Bab 11 Dua Garis ✨️

1K 72 1
                                    

Tampak senyum hangat security menyambut kedatangannya. Anisha menyapanya lalu bergegas masuk ke pesantren untuk persiapan mengaji bersama. Ketika sibuk membereskan buku-bukunya, dua sahabatnya masuk dan langsung membaringkan diri di kasur.

Nisha melirik kedua sahabatnya, “Kalian gak ikut tadarus Qur’an?”

Keduanya menggeleng, “Kita lagi datang bulan.”

“Bisa barengan gitu, ya? Hahaha....” tawa Habibah dan Dinda.

Anisha menghela napasnya sedih karena harus sendirian berjalan ke masjid. Ketika akan memutar gagang pintu, satu pertanyaan membuatnya diam membeku.

“Kamu belum datang bulan, Nis? Kok kita liat rajin bener kamu gak libur gitu?”

Dinda masih menunggu jawaban atas pertanyaannya sedangkan Anisha bergelut dengan pikirannya. “Benar juga, kenapa aku belum haid, ya? Apa menstruasi-ku tidak lancar?” Batinnya.

“Lah malah diem. Jawab, Nis. Kita nungguin nih.” kata Habibah.

“A-aku duluan, ya. Kayaknya udah pada kumpul deh.” Anisha menghindari pertanyaan itu.

“Oh iya-iya, oke.” Balas mereka.

Sepanjang jalan pikirannya dipenuhi pertanyaan tadi. Langkah Anisha terhenti sejenak, merasakan sensasi berbeda dari tengah perutnya yang kemudian naik ke tenggorokannya. Anisha menahan napas berharap sensasi itu mereda. Alih-alih mereda, rasa mual itu kian tumbuh membuatnya sulit untuk berjalan.

“Kenapa ya akhir-akhir ini sering mual dan pusing gak jelas? Apa mungkin... ini...,” ucapnya, terhenti oleh rasa tidak enak yang semakin meningkat.

Melihat Anisha yang jalan sempoyongan, ustazah Bella segera mendekat membantu santriwatinya.
“Ya Allah Nisha kenapa kamu? Wajah kamu pucat sekali.”

“Aku... maaf, aku harus...” ucapnya terputus, sebelum dia berlari menuju kamar mandi dengan cepat.

Melihat muridnya berlari membuat ustazah Bella semakin panik dan ikut menyusulnya. Ketika sampai di depan kamar mandi, ustazah Bella terus menggedor-gedor pintu berharap Anisha membukanya.

“Anisha, kamu baik-baik saja, kan? Anisha halo?”

Tidak ada sahutan dari dalam. Mendadak tangannya gemetar karena Anisha tak kunjung keluar. “Duh Nisha kenapa, ya? Apa aku harus cari dokter? Perawat di UKS tidak masuk, duh aku khawatir....”

Tak lama gadis itu keluar dari kamar mandi dengan wajah pucat pasi. Ustazah segera merangkulnya dan membawanya duduk di depan.

“Kamu istirahat saja, ya?” kata ustazah.

“Gak ustazah.” Tolaknya.

Ustazah Bella hanya menghela napasnya lalu menuntun muridnya menuju masjid. “Kalau kamu tidak kuat, bilang, ya?” Anisha mengangguk.

Selama mengaji berlangsung, gelombang yang menerpa perutnya tak kunjung mereda bahkan ia sesekali menutup mulutnya menahan rasa mual itu. Tak henti-hentinya ia berzikir mengucap kalam Allah berharap dirinya dikuatkan.

“Fix ada yang gak beres sama tubuhku.” Gumamnya.

Rasa pusing, mual, lemas terus menghantuinya hingga tiga hari berlalu. Sering sekali ia bolak-balik ke toilet karena mual. Hingga akhirnya ia teringat akan sesuatu. “Apa aku coba saja, ya? Hatiku tidak akan tenang sebelum mencoba itu.” Batinnya.

Niatnya sudah bulat untuk membeli sebuah barang. Ketika semua santri sibuk dengan ekstrakurikuler pencak silat, diam-diam Anisha meminta izin keluar untuk membeli sesuatu di supermarket. Awalnya ia tidak diizinkan namun dengan bujukan terus-menerus ia pun mendapatkan izinnya.

“Yaudah neng. Hati-hati, ya.” Pesan Pak Ucup security pesantren.

“Iya, pak. Saya janji gak lama-lama, kok.” Balasnya.

Dengan kendaraan angkot ia pergi ke supermarket yang cukup jauh dari pesantrennya agar tidak ketauan siapa tau ada pengurus yang sedang diluar.

Sesampainya di sana. Anisha merasa detak jantungnya semakin cepat saat ia melangkah masuk ke dalam supermarket. Setelah menemukan barang yang dicarinya ia segera membayarnya. Tidak tanggung-tanggung ia langsung membeli tiga sekaligus karena rasa penasarannya.

Setelah beres dengan urusannya ia bergegas kembali ke pesantren tentunya dengan hati yang berdebar-debar. Kali ini dia tidak lewat jalan depan melainkan gerbang belakang yang dekat dengan toilet.

“Apa pun yang terjadi nanti aku harus siap menerimanya. Ku mohon, negatif lah.” Harapnya. Kakinya melangkah memasuki kamar mandi.

Beberapa saat kemudian. Tetiba tubuhnya membatu, keringat dingin membanjirinya dan matanya melotot melihat hasil tes pack itu. Anisha merasa dunia seakan runtuh di hadapannya saat garis-garis pada tes kehamilan muncul dengan jelas.

“Po-positif?”

Tubuh yang tadinya membatu kini mendadak lemas. Air matanya mengalir bersamaan dengan suara kran yang menyatu dengan tangisannya.

“Tidak mungkin...! A-aku hamil? Ini pasti mimpi!” ucapnya setengah berteriak.

Anisha terduduk lemah di lantai, dengan menutup mulutnya ia masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya. “Yang benar saja? Aku... Hamil?”

Air matanya tak bisa di bendung lagi. Hatinya begitu pedih mengingat kejadian malam itu.

“Tidak! Kenapa ini harus terjadi? Kenapa aku harus hamil? Dasar Nisha kamu bodoh, bego! Kenapa sih kamu harus bantuin laki-laki itu!” Dengan suara gemetar dan penuh ketakutan akan penyesalannya.

Entah bagaimana perasaannya, ingin bahagia tapi di sisi lain juga sedih. Tak mungkin siapa lagi ayahnya kalau bukan laki-laki itu. Anisha begitu frustasi tak siap menerima bahwa dirinya hamil di luar nikah.

“Kenapa... Kenapa hal yang tidak ku inginkan terjadi?”

Ingin sekali ia menepis kenyataan itu tetapi sudah tiga kali dengan tes pack yang berbeda hasilnya tetap sama.

“Apa yang akan aku katakan pada Ayah dan Bunda? Aku benar-benar sudah mengotori nama baik mereka juga nama pesantren ini. Aku santri macam apa? Aku benar-benar malu. Apa aku gugurkan saja, ya?”

Cukup lama Anisha di kamar mandi hingga akhirnya perlahan gadis itu menerima apa yang terjadi padanya walau tak sepenuhnya ia terima. Pintu ia buka dan keluar dari kamar mandi tersebut.

“Anisha?”

“Fa-fathan?” Gadis itu terkejut melihat Fathan berdiri di depan. “Kamu kenapa masuk ke asrama putri? Nanti kalau ketauan keamanan kamu bisa botak loh. Mau?” Lanjutnya.

Lelaki itu tertawa kecil. “Tenang saja. Bukan tanpa alasan aku ke sini. Aku disuruh ustaz Musa untuk mengambil tangga bambu itu tuh.” tunjuknya.

“Owalah... Aku kira kenapa. Maaf sudah salah sangka.”

“Tidak apa-apa. Oiya matamu sembab, kamu habis nangis? Dan apa yang kamu sembunyikan di belakang tanganmu?” Fathan penasaran.

Anisha terdiam sejenak lalu menjawab, “Bukan apa-apa. Hehe....”

“Bohong. Jelas-jelas kamu menyembunyikan sesuatu.” Balas Fathan mendekat. Dalam kepanikan Anisha tidak menyadari tembok di belakangnya. Ketika tubuhnya mundur, tes pack yang dipegangnya jatuh ke lantai dan bergema dengan keras.

“Aduh pake jatuh segala lagi, tanganku masih lemas.” Batinnya.

Ketika akan mengambilnya, lelaki itu lebih dulu memungutnya. Raut Fathan seketika berubah drastis melihat ketiga tes pack tersebut. Pandangannya kemudian kembali pada Anisha, penuh dengan pertanyaan yang tak terucapkan.

“Anisha, kamu hamil?”

Deg!

Mulutnya terkunci rapat. Tak mampu mengeluarkan sepatah kata pun. Ketakutannya melonjak ketika membayangkan kemungkinan sepupunya mengadu pada Umi dan Abi juga kepada orang tuanya. Sedangkan Fathan sendiri merasakan keperihan yang mendalam di hatinya.

Fathan lebih terkejut lagi karena tiga test peck itu menampilkan hasil yang sama. “Yang benar saja Nisha hamil? Sejak kapan? Siapa yang menghamilinya? Jangan-jangan saat malam itu.” Batinnya.

Kakinya bersimpuh di hadapan Fathan. Gadis itu menunduk dan memohon penuh harapan. “Tolong, tolong jangan adukan pada Umi dan Abi. Tolong Fathan....”

“Benar kamu hamil?” Fathan memastikan.

“I-iya...! Aku tau aku salah, salah sudah mencemarkan nama baik santri di pesantren ini. Aku benar-benar malu!” jawabnya dengan derai air mata.

Walaupun hatinya kesal dan marah ia tak tega melihat gadis itu menangis dan memohon di hadapannya. Teman masa kecil yang selalu dijaganya malah bernasib buruk. “Berdirilah. Jangan memohon seperti itu padaku. Minta maaf lah pada-Nya atas kesalahanmu.”

“Tapi kamu janji tidak akan melaporkan pada Umi dan Abi, kan?” tanya Anisha.

“Aku akan melaporkannya kalau kamu tidak menjelaskan kenapa hal ini bisa terjadi.” jawab Fathan.

Anisha mengangguk lalu menjelaskan awal terjadinya kesalahan fatal itu. Mendengarkan ceritanya membuat Fathan geram. “Jadi, orang yang menghamilimu satu kampus denganmu?”

“Iya. Kamu marah?” lanjutnya bertanya.

Lelaki itu menghela napasnya, “Aku marah. Marah melihat sepupuku di perlakukan buruk olehnya. Bagaimana pun juga laki-laki itu harus tanggung jawab!”

“Tapi benar kan kamu tidak akan melaporkannya pada Umi dan Abi?” Tanya Anisha. Lelaki itu tak menjawab lalu pergi meninggalkannya.

“Jangan bilang Fathan akan melaporkan pada Umi dan Abi, apa aku ... Keluar saja ya dari pesantren?” Batinnya.

_______________________

BERSAMBUNG 💐

Note: Mohon maaf atas ketidaknyamanan dalam membaca cerita ini karena sedang ada perbaikan di setiap Babnya. Jadi yang sudah aku revisi yang ada tanda (✨️) secepatnya aku selesaikan.

Jangan lupa like dan masukin ke perpus kuy dukung terus aku ya☺️❤️

Dalam Dekapan Luka Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang