Eros | [4]

8.7K 570 43
                                    


Kangen ga? 

HARUS KANGEN POKOKNYA AKU MAKSA HAHAHAHAHAH

Kasih satu kata buat 

EROS

.

.

.

Btw ini baru banget aku ketik jadi typo mungkin banyak yaaa, tandai aja heheh

.

.

Dan lagi, untuk kesekian kalinya Ayana merasa dirinya sangat malas untuk bangun dan berangkat ke kampus. Ia tahu, ia tahu sekali bahwa di sana ia tidak akan memiliki hari yang tenang, hari yang... bagaimana mengatakannya? Hari yang damai dan terbebas dari perbudakan.

Entah sampai kapan ia harus menjadi seorang kacung dari Eros, dan entah sampai kapan pria itu berhenti menindasnya. 

Ada kalanya Ayana berpikir untuk pindah kampus. Mungkin itu bisa menjadi solusi hebat untuk menjauhkan dirinya dari neraka yang Eros ciptakan. Namun di sisi lain Ayana berpikir bahwa, ia tidak ingin membuat Papa dan Tante Fira terbebani dengan permintaannya. Ia harus sadar diri bahwa dia menumpang. Ia diterima dengan baik dan hangat saja sudah sangat bersyukur dan Ayana merasa senang.

Ia tidak mau semakin membuat dirinya tidak tahu malu dengan meminta pindah kampus. Mungkin ia akan menahannya entah untuk berapa lama lagi. Selagi raga dan mentalnya waras, dan selagi pikirannya jernih dan memperbanyak doa.

tok tok tok

Ayana yang masih terduduk di atas ranjangnya pun mengangkat wajahnya ke sumber suara. Ia mengusap wajahnya sebentar sambil menguap.

"Masuk," katanya mempersilahkan dengan suara serak.

Lalu pintu terbuka dan aroma tubuh adik tirinya yang sudah ia kenali membuat Ayana tersenyum tipis. 

"Pagi, kak." Marvel menyapa sambil menarik kursi ke samping ranjang Ayana dan duduk dengan berhadapan pada sandaran kursi, sehingga kini tangan Marvel mempunyai tempat untuk berpegang.

"Pagi...," Ayana menyapanya balik dengan tatapan yang tidak sama dengan posisi tubuh Marvel. 

"Kak Aya... ga mau jelasin apa-apa tentang kejadian waktu itu?" 

Marvel begitu tidak sabar mendengar penjelasannya. Karena sejak malam sialan itu, Ayana memang tidak membahas apapun sampai ia pulang ke rumah dengan taksi. Untung saja supir taksi itu baik dan benar-benar mengantarkan Ayana sampai di rumah dengan selamat.

Ayana melipat jemarinya dan tersenyum masam. Bingung ingin menjelaskan apa, juga bingung bagaimana harus menceritakannya. Apa harus berkata 'aku kacung,' atau 'aku seorang pecundang'.

Kepala Ayana berat memikirkan segala hal-hal yang kini berterbangan di kepalanya. Memusingkannya.

"Vel... tapi kalau aku cerita, kamu jangan cerita ke papa sama tante Fira, ya?" pinta Ayana mengingatkan. Pasalnya ia benar-benar tidak ingin membuat seluruh anggota keluarganya khawatir dengan situasi yang menimpanya saat ini.

Marvel yang mendengar itu nampak memasang wajah keraguan. Maksudnya, ia akan mendengarkan dulu, ketika penjelasan Ayana dapat ia terima ia akan mempertimbangkan keputusannya nanti.

"Tergantung ya, kak. Kalau emang ini masalah penting yang membutuhkan pertolongan papa, aku ga bisa diam aja." Marvel angkat bicara. Begitu tegas, begitu berani dan begitu serius membuat Ayana kembali khawatir.

Ayana menoleh ke arah suara Marvel dan menggeleng pelan. "Kalau kamu ngomong... aku juga ga bisa bilang."

"Lah? Kok gitu sih, kak?" Marvel tidak terima dengan respons Ayana. Akhirnya Marvel mendesah, menerima permintaan Ayana yang masih tidak bisa menenangkan hati dan pikirannya. "Oke... aku ga akan bilang. Jadi kenapa?"

EROS Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang