Bab 14. Donat Kentang

1.6K 217 62
                                    

                "Terimakasih banyak, Pak Rafiq," ujarku pagi itu ketika hendak pulang. Aku sudah ganti pakaianku yang semalam dan pakaian Mbak Iva kutinggal di kamar. Awalnya aku ingin membawa pulang pakaian itu dan mengembalikannya setelah bersih, tetapi Pak Rafiq bilang tidak perlu. Dia akan me-laundry-nya lain kali.

"Iya, sama-sama." Pak Rafiq mengangguk. Dia kini duduk di sofa ruang tengah sembari memegang satu gelas air lemon.

"Bapak tidak ngajar hari ini?" aku bertanya untuk sekadar basa-basi. Rasanya tidak enak kalau nyelonong pergi begitu saja.

"Ngajar siang. Kamu tidak ada kuliah?"

"Sebenarnya ada, tapi diganti tugas, Pak."

"Ya sudah. Besok jangan lupa bimbingan. Dan jangan lupa juga dengan janjimu." Setelah menyeruput air lemon, Pak Rafiq menatapku lurus.

"Eh, janji? Maksud Bapak, donat kentang?" Aku meringis. "Kalau besok libur dulu bagaimana, Pak? Siang ini saya mau istirahat. Besok pagi kemungkinan saya bangun agak siang lagi."

"Belum-belum kamu sudah ingkar janji—"

"Ya sudah, iya. Besok saya bawakan." Aku sengaja menyela agar tidak di-judge lebih banyak. Padahal, aku minta libur juga ada alasannya.

"Oke."

"Kalau begitu saya pamit dulu, Pak."

"Sebentar ..."

Aku yang baru saja menunduk, seketika kembali menegakkan kepala.

"Ada apa, Pak?"

"Lain kali kamu jangan pernah seperti ini lagi. Dengan saya itu pengecualian."

"Hah?" Aku melongo tak paham. "Maksudnya?"

Apanya yang dimaksud dengan 'jangan pernah seperti ini lagi'? Dan apa pula maksud pengecualian?"

"Maksud saya, lain kali jangan pernah mau menginap di rumah, kos, apartemen, atau apa pun itu, milik laki-laki yang tinggal sendirian. Baik single ataupun tidak single."

"Hah?" Aku masih saja tidak paham.

"Saya sebetulnya bisa mengerti kenapa semalam kamu menolak keras menginap di rumah saya. Memang sudah seharusnya begitu. Dan kalau lain kali kamu berada di situasi yang kurang lebih sama seperti tadi malam, tetap tolak dan jangan pernah mau."

Aku terdiam cukup lama.

"Saya paham, tapi enggak paham. Eh, gimana, sih? Sebentar ..."

Pak Rafiq menyuruhku duduk di sofa. Dia terlihat menungguku melanjutkan bicara.

"Jadi maksud Bapak, kalau suatu saat saya ada di posisi yang kurang lebih sama seperti tadi malam, jangan pernah mau diajak menginap di rumah laki-laki yang tinggal sendirian, kecuali Bapak, begitu?"

"Tepat." Pak Rafiq mengangguk.

"Why?"

"Kamu sudah membuktikan sendiri. Kamu aman dengan saya. Dengan laki-laki lain, bisa saja berlaku sebaliknya."

"Jadi secara enggak langsung Bapak ingin bilang kalau Bapak laki-laki baik, sementara yang lain tidak?"

"Saya tidak bilang gitu, tapi saya hanya ingin kamu berhati-hati. Saya tidak mungkin menawari kamu ikut pulang dengan saya kalau saya tidak yakin dengan kemampuan pengendalian diri saya."

Mendengar itu, aku refleks beringsut mundur. "Kenapa saya tiba-tiba jadi takut?"

"Tidak perlu takut. Saya hanya ingin bilang itu saja."

Inevitable Feelings Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang