Bbrp hari yg lalu aku pernah cerita kan kalau aku udah mulai bisa nyetok bab lagi, walaupun sedikit.
Nah, tadinya bab ini mau aku jadiin bab epilog, tapi gak jadi. Terus aku ubah judul babnya jadi Saturday Night, biar bab selanjutnya bisa langsung masuk ke bab epilog.
Tapi setelah aku ketik-hapus & ngerasa serba salah sendiri sama isi babnya, bahkan sampe nge-cut 1 bab full, akhirnya aku mutusin kalau bab ini aku kasih judul PART 41 😂
Cumaaa, hilal tamatnya emang udah semakin deket. Jadi, siap-siap aja ya. Gak lama lagi kita bakal pisah sama Jeje & Keira 🙏
***
PART 41
Untungnya, tidak ada hal serius yang terjadi kepada Keira. Karena rasa sakit di dadanya pun sudah perlahan-lahan mulai menghilang, bahkan sebelum mereka mendapat giliran untuk masuk ke ruangan dokter dan melakukan pemeriksaan. Meski begitu, Keira tetap menuruti apa maunya Jeandra. Karena pria itu benar-benar ingin memastikan. Takutnya ada luka dalam, atau hal lain yang membutuhkan penanganan.
Pada akhirnya, Keira pun hanya diberikan salep, dan luka di lehernya tadi sudah diobati serta ditutupi menggunakan hansaplast oleh seorang dokter. Ia tidak berdarah ataupun mengalami luka serius lainnya, tapi remasan tangan Nara di pundak serta lengan bagian atasnya tadi memang sempat meninggalkan rasa sakit, yang sekarang juga sudah benar-benar menghilang. Sudah tidak terasa lagi. Malahan, saat baru masuk ke dalam mobil sesaat setelah insiden di apartemen tadi, wanita itu tampak bersikap santai, sudah tidak mengeluh lagi. Lalu mengambil tisu basah untuk membersihkan tangannya dari sisa noda liptint. Liptint dari bibirnya Nara. Karena ia memang sempat meremas bibir wanita itu untuk memberinya pelajaran, supaya dia tidak berbicara sembarangan. Apa lagi menduga kalau anaknya ini adalah anak haram.
Saat melihat noda itu, Jeandra hanya melirik tangannya sekilas dan tidak mengatakan apa-apa.
Keira pun sama. Ia masih belum ingin bercerita. Meski ia tahu kalau pria itu pasti sedang bertanya-tanya, kenapa ia bisa bertengkar dengan Nara.
“Mas, kamu marah ya?” Keira mulai bertanya saat mereka tengah duduk berdua di sofa ruang tengah. Hari sudah mulai gelap, dan mereka pun sudah selesai makan malam.
Keira tampak menatap Jeandra dengan pandangan ingin tahu, karena wajah pria itu masih terlihat sangat serius dan kaku. Padahal dokter umum yang tadi memeriksanya, sudah mengatakan kalau tidak ada luka yang serius, dan kandungannya pun aman. Walaupun awalnya Dokter Winda—dokter kandungannya—sempat syok begitu mengetahui kalau ia tadi habis bertengkar. Sehingga dokter yang sepertinya seumuran dengan ibunya itu pun langsung memberikan nasihat, supaya ia tidak bertengkar lagi dan melakukan hal-hal yang ekstrem, takutnya hal itu malah akan benar-benar berakibat fatal pada si bayi.
Jeandra sempat menghela napas sebelum mengulurkan tangan untuk mengusap puncak kepala istrinya. “Aku enggak marah,” akunya dengan jujur, apa adanya. “Tapi, aku cuma lagi kepikiran aja. Pipinya Nara tadi berdarah, kalau dia lapor polisi, gimana? Apa lagi kita juga enggak tanggung jawab, tadi langsung pergi gitu aja.“
Keira langsung melebarkan kelopak matanya. Kemudian, menggeleng kaku ke arah Jeandra. “Enggg ... gak mungkinlah. Dia yang salah.”
“Dia ngapain kamu?”
Keira tampak menunduk. “Awalnya dia nampar aku.“ Ia lantas menatap Jeandra yang terkejut. “Terus aku enggak terima, jadinya kubales.”
“Kujambak rambutnya, enggak aku kasih ampun,” sambungnya dengan nada suara yang lebih menggebu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Saturday Night
RomanceKeira tidak menduga kalau malam acara resepsi pernikahan sang kakak malah akan membawa malapetaka bagi dirinya. Ia terjebak dalam hubungan satu malam bersama seorang pria. Celakanya lagi, pria itu sudah memiliki seorang tunangan dan mungkin tak lama...