Selama beberapa menit, Refal memesan dua kopi dalam papercup. Setelah kembali ke tempat yang terdapat banyak meja-bangku, Refal memberikan kopi-Macchiato nya kepada Pearly. "Bawa santai saja dengan saya. Ayo, diminum dulu." Refal pun duduk di bangku sebelah Pearly yang menanggapi dengan senyuman tipis, sangat tipis.
Hening melanda di antara mereka. Tak ada yang tahu harus berkata apa selama beberapa saat. Untuk menghargainya Pearly meminum kopi pemberian Refal.
"Kamu sekarang sudah tau kenapa saya memberi nilai kamu seperti itu." Refal pun bersuara kembali, dari sekian lamanya menatap Pearly, perempuan itu pandangan tak beranjak dari kopi Macchiato di tangannya. Alasan-alasan mengenai nilai Pearly yang rendah telah Refal kulas, Refal menyadari banyak penurunan performa Pearly selama kuliah.
"Saya sudah putuskan di grup kelas, apabila ingin ada perbaikan nilai saya berikan tugas tambahan diakhir penutup liburan semester, namun saya beri waktu hanya satu hari pengumpulan, lebih dari itu saya anggap nilai sudah final." Ucap Refal serius.
Pearly mengernyitkan dahi, ia lekas membela diri. "Tapi pak tugas ini karya ilmiah yang bentuknya perlu ada observasi lebih dahulu, banyak data yang perlu dicari, gak bisa secepat itu pak dalam sehari, minimal kami butuh waktu seminggu."
Ya. Pearly sudah was-was ketika baru-baru saja mendapatkan notifikasi di grupnya perihal Refal yang memberikan informasi remedial.
"Ya itu konsekuensinya, jika keberatan saya tidak merasa dirugikan sedikit pun." Refal menjawab dengan nada dingin.
"Tolong pak beri waktu lagi, tidak cukup bagi kami hanya satu hari, yang benar saja?." Timbang Pearly mewakili teman-temannya.
"Itu sudah keputusan saya, suka tidak suka ya terserah mahasiswanya, mau atau tidak."
Awalnya berlangsung biasa-biasa saja, namun Refal memulai topik yang cukup menantang, seketika itu juga perembukan mereka dikelilingi atsmofer yang memanas.
"Kalian semestinya ya bersyukur, mungkin hanya saya dosen yang berbaik hati, masih memberi kesempatan pada mahasiswanya."
Pandangan Refal diedarkan ke sekitar. Helaan napas pun terlontar. "Makanya, jika diberi kesempatan untuk kuliah itu ya dimanfaatkan yang benar, kejar cita-cita, fokus."
"Sangat disayangkan untuk kamu memilih menikah terlalu cepat, dimana masa-masanya kamu lagi berkarya, buktinya kamu tidak bisa menyeimbanginya?."
Mendengar pernyataan tersebut, membuat Pearly menggenggam erat jemarinya. Memberikan sebuah ketenangan pada dirinya sendiri agar tak terbawa emosi.
Sekilas Pearly tertawa, terdengar agak miris di telinga Refal."Saya rasa saya berhak memilih jalan hidup saya, lagi pula prestasi itu hanya nilai plus, tidak menjadi tolak ukur sukses tidaknya karirnya kelak." Pearly merasa tidak nyaman ketika sorotan mata Refal terus menatap dirinya.
"Mungkin bagi perempuan sepertimu untuk apa kuliah capek-capek mending menikah dengan laki-laki yang sudah mapan dan terima beres." Ucap Refal tatapannya begitu mengintimidasi.
Sunyi lagi.
Pembahasan semakin lama semakin tak bersahabat, Refal seaakan menyudutkan Pearly.
"Maaf pak, jika sudah tidak ada lagi saya izin pulang, saya terima peringanan nilai tersebut." Ujar Pearly setelah bisa sedikit menguasai diri.
"Tunggu."
Pearly yang hendak bergerak, berniat merubah posisi menjadi berdiri, tertahan, dia menelan Saliva nya pelan setelah merasakan pergelangan tangannya digenggam.
Mereka saling menjatuhkan pandangan ditangan mereka yang bersentuhan, Refal melepaskannya setelah memastikan bahwa perempuan itu kembali duduk.
"Hubungan kita sempat dekat saat kamu masih semester satu, bahkan kamu selalu menerima ajakan saya, kamu juga sempat suka dengan saya kan?." Tanya Refal suaranya pelan bahkan terdengar seperti bergumam.
Tubuh Pearly sedikit tegang. Pelan, ia menggeleng lirih.
"Jujur saja Pear?"
Seulas senyum diwajah Refal membuat Pearly sedikit berjengit.
Sungguh, Refal berhasil membolak-balikkan perasaannya dalam sekejap. Menit pertama membuatnya melayang, diakhir membuatnya tertampar.
"Saya harus pulang pak, ini sudah sore." Pintar mengalihkan Pearly memposisikan dirinya, tidak ingin membahas perasaan dimana dirinya yang sudah menikah, tak pantas lagi mebahas hal yang mendalam dengan pria lain.
"Kenapa kamu dulu menerima saya? seakan memberi harapan lebih pada saya?"
"Pearly?!"
Semakin tersudut, Pearly membuang pandangannya ke arah jendela, menatap ramainya jalanan ibu kota. Saat ini, Pearly tidak bisa berbuat banyak hal dengan kenyataan yang ada. Tapi itukan dulu!
"Jangan diam, coba jelaskan, biar tidak ada salah paham." Refal berdeham. Memutuskan untuk tidak basa-basi.
Lagi-lagi, Pearly merasa terperangah. Dia menunduk, "Saya akui saya memang sempat suka sama bapak, tapi rasa suka itu hanya sekedar kagum memandang bapak sebagai dosen, gak lebih sampai membawa hati apa lagi cinta, mungkin bapak juga seperti itu sama saya, hanya terobsesi."
Memang mereka sempat saling dekat tanpa ikatan status, keduanya kerap kali jalan berdua bersembunyi-sembunyi diluar kampus. Pearly menghargai Refal sebagai dosennya, ia banyak mengambil kesempatan mendapatkan ilmu tambahan setelah berdekatan dengan dosen, tapi Pearly tidak tahu akan sesensitif ini.
"Gak Pear, saya memang membawa perasaan saya untuk kamu, tiap manusia untuk menunjukkan bahwa mereka jatuh hati itu beda-beda. Ada yang terang-terangan nunjukkin, dan ada yang memilih menyembunyikan." Refal tersenyum, pahit.
Pearly terdiam sesaat, terlihat masih syok dengan pernyataan Refal, lalu mendongak. "Cukup pak, gak seharusnya bapak bersikap seperti ini sama saya semua ini gak pantas, tolong jangan deketin saya lebih dari dosen ke mahasiswanya, saya gak mau bapak kenapa-kenapa!"
Namun, siapalah dia ini? Mana bisa dia mengontrol perasaan manusia lain sesuka hatinya?
"Kamu gak perlu bohong sama saya kalau kamu juga menaruh perasaan sama saya kan?, buktinya kamu khawatir kalau saya kenapa-kenapa, saya tau suami kamu dapat melakukan apapun pada saya, tapi saya nggak perduli, Pear."
Refal tahu ia tidak pantas bersikap seperti ini, namun semua ini harus segera diungkapkan, agar tidak terus terpendam, Refal paham setelah ini pasti Pearly akan semakin menghindar darinya, tapi setidaknya ia sudah lega. Refal tak memaksa, ia hanya terpukul tidak bisa menerima kenyataan bahwa perempuan yang ia sukai telah menikah. Namun, dia berusaha menahan diri, berusaha agar tak terlihat bodoh di depan Pearly.
Bungkam sesaat. Pearly tak berani untuk menjawab, yang nantinya akan membuat suasana tambah runyam.
"Apa sosok seperti itu yang kamu maksud setia? sampai kamu menjaga hati seperti ini?" ujar Refal sambil menggesturkan tangannya ke arah luar cafe.
Pearly mengerjap. Takut salah dengar."Maksud bapak apa?"
"Itu Pak Alega kan?"
Pearly memusatkan pandangannya menyamakan dengan atensi Refal , kini matanya tak berkedip lama.
"Jika dia pria yang baik, pasti dia akan jujur, coba kamu telfon dia." Usul Refal berpendapat.
Lantaran tak tega menerima pertunjukan yang begitu jelas, Refal mencoba menenangkan Pearly yang tengah mematung.
"Saya hanya meluruskan, saya tidak ingin kamu jatuh kepada orang yang salah."
"Pearly?"
<><><>
Kam, 6 Apr 2023.
KAMU SEDANG MEMBACA
TERPIKAT [COMPLETED]
RomanceBagaimana menikah dengan orang yang lebih tua dari kita? Iya lebih dewasa sih.. Tapi manja, nyebelin, banyak ngatur. -Pearly Askana Terpikat sebuah kisah titisan dari " Pramagara" . Cerita ini Mengandung konten dewasa. Cerita ringan penuh bucin me...