PART 08

18.8K 1.1K 6
                                    

Hai, guys! Aku double up nih.

Btw, gimana sama puasanya hari ini? Lancar gak?

.
.
.

PART 08


“Mas, kalau kita ngajuin pembatalan pernikahan aja, gimana?”

Keira tahu ini konyol, tapi pertanyaan itu meluncur begitu saja dari bibirnya saat ia keluar dari kamar dan mendapati Jeandra yang sedang duduk sendirian di atas meja makan. Gia yang saat itu sedang berada di sekitar sana juga, tampak ikut terkejut atas pertanyaan Keira yang terasa sangat tiba-tiba.

Sementara itu, Keira yang baru menyadari tentang keberadaannya Gia, karena ia tidak tahu kalau ternyata wanita paruh baya itu sudah pulang ke rumah, tampak langsung meringis kecil dan melirik takut ke arah Jeandra yang saat ini sudah mulai menampilkan tatapan tajam—seakan sudah siap untuk menyemprot dirinya.

“Gak usah aneh-aneh kamu, Kei. Saya enggak akan ngebatalin apa pun. Mending kamu duduk, sekarang kita makan dulu.”

Keira hanya mampu merengut, lalu menarik salah satu kursi yang terletak paling jauh. Supaya dirinya tidak perlu berdekatan dengan Jeandra yang saat ini masih menampilkan raut wajah seram—berikut dengan tatapan tajam. Karena demi apa pun, tatapan mata pria itu kadang-kadang mampu membuat dirinya jadi merasa cukup ketakutan.

Mereka berdua tampak makan malam dalam diam. Hanya suara dentingan dari alat makanlah yang sesekali akan terdengar dan mengisi kesunyian. Sedangkan Gia tadi sudah pamit pergi ke belakang—ke arah dapur kotor untuk membereskan beberapa pekerjaan.

“Saya serius lho, Mas.” Keira akhirnya berani bergumam ketika Jeandra sudah mulai menampilkan raut wajah normal. Saat itu mereka sudah selesai makan, dan Keira sengaja mengekori Jeandra yang ternyata duduk di kursi teras samping rumah. Keadaan di sana lumayan sejuk akibat angin malam yang berembus tidak terlalu kencang.

“Serius soal apa? Pernikahan kita?” tanya Jeandra yang menolehkan kepalanya sekilas, karena Keira masih berdiri di dekat sliding door kaca yang terhubung ke halaman samping rumah.

“Tentang pembatalan pernikahan,” sahut Keira dengan suara pelan. Dan Jeandra pun langsung mengembuskan napas kasar.

“Memangnya kenapa sih?! Kenapa sampe harus dibatalin?“ Jeandra benar-benar terlihat sangat kesal dan sensitif saat membahas tentang hal ini. Tetapi, kali ini Keira memilih untuk memberanikan diri. Karena ia sudah mens, dan sama sekali tidak sedang hamil.

“Soalnya saya enggak hamil.”

“Tahu dari mana kalau kamu enggak hamil? Memangnya kamu udah berani buat beli test pack?” tanya Jeandra, masih dengan sisa-sisa raut wajah kesal yang terlihat cukup jelas.

“Tadi aku udah mens,” jawab Keira dengan suara kecil dan tanpa sadar menggunakan kata ‘aku’. “Jadi, aku pikir—“

“Ya udah, malah bagus. Itu artinya kita enggak punya anak di luar pernikahan. Tadinya saya udah bingung, gimana kalau anak kita nanti perempuan? Mungkin saya enggak bakalan bisa buat jadi wali nikahnya kalau nanti dia udah dewasa.”

Keira yang masih berdiri di dekat pintu kaca, tampak langsung terhenyak. “Maksud saya bukan itu—“

Kalimat Keira harus terpotong, karena Jeandra baru saja menoleh dan memberi isyarat berupa jari telunjuk di depan mulut. Lalu sebelah tangan pria itu pun tampak mendekatkan ponselnya ke arah samping telinga, dan dia kembali menoleh ke arah depan tanpa memedulikan lagi sosok Keira.

Saturday Night Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang