Dua minggu telah berlalu, kabar penangkapan Delfano kini telah dibenarkan di mana Delfano dan teman-temannya itu dijebak dan mereka pun dibebaskan.
Anisha tersenyum bahagia melihat laki-laki itu sudah bebas dari jeruji besi. Namun sesuai perjanjian yang sudah dibuat, ia tak pernah melihat lagi sosok Delfano di hidupnya. Besok dan besoknya lagi tak ada kabar apa pun yang ia dapatkan tentang Delfano.
Semenjak hari pembebasan itu ia tak pernah mendapatkan pesan maupun paket makanan yang biasanya ia terima. Kini Anisha disibukkan dengan skripsinya yang baru saja ia mulai penulisannya.
“Gimana proposal penelitiannya?” Farel datang sembari membawakan camilan.
“Aman, kak.” Balas Anisha mengacungkan ibu jarinya.
Selama ia menyusun data-data itu, Farel ikut membantu dan mendampinginya bila ada kesalahan langsung diingatkan Farel. Semua tahapan Anisha lalui baik itu dari seminar proposal dan seminar hasil.
Namun disamping itu ia terkadang kesusahan untuk menutupi perutnya yang kini mulai membesar. Ia beralih mengenakan pakaian yang lebih longgar dan sering memakai jaket bila ke luar rumah.
“Sudah tiga bulan aku tidak pernah bertemu dengannya. Sekarang bagaimana kabarnya ya?” Anisha bergumam sembari menatap ke luar jendela.
“Anisha. Turun yuk sayang kita makan bersama.” Panggil Bunda mengetuk pintu kamarnya.
“Duluan aja Bunda, aku belum lapar.” Balas Anisha tanpa membuka pintu kamarnya.
Wanita tua itu menghela napasnya lalu kembali ke lantai bawah. Melihat anak pertamanya datang, Bunda pun mendekat menanyakan sesuatu.
“Farel, kenapa ya akhi-akhir ini adikmu jarang keluar kamar. Bunda cuma liat dia keluar hanya untuk keperluan kampusnya. Bunda khawatir dia kenapa-napa.”
Farel paham dengan situasi itu, ia hanya menenangkan Bundanya dan memberikan makanan yang ia bawa dari luar. Meja makan itu terasa sepi tanpa Anisha yang selalu mendatangkan canda dan tawa. Kedua orang tuanya juga merasakan hal berbeda dari anak bungsunya itu.
Setelah selesai dengan makanannya, Farel pergi menuju kamar adiknya sembari membawakan makanan. Lelaki itu masuk ke dalam ruangan itu setelah diizinkan adiknya.
“Anisha, mungkin ini sudah saatnya untukmu jujur. Kandunganmu sudah tidak bisa disembunyikan lagi. Bahkan dengan jaket pun masih tetap terlihat.”
“Aku juga berpikir begitu. Tapi, bagaimana cara mengatakannya? A-aku takut, Kak.”
Farel meraih tangan kiri adiknya seraya berkata, “Kakak bantu. Kalau pun ayah marah besar, Kakak yang akan menghalangnya.”
Tetiba suara benda pecah mengejutkan mereka berdua. Tampak Bundanya berdiri membeku di depan kamarnya yang tak ditutup itu. Pupil matanya mengecil melihat kedatangan Bundanya tanpa memanggilnya.
“Kandungan? Siapa ... yang hamil?” ucap Bunda terlanjur mendengar percakapan anak-anaknya.
Farel langsung menghampiri Bundanya yang mendadak lemas dan membawanya masuk ke dalam kamar adiknya. Dibantu Anisha, mereka membersihkan pecahan gelas yang berserakan di lantai.
Melihat Bundanya terduduk lemas, Anisha mendekat lalu meraih kedua tangan Bundanya. “Bunda, maafkan Nisha.”
Bulir air menetes ke pipinya melihat kondisi putrinya yang jauh berbeda dari sebelumnya.
“Anisha, Farel, apa maksud percakapan kalian? Dan ... Perut–" Ucapannya terpotong saat Farel lebih dulu menjawabnya.
“Bunda, tolong jangan marah dulu.”
Tiba-tiba ayahnya datang dengan wajah gelisah mendengar suara barang jatuh itu. Melihat istrinya menangis, Pak Husen mendekat menghampiri istrinya.
“Ada apa ini? Kenapa....” Ayahnya membisu menyadari perubahan pada putrinya.
“Semuanya sudah ada di sini. Tolong dengarkan penjelasan aku dulu.” ucap Anisha berlinang air mata. “Ayah, Bunda. Nisha ... Nisha hamil.” Lanjutnya.
Seperti tersambar petir di siang bolong, ayahnya membeku mendengar ungkapan putrinya. Tanpa sadar air matanya mengalir membasahi pipinya.
Lelaki berjanggut itu memegang kedua pipi Anisha seraya berkata, “Itu bohong, kan, Anisha? Kamu hanya salah makan hingga membuat perut–"
“Itu benar ayah! Aku tidak berbohong.” Anisha menerobos kalimat ayahnya.
Syok, itu yang dirasakan Pak Husen dan Bunda Aida. Hatinya tercabik-cabik mendengar pengakuan tersebut. Baru kali ini Anisha melihat Ayahnya meneteskan air mata mengetahui hal itu.
“Ayah... Nisha minta maaf.” Ucapnya berusaha meraih tangan ayahnya. Tetapi laki-laki tua itu langsung berdiri menatap tajam putrinya.
Mendengar kebenaran itu membuat ayahnya tak bisa berkata apa-apa lagi. Raut wajahnya berubah drastis seolah gelisah namun juga kesal.
“Bagaimana bisa? Apa yang sebenarnya terjadi padamu Anisha? Bahkan Ayah tidak pernah melihatmu dekat dengan laki-laki kecuali keluargamu.” Suaranya bergetar dengan perasaan campur aduk.
Melihat air mata Bundanya semakin deras, membuatnya ikut menangis. Gadis itu mencoba menjelaskan kejadian yang sebenarnya dibantu Farel memperjelas kalimat Anisha yang terpotong-potong dengan isak tangisnya.
Sepanjang Anisha menceritakannya, ia memerhatikan ayahnya yang menahan emosinya terlihat jelas dari tangannya yang mengepal seolah siap meninju seseorang.
“Dasar brengsek!! Siapa laki-laki yang berani berbuat seperti itu pada putriku? Dia benar-benar harus, aku....”
Tiba-tiba dadanya terasa sesak dan membuat napasnya menjadi pendek. Bunda yang menyadari penyakit suaminya kambuh segera menuntunnya duduk.
“Kendalikan emosimu, Yah.” ucap Bunda menenangkan suaminya.
“Maafkan Nisha, Ayah. Nisha memang bodoh tidak mendengarkan ucapan Bunda untuk tidak pulang sendirian larut malam. Tolong jangan benci Nisha, jangan sebut Nisha anak durhaka, jangan buang Nisha...”
“Bunda... Nisha minta maaf sudah membohongi Bunda dan Ayah. Sebenarnya Nisha sudah tidak tinggal di pesantren lagi, Nisha malu dengan kondisi Nisha.”
Melihat kini putrinya berlutut di kakinya, lelaki itu membatin. “Ya Allah kenapa nasib putriku buruk sekali? Sudah susah payah aku jaga dia agar tidak disentuh oleh laki-laki pada akhirnya kebobolan juga. Aku sudah gagal jadi seorang Ayah...”
Tak tega melihat putrinya berlutut di hadapan nya, Pak Husen meraih tangan putrinya lalu memeluknya dengan erat.
“Maafkan Ayah Nisha, Ayah sudah gagal melindungimu.” ucapnya larut dalam kesedihan.
“Itu bukan salahmu sayang. Kami yang tidak memerhatikanmu.” Lanjut Bunda ikut memeluknya.
Dalam pelukan itu Anisha mengeluarkan semua kesediaannya. Ia menangis sejadi-jadinya meluapkan segala emosi terpendamnya. Farel yang melihat itu hanya bisa menenangkan tak bisa berbuat lebih.
Anisha juga membongkar rahasia lainnya di mana diam-diam ia selalu berbohong keluar rumah untuk pergi ke kampus di mana aslinya ia pergi memeriksa kandungannya diantar sahabatnya.
Kedua tangan Bunda menyentuh lembut perut putrinya yang kini sebesar buah naga. Perubahan lainnya tampak jelas dari pipinya yang lebih tembam dan berisi.
“Jadi, sekarang sudah hampir enam bulan? Kenapa kamu tidak menceritakan hal itu Nisha?” tanya Bunda mengelus kepala putrinya.
“Nisha takut Ayah dan Bunda membenci Nisha dan menganggap Nisha anak durhaka. Nisha takut, malu dengan kondisi sekarang.” Jawabnya.
Mendengar jawaban itu kedua orang tuanya meraih tangan Anisha lalu memeluknya. Farel juga ikut memeluk adiknya. Perasaan sedih itu perlahan memudar, digantikan dengan hangat kebersamaan keluarga.
Setelah keadaan cukup tenang, Anisha kembali menambahkan bahwa sebenarnya laki-laki itu mau bertanggung jawab atas kehamilannya dan ingin menyelesaikan semuanya.
“Kalau memang benar mau tanggung jawab, mana orangnya? Kenapa dia tidak datang ke sini?” Tanya ayahnya.
“Ayah, sebenarnya....” Farel menjelaskan semuanya terkait kasus penangkapan Delfano dan dirinya lah yang telah menolongnya.
“Ayah, lebih baik istirahat dulu. Nanti penyakitmu kambuh loh.” Saran Bunda.
“Baiklah, Bunda.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomantizmKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...