Bab 9. Roti Selai

1.5K 218 82
                                    

Selamat Hari Raya Idul Fitri 1444H 🙏
Mohon maaf lahir batin ya🙏😇

___

Hujan yang lebat itu akhirnya berakhir, menyisakan gerimis rapat yang sepertinya akan berlangsung lama. Aku dan Pak Rafiq masih terjebak di emper. Orang-orang ada yang nekat menerobos, ada pula yang masih betah berteduh.

"Dinginnya ..." aku bergidik ketika angin tiba-tiba berembus agak kencang.

"Sepertinya kalau menunggu hujan benar-benar berhenti akan lama."

"Kayaknya iya, Pak. Hujan yang begini biasanya awet."

"Mau ke sana?" Pak Rafiq menunjuk sebuah rumah makan joglo berukuran kecil yang tidak terlalu ramai.

"Dompet saya di motor, Pak. Sedangkan motor saya jauh di sana. Harus muter dulu."

"Saya bawa. Sepertinya kita perlu yang hangat-hangat."

Aku diam, tidak langsung menyahut. Aku tahu, tidak ada yang aneh dari kalimat Pak Rafiq. Hanya saja, tiba-tiba aku merasa kikuk sendiri.

"Anin?"

"Besok kalau bimbingan saya ganti uangnya, Pak."

Pak Rafiq tidak membalas, malah berlari ke arah rumah makan joglo yang tadi dia maksud. Mau tidak mau, aku segera menyusulnya.

Diam artinya iya. Begitu, kan?

Sesampainya di sana, Pak Rafiq menyuruhku duduk dan memilih menu. Dia minta dipesankan makanan yang sama denganku, sementara minumnya minta jahe hangat. Tak lupa, dia meninggalkan dua lembar uang seratus ribuan karena makanan bayar di awal. Setelah itu, dia pamit pergi entah ke mana.

Berselang beberapa menit, Pak Rafiq kembali dengan menenteng keresek hitam. Dia sudah melepas jaketnya sejak tadi, menyisakan kaos putih polos yang tadi dia gunakan untuk dalaman.

"Buat kamu."

"Hah?"

"Jaketmu basah, ganti dulu sana."

Tanganku refleks menerima keresek itu. "Ini buat saya?"

"Sepertinya kamu memang senang saya mengulangi kalimat yang sama."

Aku meringis. "Bapak enggak beli?"

"Kaos saya kering, yang basah hanya jaket. Melihatmu tidak melepas jaket sama sekali, itu artinya kamu perlu jaket baru."

Aku kembali meringis. Aku memang tidak memakai apa pun di balik jaket kecuali bra dan tanktop hitam yang tipis dan ketat. Itulah kenapa aku tidak melepas jaket sama sekali.

"Kalau begitu saya ke toilet dulu, Pak."

"Ya."

Sesampainya di toilet, aku segera mengambil jaket yang dibelikan Pak Rafiq. Ralat, itu bukan jaket, melainkan hodie. Aku segera mengganti jaket olahragaku dengan hodie itu.

Seketika, rasa dingin yang sempat menyerang langsung berganti dengan rasa hangat. Sekalipun hodie ini tidak terlalu tebal, tetapi ini jelas jauh lebih baik daripada mengenakan jaket basah.

"Terimakasih banyak, Pak," ujarku begitu kembali dan duduk di sebelah Pak Rafiq.

"Ya."

"Saya ganti hodie-nya sekalian ganti uang makan, ya, Pak? Jadi hodie ini berapa harganya?"

"Gratis. Makan sore ini juga gratis."

"Jangan begitu, Pak. Perihal dua buku saja saya sudah merasa terbebani."

Sampai detik ini aku masih merasa kalau dua buku permintaanku belum apple to apple dengan donat pesanan Pak Rafiq. Apalagi ditambah hodie dan traktiran sore ini?

Inevitable Feelings Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang