Bab 24. Obat Mujarab

1.7K 231 89
                                    

                "Saya cuma bawa bahan makanan seadanya, jadi bisanya buat ini. Terus jangan bandingkan masakan saya dengan masakan Bapak," ujarku sembari meletakkan sup soun tahu di depan Pak Rafiq. "Bunda sering bikinin ini kalau saya sakit, soalnya makanan yang lain rasanya enggak enak. Eneg."

Pak Rafiq hanya diam. Dia masih mengamati sup yang kini tersaji di depannya. Ada setidaknya sepuluh detik suasana di antara kami benar-benar hening.

"Kalau enggak mau makan, saya makan sendi—"

"Jelas saya mau. Saya cuma sedang mengamati kira-kira apa saja yang kamu masukkan." Pak Rafiq mendongak, lalu tersenyum. "Terima kasih banyak, Anin."

"Terima kasihnya nanti saja."

Aku mengambilkan nasi di piring, juga air putih satu gelas. Setelah itu, aku mengambil tasku dan mengeluarkan paracetamol serta vitamin untuk daya tahan tubuh. Aku tadi menyempatkan mampir ke apotek. Feeling-ku persis sama seperti Mbak Iva, yakni yakin kalau Pak Rafiq sedang sakit.

"Itu semua diminum setelah makan. Saya habis ini mau langsung pulang." Pak Rafiq seketika berdiri dan menahan tanganku. "Kenapa, Pak?"

"Kamu sudah makan?"

Aku menggeleng. "Saya bisa makan di rumah."

"Itu kan supnya masih. Temani saya makan."

Aku menelan ludah. Jujur, aku sudah ingin sekali pulang karena tidak tahan dengan debaran jantung yang dari tadi terus menggila.

"Tadi cuma minta dimasakin—"

"Saya minta lagi buat ditemani makan."

"Saya enggak bisa—"

"Kamu grogi?"

Aku langsung diam. Itu jelas iya. Sejak Pak Rafiq menyatakan perasaannya, rasanya sulit sekali untuk bersikap biasa-biasa saja di depannya. Rasanya tak lagi mudah mengendalikan diri di saat aku tahu kalau perasaanku terbalas.

"Sudah sejauh ini, Anin."

"Ya sudah, iya."

Aku mengambil mangkuk, lalu menuangkan sup untuk diriku sendiri. Aku juga mengambil nasi di rice cooker dan menaruhnya di mangkuk yang sama. Aku suka mencampurkannya alih-alih menuangkan kuah di atas nasi.

"Kamu suka makan dengan cara itu?"

Aku mengangguk. "Iya. Soalnya nasinya lebih mudah ketelan."

"Saya mau ikutan."

Mau tidak mau, aku tersenyum ketika melihat Pak Rafiq menuangkan nasi ke dalam mangkuk sup dan mengaduknya. Ketika dia mulai menyuapkan sup ke dalam mulut, entah kenapa aku langsung menegang.

"Saya enggak akan berkomentar karena indra perasa saya sedang enggak berfungsi dengan baik."

"A-ah, iya juga. Ya sudah. Selamat makan, Pak."

Aku menarik kursi agar duduknya lebih berjarak dengan Pak Rafiq. Namun, Pak Rafiq justru menarik kursiku dengan arah berlawanan agar aku bisa duduk lebih dekat dengannya.

"Jangan terlalu jauh. Saya enggak akan macam-macam, jadi jangan takut."

Akhirnya aku pasrah. Aku mulai makan masakanku dalam diam. Harusnya sup buatanku enak, entah kalau di lidah Pak Rafiq. Sesekali aku meliriknya, dia terlihat makan dengan lahap.

"Enak, Pak?"

"Dengan kepekaan lidah yang sedang memburuk ini, masakanmu masih enak di lidah saya."

"Jangan bohong."

Inevitable Feelings Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang