak bisa lama lagi, mungkin saja para polisi juga akan menangkap kami semua.”

Panggilan itu terputus. Elisa langsung menatapnya lalu berkata, “Kamu mau membantunya?”

Anisha terdiam memilih mengalihkan pandangannya. Gadis berambut perang itu meraih kedua tangan sahabatnya.

“Kamu tidak usah pikirkan masalah itu. Lagi pun ayahnya Delfano pasti sudah menyewa pengacara mahal untuk membantunya. Sekarang pikirkan kondisimu, ada malaikat kecil di dalam tubuhmu.”

“Elisa. Kalau keluarga Delfano bisa menangani itu, mengapa Agnes harus meneleponku?” Pertanyaan itu membuat sahabatnya terdiam.

Dalam Dekapan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang