Bab 12. Tawaran Gila

1.8K 249 65
                                    

Happy Reading!

Vote dulu, lalu komennnya jangan lupa.♥️

___

"Pak, saya benar-benar enggak bisa. Sama sekali enggak bisa." Aku mengulang dan menekan penolakanku berkali-kali. "Kali ini Bapak bisa cari perempuan lain. Yang jelas bukan saya."

Pak Rafiq diam. Dia terlihat menatap lampu merah yang masih berada di angka lima puluhan. Kami baru masuk area Jogja, dan ini sudah pukul setengah sepuluh malam.

Andai tidak terjebak macet, harusnya aku dan Pak Rafiq sudah tiba di rumah sejak tadi. Aku iri dengan teman-temanku yang lain. Jam tujuh Fikri mengabari kalau dia sudah sampai Jogja. Aku rasa pukul delapan atau maksimal setengah sembilan mereka semua sudah tiba di rumah masing-masing.

Sedangkan aku? Setengah sepuluh masih di jalan, kena todong Pak Rafiq pula.

"Tinggal katakan apa yang kamu inginkan. Selagi saya bisa, saya turuti."

"Enggak bisa, Pak. Ini bukan tentang sesuatu yang bisa saya usahakan seperti membuat donat, tapi ini sudah menyangkut keluarga Pak Rafiq. Bahkan bisa dibilang satu-satunya keluarga yang masih Bapak miliki."

"Ya sudah."

Mobil kembali berjalan setelah lampu menyala hijau. Suasana mendadak hening, sampai-sampai aku bisa mendengar deru napasku sendiri.

Aku iseng mengecek ponsel, ternyata ada pesan dari Ayah. Itu sudah dikirim dari satu jam yang lalu. Selain pesan, ada setidaknya lima panggilan tak terjawab. Ponsel memang sengaja ku-silent sejak pagi, jadi aku tidak langsung tahu kalau ada pesan atau panggilan masuk.

Ayah

Nin, Mbah Marni meninggal

Ayah sama Bunda langsung otw Klaten malam ini juga.

Eyang enggak mau nunggu besok buat ke sana

Kamu nginep di rumah Raya aja, ya.

Rumah Ayah kunci, kuncinya Ayah bawa.

Aku melongo lama sekali membaca pesan itu. "Ayah ini yang bener aja!"

"Ada apa?" Pak Rafiq menoleh sekilas.

"Aduh!" aku menepuk pelan kepalaku. "Gimana, ini!"

"Ada apa, Anin?"

"Saya tidak bisa pulang ke rumah malam ini, Pak."

"Kenapa memangnya?"

"Kakak dari eyang saya meninggal. Beliau orang Klaten. Ayah sama Bunda ke sana malam ini juga buat antar eyang." Aku meraup wajah kasar. "Ayah menyarankan saya menginap di rumah Raya, dia teman yang waktu itu saya jadikan alasan waktu Bapak minta saya keluar mendadak. Tapi hari ini dia lagi studi banding ke Bandung."

"Kamu ikut saja ke rumah saya."

Aku mendelik. "Bapak gila, ya?"

"Kok gila? Memangnya sejak kapan orang gila bisa jadi dosen?"

"Sejak kapan pula orang waras menawari tawaran tidak masuk akal begitu?"

Lagi-lagi mobil Pak Rafiq berhenti. Jangan heran, Jogja memang terkenal dengan segudang lampu merahnya.

"Ini tawaran serius."

"Saya tidak mau!" aku menolak tegas.

Yang benar saja, Pak Rafiq ini! Dia pikir aku perempuan gampangan, begitu?

"Saya yakin kamu berpikir terlalu jauh."

"Mau jauh atau tidak, bukan itu poin utamanya, Pak."

"Kamu takut saya akan macam-macam?"

Inevitable Feelings Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang