Happy Reading!
Vote dulu, lalu komennnya jangan lupa.♥️
___
Hari ini kampus tampak sangat ramai sekalipun masih libur semester. Tentu saja, kampus ramai karena diisi anak-anak yang baru pulang KKN.
Seperti ketika berangkat, kelompokku kembali menyewa mobil pick up untuk mengangkut barang-barang—yang tentu jadi lebih banyak— yang kami sepakati agar diantar ke kampus saja. Ini adalah jalan tengah agar adil untuk setiap anggota kelompok. Agaknya kelompok lain pun begitu karena aku melihat cukup banyak mobil pick up yang masuk area kampus.
Untuk orangnya, kami pulang naik motor masing-masing. Dari sepuluh anggota, yang tidak membawa motor hanya dua, yakni Dewi dan Zahra. Sudah pasti Zahra ikut Agus, sementara Dewi ikut Farid. Aku motoran sendiri seperti lima anggota yang lain.
"Sampai jumpa, bestieee! Sampai ketemu lagi kalau deadline laporan sudah dekat!" seru Zahra ketika dia sudah dijemput orang tuanya.
"Ya. Hati-hati, Ra!"
Semua barang sudah diturunkan. Mobil pick up yang kami sewa bahkan sudah pergi. Aku menunggu jemputan Ayah, tetapi sejak tadi beliau malah sulit dihubungi.
Rencananya, motorku akan dipinjam Dewi untuk dibawa pulang ke Bantul. Motor di rumahnya hanya ada satu, sedangkan dia memiliki dua adik laki-laki yang masih SMA, itulah kenapa dia tidak membawa motor ke lokasi KKN.
Aku berinisiatif meminjamkan motorku pada Dewi karena Ayah sudah setuju menjemputku. Lagi pula aku lelah motoran dua jam. Rasanya tak kuat kalau aku harus motoran ke rumah sembari mengangkut barang-barangku yang banyak ini.
"Beneran, ini, Nin? Kamu percaya aku? Enggak takut nanti motormu kujual?" canda Dewi ketika dia sudah siap pulang. Barang-barangnya tak sebanyak punyaku, jadi dia tidak terlihat kesulitan.
"Jual aja. Nanti di sampul laporan namamu kucoret."
Dewi terbahak. "Ya udah. Makasih banyak, ya, Nin. Aku bawa dulu motormu. Nanti kalau kamu butuh bilang aja, biar aku sama adikku yang ngembaliin. Asal jangan minta pagi, adikku sekolah."
"Iya, santai aja."
"Kalau gitu aku duluan, Nin!"
"Yoi! Hati-hati!"
Setelah Dewi pergi, kini tinggal aku sendirian. Aku kembali menghubungi Ayah, tetapi lagi-lagi beliau tidak memberi respon. Pesanku tak dibalas, teleponku pun tak diangkat.
Hari belum sore, tetapi langit sudah gelap. Awan kelabu menggulung tebal di atas sana. Kemungkinan besar sebentar lagi turun hujan. Saat ini aku duduk sendiri di gazebo fakultas tetangga, yakni fakultas yang disepakati untuk menurunkan barang-barang.
"Ayah ke mana, sih!" aku mulai kesal sendiri karena lagi-lagi teleponku tak dijawab, padahal nomor beliau aktif. Aku sudah menghubungi Bunda, tetapi centang satu. Bunda memang begitu, beliau jarang sekali pegang ponsel. Jadi aku maklum.
Setengah jam berlalu, masih tidak ada jawaban. Ponselku juga lowbat, sedikit lagi pasti mati. Kalau tahu begini, harusnya sejak tadi aku pesan gocar.
"Aduh! Mana hujan beneran!" Aku segera mengangkut barang-barangku ke teras fakultas agar tidak kehujanan. Sebetulnya ada beberapa mahasiswa yang juga terlihat sedang menunggu jemputan, tetapi tidak ada satu pun dari mereka yang kukenal.
Baru saja aku hendak mengecek ponsel lagi, tiba-tiba ada seseorang yang berhenti tepat di depanku. Dia mengenakan sepatu fantofel hitam. Ketika aku mendongak, aku reflek mundur. "P-pak Rafiq?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Inevitable Feelings
RomanceAnindya Githa Prameswari (Anin), mahasiswa matematika semester tujuh yang sedang bergelut dengan tugas akhir. Di masa-masa terakhir kuliahnya, dia ditunjuk menjadi ketua angkatan oleh teman-teman satu jurusan. Itu mengharuskan dia sering berurusan d...