Aku disidang Ayah dan Bunda.
Saat ini, aku duduk tegap di sofa dan mereka duduk tepat di depanku. Sejak bangun tidur, lirikan Bunda sudah penuh maksud. Begitu selesai sarapan, mereka menyuruhku untuk ke ruang tengah.
Aku sudah menduga ini, jadi tidak begitu kaget. Hanya saja, aku cukup deg-degan karena pasti sidang kali ini akan cukup panjang.
"Sebelum Ayah tanya lebih lanjut, jawab dulu pertanyaan Ayah dengan sejujur-jujurnya, Nin."
Aku mengangguk. "Iya, Yah."
"Sejauh mana hubunganmu sama Pak Rafiq? Siapa yang suka dulu, dan kapan mulai jadian? Jawab singkat aja."
Aku menghirup napas panjang, lalu mulai menjawab. "Aku sama Pak Rafiq ada di tahap pacaran, yang suka dulu Pak Rafiq, dan kami jadian baru beberapa minggu sebelum sidang."
"Kamu enggak malu pacaran sama dosen sendiri, Nin?"
"Malunya ini yang gimana, Yah?"
"Ya malu aja."
"Aku enggak paham malu yang Ayah tanyain itu gimana. Yang jelas, aku enggak malu. Aku justru bangga. Ayah jangan salah paham dulu. Bangga di sini artinya aku cukup baik sampai laki-laki seperti Pak Rafiq menyukaiku. Dia bukan orang sembarangan, Yah. Catatan akademik dan lain-lainnya bagus."
Ayah terdiam. Beliau seperti bingung mau membalas apa. Mungkin saja, beliau tak habis pikir dengan jawabanku.
"Sebenarnya juga, kami pacaran karena kepaksa keadaan, Yah."
"Maksudnya?" tanya Bunda. "Keadaan apa sampai membuat kalian harus banget pacaran? Memangnya ada, pacaran itu keharusan? Enggak ada. Jangan ngawur, Nin!"
"Pak Rafiq enggak mau pacaran sebenarnya, Bund. Maunya langsung minta aku ke Ayah sama Bunda. Cuma posisinya kan waktu itu aku belum lulus. Pasti enggak dibolehin, pun aku belum mau. Terus akhirnya Pak Rafiq tetap nembak aku karena ngerasa aku banyak yang ngedeketin. Kalau enggak ada status, dia ngerasa senewen."
Bunda tiba-tiba tersenyum. "Dia sampai tahu kamu banyak yang deketin?"
"Iya, tahu. Jadi pacaran ala kami bener-bener cuma status. Kami enggak pernah ngapa-ngapain."
Aku tidak berani menjelaskan detail karena bagian Pak Rafiq memelukku pasti akan membuat Ayah dan Bunda salah paham. Padahal, pelukan pagi itu konteksnya Pak Rafiq tak kuat menahan kesedihannya. Meski begitu, di sini aku tetap tidak membenarkan tindakannya. Hanya sedikit maklum saja.
"Yakin, Nin?" sebelah alis Ayah menekuk. Ayah terlihat ragu. "Yakin sedikit pun kalian belum pernah ngapa-ngapain?
"Yakin, Yah." Kontak fisik kami yang masih sangat minimal aku anggap bukan apa-apa.
Namun, sekali lagi. Aku sadar penuh kalau ini salah. Jangan ditiru.
"Itu artinya, suksesnya skripsimu karena bantuan dia?"
"Yah, please, deh! Ayah ngeraguin kemampuanku?" Entah kenapa, pertanyaan Ayah membuatku agak tersinggung.
"Ayah cuma nanya aja."
"Tanpa pacaran pun, dosen pembimbing tetap ikut andil dalam penyelesaian skripsi mahasiswanya, Yah. Kalau bantuan yang Ayah maskud adalah bantuan dalam tanda kutip, maka jawabannya enggak. Asal Ayah dan Bunda tahu, Pak Rafiq itu professional banget. Terserah mau percaya atau enggak. Aku kasih contoh. Meski udah nyatain perasaan, kalau soal revisi dia enggak pandang bulu. Dia masih aja kasih kritik dan masukan ke skripsiku. Kadang kalimatnya juga pedas, enggak enak didengar. Soalnya kadang aku juga agak bebal dikasih tahu. Ayah dan Bunda juga tahu sendiri, aku sering tidur malam cuma karena besoknya mau bimbingan. Kalau aku dibantu yang bener-bener dibantu, mana mungkin aku sampai kaya gitu. Dia bimbing skripsiku murni sebagai dosen. Enggak ada perlakuan khusus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Inevitable Feelings
RomanceAnindya Githa Prameswari (Anin), mahasiswa matematika semester tujuh yang sedang bergelut dengan tugas akhir. Di masa-masa terakhir kuliahnya, dia ditunjuk menjadi ketua angkatan oleh teman-teman satu jurusan. Itu mengharuskan dia sering berurusan d...