Bab 25. Kencan Pertama

2.1K 235 118
                                    

Tak terasa, semester tujuh sudah hampir berakhir. Dua minggu lagi aku sudah ujian semesteran. Jadwal sudah keluar, dan aku bersyukur mata kuliah yang kuambil ujiannya menyebar. Maksudku, tidak berkumpul hanya dalam satu atau dua hari. Dengan begitu, aku bisa memfokuskan belajarku satu-satu agar nilaiku maksimal.

Hari ini adalah jadwal bimbingan terakhir sebelum ujian. Minggu depan sudah masuk minggu tenang, jadi harusnya libur.

Tok tok tok!

Aku mengetuk pelan ruangan Pak Rafiq. Seperti biasa, kondisi jantungku sudah mulai sulit dikondisikan. Ditambah lagi, aku masih ingat betul kalimat terakhirnya sebelum aku pulang malam itu.

'Semakin kamu menolak, semakin saya ingin mendapatkanmu.'

Jujur saja, mendengar kalimat itu, aku antara senang dan takut. Entahlah, rasanya sulit dijelaskan.

"Masuk, Nin."

Bukan main. Pak Rafiq langsung tahu kalau yang mengetuk pintu ruangannya adalah aku. Padahal aku belum bersuara sedikit pun.

Aku segera masuk, lalu meringis. "Siang, Pak."

"Iya, siang. Silakan duduk."

"Iya."

Aku duduk di kursi yang biasanya. Pak Rafiq sendiri masih mengerjakan sesuatu dengan laptopnya. Aku mengeluarkan kotak donat dan membukanya.

"Sudah dua minggu saya tidak mencium wangi ini." Pak Rafiq menutup laptopnya, lalu mengambil donat dan langsung mengigitnya. "Kamu bawa lima lagi? Sengaja agar tidak ikut makan?"

"Di rumah masih sisa banyak, Pak. Masa ke kampus juga bawa donat?"

"Saya rela makan empat kalau kamu memang mau."

"Bapak pikir saya akan terharu?"

Pak Rafiq tersenyum, lalu dia mencomot lagi donat yang kubawakan untuknya. Aku ikut tersenyum melihat donatku selalu dia makan dengan begitu lahap. Aku merasa effort-ku sangat dihargai.

"Kamu kalau senyum-senyum begitu, bahaya, Nin."

Aku refleks melipat bibir. "Saya enggak senyum lagi."

"Mana pembahasanmu?"

"Oh, iya."

Aku segera mengeluarkan kertas pembahasanku dan menyerahkannya pada Pak Rafiq. "Kalau yang terakhir sudah tepat, saya lanjut lagi sisanya. Saya usahakan setelah ujian semua pembahasan sudah selesai."

"Minggu depan minta libur?"

"Iya, Pak." Tanpa sengaja, suaraku agak merengek. "M-maksud saya, iya, Pak. Minggu depan kan minggu tenang. Terus minggu depannya kalau bisa libur lagi karena ada ujian."

"Ujianmu sampai hari apa?"

"Kamis."

"Kalau begitu, Jumatnya bimbingan."

"Pak-"

"Minggu lalu sudah libur, Anin."

"Tapi saya usahakan setelah ujian saya kerjakan semuanya."

"Justru itu. Jumat hanya untuk pengecekan. Rabu depannya baru, kalau bisa sudah final."

"Ya sudah." Aku mengangguk.

"TOEFL sudah kamu urus?"

Aku mengangguk. "Sudah. Semua persyaratan sidang sudah saya siapkan. Tinggal skripsi saja yang belum beres."

"Bagus. Jangan menunda lagi."

Pak Rafiq menatapku, sementara aku langsung mengalihkan pandangan. Aku tahu dia tersenyum, tetapi kemudian dia sibuk memeriksa skripsiku.

Inevitable Feelings Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang