Aku ingin sekali menutup akses komunikasi dengan Pak Rafiq, tetapi tidak bisa. Meski sudah lulus, hubungan dosen dan mahasiswa akan tetap melekat. Terlebih, aku adalah mantan ketua angkatan. Tidak mungkin aku bisa lepas begitu saja.
Sejak putus, aku tetap membalas pesan Pak Rafiq, tetapi hanya ala kadarnya. Aku membalas yang kiranya perlu saja. Bahkan telepon darinya tidak pernah kuangkat.
Pak Rafiq pernah tiba-tiba datang ke rumah. Namun, Ayah dan Bunda menyembunyikanku. Dalam arti, mereka bilang kalau aku sedang tidak ada. Mereka setuju kalau aku putus dengan Pak Rafiq meski selama berhari-hari mereka harus menghadapiku yang banyak murung.
Ayah dan Bunda merasa pilihanku sudah tepat. Selain mereka tidak ingin terbayang-bayang rasa bersalah atas apa yang terjadi di masa lalu, mumpung perasaanku pada Pak Rafiq juga belum terlalu dalam. Jika putus sekarang, maka efeknya belum terlalu besar.
"Cantik banget anak Bunda!" Bunda tersenyum lebar melihatku yang baru saja selesai didandani. Beliau bahkan langsung menyalakan kamera ponsel dan memotretku.
Ya, hari ini tibalah saat di mana aku akan diwisuda. Perjalanan panjangku kurang lebih tiga tahun enam bulan, akan dirayakan hari ini. Aku bangga dengan diriku sendiri, dan aku harus banyak berterima kasih pada Pak Rafiq, orang yang sedang sangat kuhindari.
Ironi, ya?
Harusnya dia menjadi orang pertama— di luar orang tua— yang kunantikan ucapan selamatnya. Namun, aku justru berharap dia tidak mengucapkan apa pun. Aku ingin dia melupakan hari pentingku ini. Semoga dia ada kesibukan lain.
"Ayo berangkat, Nin. Udah jam enam lewat. Acara kan mulai jam tujuh. Belum lagi kalau macet, nanti lama di jalan."
"Iya, Bund. Ayah mana?"
"Lagi ke kamar mandi bentar."
"Oke."
Berselang beberapa saat, akhirnya kami berangkat. Sepanjang perjalanan menuju kampus, entah kenapa tiba-tiba aku kepikiran Pak Rafiq. Aku teringat wisudanya dulu hanya dihadiri Mbak Iva dan Mas Hakim. Aku tahu ini karena aku sudah melihat fotonya.
Andai kecelakaan itu tidak pernah terjadi, kedua orang tuanya pasti kompak datang. Kebahagiaannya juga pasti akan terasa lebih lengkap.
Aku tahu, berandai-andai untuk sesuatu yang sudah terjadi itu tidak diperbolehkan. Namun, aku hanya tak bisa menahan diri untuk tidak mengandaikan hal ini. Jujur, di beberapa titik, aku merasa seperti telah merenggut kebahagiaan Pak Rafiq. Padahal, saat kecelakaan itu terjadi, aku masih kecil dan tidak tahu apa-apa.
Baiklah, aku sadar betul. Ini sama sekali bukan salahku. Namun, tetap saja aku adalah anak tunggal dari pemilik truk nahas itu. Setelah mengetahui faktanya, bagaimana mungkin aku bisa tenang menjalin asmara dengan anak korban?
Rasanya tidak mungkin! Bayang-bayang rasa bersalah tidak bisa kulenyapkan begitu saja.
"Kok murung, Nin? Ini hari bahagiamu, lho." Bunda menoleh ke belakang. Akhir-akhir ini, aku merasa beliau jadi jauh lebih peka padaku.
"Enggak, kok, Bund."
"Mikirin Pak Rafiq, ya?"
Sudah terlanjur ketahuan, maka aku sulit mengelak.
"Dikit. Gimanapun juga, dia kan pembimbing skripsiku, Bund. Pembimbing akademik juga." Aku buru-buru mendongak ketika kurasakan air mataku mulai menggenang. Aku tidak boleh menangis, nanti make up-ku rusak.
"Udah. Sekarang pikirin yang senang-senang dulu, Nin. Jangan rusak hari bahagiamu. Mana udah ditunggu selama hampir empat tahun."
Aku berusaha tersenyum lebar. "Iya, Bunda."

KAMU SEDANG MEMBACA
Inevitable Feelings
RomanceAnindya Githa Prameswari (Anin), mahasiswa matematika semester tujuh yang sedang bergelut dengan tugas akhir. Di masa-masa terakhir kuliahnya, dia ditunjuk menjadi ketua angkatan oleh teman-teman satu jurusan. Itu mengharuskan dia sering berurusan d...