Akhirnya, skripsiku Acc juga. Pak Rafiq baru saja membubuhkan tanda tangan. Itu pun setelah hari ini dia meneliti kembali dan memastikan revisi hari kamis minggu lalu sudah dibetulkan semua. Dia ini memang super teliti. Typo yang tak seberapa pun dia bisa tahu.
"Bagaimana dengan Bu Siska, Nin?"
"Bu Siska akan langsung tanda tangan kalau Bapak sudah."
"Oke."
Tidak lupa dengan Bu Siska, kan? Dia pembimbing duaku. Bimbingan dengannya tentu tak sebanyak bimbingan dengan Pak Rafiq. Bagaimanapun, pembimbing satu lebih punya kendali soal skripsi mahasiswa. Ditambah lagi, Bu Siska juga dosen dari luar konsentrasiku. Beliau tidak begitu menguasai analisis. Beliau lebih menekankan pada bab satu dan bab dua saja.
"Kalau sudah daftar dan jadwal keluar, segera kabari saya. Bu Siska pasti akan jadi salah satu pengujimu."
Aku mengangguk. "Siap, Pak."
"Dan saya ketua sidangnya."
Aku tersenyum. "Mohon bimbingannya sampai detik terakhir, Pak Rafiq."
"Jangan terlalu tegang. Sidang skripsi enggak semengerikan itu—"
"Asal pengujinya bukan Pak Rafiq dan Bu Astuti."
Pak Rafiq tertawa pelan.
"Ada yang bilang begitu?"
"Iya. Kakak tingkat bilangnya gitu."
"Padahal saya merasa biasa-biasa saja."
"Itu kan kacamata Bapak. Beda lagi buat kami para mahasiswa."
Pak Rafiq meneguk minuman di depannya. "Ya sudah. Sana urus sisanya. Kalau bisa, hari ini juga sudah daftar."
"Lama-lama Bapak lebih semangat daripada saya."
"Memang iya. Karena kamu yang lulus membuka satu pintu untuk saya bergerak lebih maju."
"Pelan-pelan, Pak. Nanti saya takut kalau Bapak terlalu ngegas kaya gini."
Pak Rafiq tertawa lagi. "Saya ingin kamu tahu kalau saya seserius itu, Nin. Saya harus memastikan kamu tidak menyesal karena sudah melanggar prinsip demi saya."
"Baiklah." Aku nyengir.
Berikutnya, aku membuka tas dan mengeluarkan bekal makanan. Pak Rafiq agak bingung karena sebelumnya aku sudah memberinya donat lima biji.
"Pak, ini buat Bapak."
"Apa, itu?"
Aku menggaruk pelipisku sebentar. "Bapak kan jarang makan siang. Apalagi kalau sudah ada donat, dijamin enggak makan siang. Terus tadi pagi saya iseng bikin gado-gado. Saya cari makanan yang tetap enak walaupun dimakan waktu dingin. Tapi jangan berekspektasi lebih sama rasanya. Enggak akan ngeracunin, sih, cuma belum seenak masakan Bapak."
Bukannya membalas kalimatku, Pak Rafiq malah diam. Dia hanya menatapku tanpa mengatakan sepatah kata pun.
"Ini bumbunya tinggal tuang, ya, Pak. Saya taruh plastik biar enggak tumpah. Yang lain juga saya pisah-pisah biar enggak basi. Ada sambal juga kalau Bapak suka pedas. Kecap sama sausnya saya taruh di sini. Tinggal pilih, Bapak suka yang mana. Nanti racik sendiri sesuai selera." Aku membuka kotak bekal itu sebentar untuk menunjukkan isinya, lalu menutup lagi. "Oh, ada lagi kerupuk. Btw, gado-gadonya seratus persen buatan saya."
Pak Rafiq masih diam. Melihatnya begitu, aku jadi ikut diam.
"Bapak enggak suka gado-gadokah?" tanyaku pelan, berhati-hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Inevitable Feelings
RomanceAnindya Githa Prameswari (Anin), mahasiswa matematika semester tujuh yang sedang bergelut dengan tugas akhir. Di masa-masa terakhir kuliahnya, dia ditunjuk menjadi ketua angkatan oleh teman-teman satu jurusan. Itu mengharuskan dia sering berurusan d...