Bab 10. Gara-gara Macet

1.6K 243 94
                                    

Happy Reading!

Vote dulu, lalu komennnya jangan lupa.🫶

___

Aku seperti orang linglung ketika melihat roti di kotak bekalku habis. Ini antara nyata dan tidak, aku baru saja menyuapi Pak Rafiq makan. Memang tidak seluruhnya, karena pada ujungnya Pak Rafiq makan sendiri ketika kami antri di lampu merah.

"Fenia ini anaknya seperti apa, Anin?" suara Pak Rafiq memecah keheningan

"Ha? Fenia? Eee ... anaknya cukup pendiam, Pak."

"Tidak dekat dengan teman-teman?"

"Tidak, Pak. Paling hanya sekedarnya. Apalagi setelah dia sering opname dan jarang masuk."

Pak Rafiq mengangguk. "Saya agak menyesal karena belum sempat menjenguk, tetapi ya sudah. Mau bagaimana lagi."

"Perihal umur memang tidak ada yang tahu, Pak."

"Iya. Saya paham sekali tentang itu."

Tiba-tiba, atmosfer di dalam mobil berubah sendu. Kuberanikan menoleh ke arah Pak Rafiq. Dia tampak menatap jalan dengan ekspresi kurang enak dipandang. Aku menangkap gurat kesedihan di sana.

Aku yakin sekali. Berbicara tentang kematian pasti sangat menyakitkan baginya.

"Pak ... Bapak masih sering kangen dengan orang tua?" kuberanikan bertanya agar suasana di dalam mobil tidak terlalu hening.

"Itu pasti dan selalu. Dulu pernah ada masa di mana saya merasa dunia ini seperti neraka. Saya bahkan sampai dibully teman-teman hanya karena saya tidak memiliki orang tua." Pak Rafiq tersenyum getir. "Itu kenangan yang tidak bisa saya lupakan. Bahkan sampai detik ini. Memangnya siapa yang mau kehilangan orang tua secepat itu?"

Tanpa sadar air mataku sudah menetes. Rasanya aku tidak bisa membayangkan jadi Pak Rafiq sehari saja. Kedua orang tua sudah tidak ada, saudara satu-satunya pun sudah berkeluarga. Bagaimana dia menjalani hidupnya sehari-hari?

"Loh? Kamu menangis, Anin?" Pak Rafiq malah menertawakanku.

Aku segera mengambil tisu di atas dashboad dan mengusap air mataku sampai bersih. "Saya minta maaf, Pak. Enggak seharusnya saya bertanya seperti barusan."

"Tidak usah minta maaf. Saya sudah berdamai dengan semuanya."

Air mataku tak berhenti mengalir, padahal pembahasan sudah berhenti. Pak Rafiq semakin menertawakanku, membuatku keki sendiri.

"Makanya kamu harus banyak bersyukur karena kedua orang tuamu masih. Bahagiakan mereka semaksimal yang kamu bisa." Satu usapan pelan mendarat di kepalaku.

Aku hanya bisa membalas dengan anggukan berkali-kali. Aku juga tidak tahu kenapa aku terus menangis seperti ini. Tadi ketika Pak Rafiq mengatakan dia pernah dibully hanya karena tidak memiliki orang tua, hatiku ikut sakit. Sakit sekali.

"Pak Rafiq bisa masak?" tanyaku lagi, sengaja mengalihkan pembahasan. Air mataku sudah berhenti, tinggal hidungku saja yang masih agak merah.

"Kamu mungkin akan jatuh pingsan kalau makan masakan saya."

"Ini pingsan dalam apa dulu? Keenakan apa malah keracunan?"

Pak Rafiq tertawa pelan. Demi apa pun, aku selalu lebih suka melihat dia yang tertawa seperti itu daripada yang terlihat murung.

"Kamu akan tahu kalau kamu makan langsung. Nilai sendiri supaya lebih objektif."

"Bisakah?"

Mobil kembali berhenti di lampu merah, Pak Rafiq pun menoleh. "Kamu ingin mencoba?"

Inevitable Feelings Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang