Setelah cukup untuk gaun pernikahannya, Anisha kembali ke dalam mobil bersiap untuk pulang. Dalam perjalanan pulangnya Anisha hanya terdiam menatap kaca mobil memperhatikan pemandangan.
Menyadari hal itu, Delfano mengambil minuman dingin yang dibelinya tadi kemudian menempelkannya di pipi kanan Anisha. “Ada yang kamu khawatirkan?”
Anisha melirik menatap laki-laki itu lalu menggeleng menjawabnya.
“Minumlah. Aku tidak mau dituduh melukaimu sebab kau pingsan karena dehidrasi.” ucap Delfano sembari menyodorkan botol air yang sudah dibuka tutupnya.
“Terima kasih.” Jawabnya menerima botol air itu.
Anisha juga memerhatikan lelaki di sampingnya tengah membuka kotak bekal entah apa isinya.
“Makanlah.” Kata Delfano menyerahkan wadah berisi potongan buah-buahan segar.
“Eh? Terima kasih, tapi aku tidak mau makan buah.” Ungkapnya.
“Mau aku suapin?” tawar laki-laki itu tersenyum.
Anisha langsung merebut kotak bekal itu lalu memakan buah-buahan di dalamnya.
“Bagaimana dengan gaunnya? Kamu suka?” Delfano memulai obrolan baru.
“Ya, aku suka.”
“Syukurlah jika kamu menyukainya.” Balasnya tersenyum.
Beberapa jam berlalu, mobil itu berhenti di depan gerbang kediaman Misha. Kakaknya langsung datang menyambutnya dan menyuruh Anisha masuk ke rumah.
“Sebelum akad, jangan temui Anisha dulu. Terima kasih sudah mengantarkannya pulang.” Kata Farel.
“Anda pikir saya laki-laki seperti apa? Saya akan menjaga Anisha dengan sepenuh hati.” Balasnya kemudian pergi meninggalkan kediaman Misha.
Waktu sangat cepat berlalu, kini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh dua keluarga. Di mana acara akad suci diadakan.
“Apa benar ini diriku? Aku tampak beda sekali." Anisha tak percaya melihat dirinya sendiri di pantulan cermin.
Bergaun putih, kerudung panjang menutupi dada dengan mahkota cantik di kepalanya. Benar-benar membuatnya pangling melihatnya.
“Sumpah demi apa pun kamu cantik banget...!” puji Elisa yang ikut merias sahabatnya.
“Alhamdulillah, terima kasih. Tapi....” Anisha tampak murung mengingat sesuatu.
Elisa yang menyadari hal itu langsung memeluk sahabatnya. “Tenang aja Nis, gak keliatan kok. Lagi pun yang hadir kan hanya keluargamu dan keluarganya yang pastinya sudah paham masalah itu.”
“Kamu benar. Terima kasih Lis.” Balasnya tersenyum.
“Nona Anisha, ini sudah saatnya berangkat ke gedung.” ucap salah satu perias di sana.
“Oh, baiklah.” jawabnya.
Dengan anggun gadis itu melangkahkan kakinya ke ruang tamu. Semua orang yang melihatnya dibuat terpesona dengan kecantikannya.
“MashaAllah... Adik siapa ini cantik banget?” kata Farel.
“Yaudah, kita berangkat, yuk!” ucap Ayah diangguki mereka semua.
Pernikahan itu digelar secara tertutup di mana yang hadir hanya keluarga besar Anisha dan Delfano ditambah teman-teman klub motornya.
Beberapa jam berlalu akhirnya mereka sampai di tempat tujuan. Dekorasi indah itu menyambut hangat kedatangan mereka.
“Indah sekali hiasan di sini. Apa benar ini nyata? Rasanya seperti mimpi.” Matanya benar-benar tersihir dengan keindahan hiasan itu.
Tak lama setelah itu, keluarga Arsyanendra, yang dikawal oleh anak-anak Adgares, memasuki gedung tersebut.
“Apakah keluarga Misha sudah datang?” tanya Delfano.
“Sudah datang, tuan. Mereka ada di dalam.” jawab pengawalnya.
Pernikahan itu sudah diatur keseluruhan terutama kondisi Anisha saat itu. Tak lama kemudian acara pun dimulai dengan baik dan teratur sampai saatnya akad itu dilangsungkan. Dari arah kanan datang lah seorang pengantin cantik dengan bridesmaid yang menemaninya.
Delfano tertegun melihat sosok wanita cantik itu. Semua tamu yang hadir juga sama kagumnya dengan kecantikan Anisha.
“Mari kita langsungkan sekarang.”
“Baik, Pak.” kata Pak Husen.
Anisha duduk cukup jauh dari laki-laki itu. Ketiga temannya terus memegangi tangannya untuk menenangkannya.
“Acara sudah dimulai, semoga berjalan lancar ya Allah.” Anisha memejamkan matanya sembari berdoa di hatinya. Tak terasa acara itu sudah memasuki inti.
“Bismillahirrahmanirrahim. Saudara Delfano Arsyanendra bin Edric Arsyanendra, saya nikahkan dan saya kawinkan Anda dengan anak saya yang bernama Anisha Sayeeda Misha dengan mas kawin berupa uang tunai sebesar 1 juta rupiah, logam mulia 50 gram serta seperangkat alat salat dibayar tunai.”
“Saya terima nikah dan kawinnya Anisha Sayeeda Misha binti Husen dengan mas kawin berupa uang tunai sebesar 1 juta rupiah, logam mulia 50 gram serta seperangkat alat salat dibayar tunai.”
“Bagaimana para saksi... Sah?”
“SAH...!” ucap semua orang.
“Al-hamdu lillahi robbil-'aalamiin.” Doa pun diucapkan.
Saat itu juga bulir air jatuh ke pipi Anisha. Perlahan hatinya tenang mendengar itu semua. “Alhamdulillah ya Allah, akad ini berjalan lancar.”
Ketiga temannya pun membantunya berdiri menghampiri Delfano. Dipakaikannya cincin ke jari manis gadis itu begitu pun sebaliknya.
“Fan...” lirihnya. Lelaki itu mendekat mengecup kening Anisha membuat gadis itu kembali meneteskan air matanya.
“Aku mau nangis, Bibah...”
“Ya tinggal nangis aih kamu.” balasnya pada Dinda.
“Aku terharu...!”
“Eh Din hussttt! Diem jangan buat malu.” kata Habibah.
Setelah ijab qabul itu semua tamu dipersilahkan untuk menikmati hidangan yang tersaji dan bersuap foto dengan pengantin baru tersebut.
***
Ketika bersalam-salaman dengan tamu, ia merasakan sakit di perutnya namun ia menahannya tak ingin mengacaukan acara tersebut.
“Selamat, ya, sahabatku. Dan kamu Delfano! Inget, jaga Anisha awas kalau sampai aku dengar Anisha terluka gara-gara kamu.” ucap Elisa dengan tatapan tajam.
“Iya-iya.” jawab Delfano.
“Terima kasih, Elisa.” balas Anisha kemudian mereka berpelukan.
Setelah sahabatnya itu pergi, Anisha membisu melihat sosok laki-laki yang selalu menemaninya sejak kecil. Ya siapa lagi kalau bukan Fathan. Laki-laki itu benar-benar datang di acara pernikahan Anisha.
“Selamat untuk kalian berdua. Yah... Doa yang selalu saya panjatkan di sepertiga malam dikalahkan dengan garis takdir yang sudah terukir. Semoga Allah selalu menganugerahi dan melindungi kalian.”
“Maaf sudah mematahkan doa sepenuh hatimu. Dan terima kasih, kami akan selalu mencintai dan bersama, bukan sampai mati tapi sampai surga.” balas Delfano menggenggam tangan kanan Anisha.
Kemudian kak Farel datang bersama istri dan anaknya memberikan ucapan selamat pada mereka berdua. Ketika Anisha sibuk mengobrol dengan kakak iparnya, Farel mendekat memegang pundak Delfano.
“Walau saya masih kesal atas perbuatan mu, tolong... Jaga Anisha dengan sepenuh hati. Jangan biarkan luka menggores hatinya.” Pesan Farel.
“Pasti, Kak.” balasnya.
Umi dan Abi pun ikut memberikan selamat juga anak-anak Adgares.
“Selamat, ya, Fan. Sudah menikah aja kamu.” kata Rama diikuti yang lainnya.
“Oiya ini hadiah dari kami semua.” ucap Alga mewakili menyerahkan kado tersebut.
“Oh thanks.” Jawab Delfano menerimanya.
“Terima kasih, ya. Sudah menyempatkan hadir.” kata Anisha ramah.
“Justru kami yang terima kasih soalnya bisa makan gratis, ya, gak, ya.” balas Awang disetujui yang lainnya.
Anisha tersenyum melihat kebersamaan Fano dengan teman-temannya itu yang layaknya keluarga. “Terkadang aku sedikit iri dengan keakraban Fano dengan sahabat-sahabatnya. Aku yang memiliki sedikit teman, hanya diam membayangkan ada di posisi itu.”
Setelah acara itu selesai, hanya dua keluarga yang tersisa. Mereka berbicara sebentar dan kemudian memutuskan untuk makan bersama di sebuah restoran.
“Bunda...” Gadis itu menangis di pelukan bundanya.
“Udah, udah jangan nangis, ya. Ayo kita makan malam bersama.” jawab Bunda Aida.
Saat mereka tiba di restoran, mereka memesan ruang privat agar dapat berbicara dengan lebih nyaman.
Setelah mereka duduk, Bu Fiona tersenyum dan berkata, “Jadi setelah ini, kamu pergi ke kediaman kami, ya?”
“Secepat itu?” jawab Anisha dengan keheranan.
“Kamu sudah menjadi bagian dari keluarga Arsyanendra sekarang,” jawab Bu Fiona dengan lembut.
Anisha melihat orang tuanya, yang mengangguk memberikan izin agar gadis itu pergi.
“Anisha sayang, sekarang kamu sudah menikah,” kata Bunda dengan lembut. “Jadi, jika kamu meminta izin, ya ke suamimu. Kamu sudah belajar tentang Bab Nikah di pesantren, kan?” Lanjutnya.
Anisha mengangguk pelan, “Ya, Bunda. Terima kasih.”
Gara-gara persoalan itu, suasana menjadi hening dan canggung. Bu Fiona tidak ingin merusak suasana, jadi dia memecah keheningan dengan topik baru.
Anisha masih terdiam, menunduk dan membatin. “Apakah ini hari terakhir aku bersama Bunda, Ayah, dan kakak? Rasanya memang berat, tapi aku harus tetap menjalankannya.”
Tiba-tiba, sebuah tangan menggenggamnya. Ya, itu adalah tangan Delfano. Ia menyadari bahwa Anisha tenggelam dalam pikirannya sendiri.
“Seharusnya kamu bahagia,” kata Delfano dengan lembut. “Maaf, aku belum bisa menggelar acara besar-besaran untuk pernikahan kita.”
“Aku bahagia, kok,” jawab Anisha dengan percaya diri. “Aku tidak peduli apakah acara itu besar atau kecil. Terima kasih, Fan. Kamu sudah menepati janjimu.”
Lelaki itu tersenyum dan kemudian mencium punggung tangan Anisha. “Aku selalu menepati janjiku.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Dekapan Luka
RomanceKesalahan yang terjadi di malam itu meninggalkan trauma mendalam dihati Anisha. Perasaan malu dan takut terus menghantui jiwanya. Ke mana pun ia berlari pasti selalu jatuh ke pelukan laki-laki yang merampas mahkotanya. Perasaannya semakin berkecamuk...