"Saya tahu, harusnya saya enggak boleh begini di kampus. Tapi kamu harus tahu, saya kangen kamu. Saya benar-benar enggak mau kita putus."
Air mataku menetes, tetapi aku buru-buru mengusapnya. Bahkan jika make up-ku rusak karena air mata ini, aku tak peduli. Aku tidak bisa lagi menahannya.
"P-pak, jangan kaya gini. Ini di kampus," ujarku lirih, nyaris tak terdengar. "Bapak tolong minggir."
"Enggak mau."
Pak Rafiq tiba-tiba mengunci pintu dan menariknya.
"Pak—"
"Saya ingin bicara empat mata sama kamu. Kamu kira saya apa, Nin? Minta putus seenaknya, mengabaikan saya seperti saya ini manusia yang enggak punya hati."
Air mataku kembali menetes. Sulit sekali menahannya agar tak keluar.
"Jika memang saya ada salah, tolong kasih tahu letak salah saya di mana. Saya akan perbaiki itu. Kalau memang ada alasan lain, tolong beri tahu saya. Alasan itu harus masuk akal."
Aku masih diam, air mataku lagi dan lagi menetes.
"Kamu masih sayang saya, kan, Nin? Perasaanmu masih sama, kan? Jawab, jangan diam saja."
Aku tetap diam. Aku diam karena tidak tahu harus membalas apa.
"Tangisanmu saat ini menjelaskan semuanya. Ada apa, Nin? Tolong kasih tahu say—" kalimat Pak Rafiq terhenti ketika aku tidak bisa lagi menahan diri.
Kupeluk Pak Rafiq erat dan dia langsung balas memelukku tak kalah erat. Aku tahu ini salah dan tak pantas, tetapi aku benar-benar tidak bisa menahannya. Aku menangis dalam diam, Pak Rafiq pun menenangkanku dalam diam.
Jujur, aku tiba-tiba terbayang betapa menderitanya Pak Rafiq beberapa waktu terakhir. Aku terlalu egois karena hanya memikirkan perasaanku sendiri. Harusnya aku bisa lebih bijak lagi. Harusnya aku juga sadar kalau dia tetaplah manusia biasa, punya hati dan bisa merasakan sakit. Persis sama sepertiku.
"Sesuatu telah terjadi, Nin?" tanya Pak Rafiq lirih.
Aku mundur, lalu mendongak. "A-ayah sama Bunda nunggu s-saya, Pak."
Pak Rafiq mengusap air mataku pelan.
"Kamu cantik sekali hari ini."
"Ayah sama Bunda nunggu saya, jadi saya enggak bisa lama-lama."
Aku menunduk dan menyingkir dari hadapan Pak Rafiq. Aku meletakkan paper bag di meja, lalu bergegas menuju pintu.
Ah, kuncinya!
"Pak—"
"Saya bukakan kalau kamu tarik kata-katamu malam itu. Hubungan kita baik-baik saja, jadi saya enggak mau putus. Terlebih setelah apa yang kamu lakukan barusan."
"Kita break sejenak, bagaimana?"
"Break?"
Aku mengangguk. Sejujurnya, istilah break muncul begitu saja dan menurutku ini bagus.
"Hanya satu bulan," lanjutku kemudian.
"Nin—"
"Break, atau putus?" balasku sungguh-sungguh. "Hanya itu opsinya. Kalau Bapak enggak mau bukain pintu juga, saya teriak."
"Oke. Break. Satu minggu."
"Satu bulan—"
"Dua minggu?"
"Satu bulan!"
"Tiga minggu. Silakan teriak kalau kamu berani."
Aku terdiam sejenak, lalu akhirnya kembali mengangguk. "Ya sudah, tiga minggu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Inevitable Feelings
RomantizmAnindya Githa Prameswari (Anin), mahasiswa matematika semester tujuh yang sedang bergelut dengan tugas akhir. Di masa-masa terakhir kuliahnya, dia ditunjuk menjadi ketua angkatan oleh teman-teman satu jurusan. Itu mengharuskan dia sering berurusan d...