"Serius, Nin?" Mata Raya membulat hiperbola. Dia terlihat sangat terkejut dengan berita yang baru saja kubawa.
"Iya. Ya kali aku bohong."
"Jackpot, dong?" dalam satu detik matanya sudah berubah berbinar. Memang Raya ini anaknya super ekspresif.
"Jackpot matamu!" Ezra menyahut lebih dulu, diiringi toyoran pelan di pundak Raya.
"Ya kalem, dong, Pentol Korek!"
Tanganku langsung terulur melerai begitu melihat Ezra dan Raya terlihat hendak baku hantam. "Jangan berantem di sini! Kalau mau, di halaman fakultas aja noh, lebih luas."
"Memang kalian ini baiknya jangan ketemu. Kalau ketemu hawa-hawanya mau perang dunia terus." Satya menghela napas pelan, merasa lelah dengan Raya dan Ezra yang sama-sama mudah tersulut emosi.
Perkenalkan, ketiga sahabatku. Mereka adalah Raya, Ezra, dan Satya. Raya anak Teknik Informatika dan Satya anak Tekni Mesin. Mereka satu fakultas. Semetara Ezra, dia anak Fisika. Dia satu fakultas denganku.
Kami berteman sejak SMA kelas dua. Entah kebetulan macam apa, kami keterima di universitas yang sama meski dengan jurusan yang berbeda. Menariknya, fakultas kami pun tidak terlalu variatif. Aku dan Ezra anak FMIPA sementara Raya dan Satya anak FT.
"Emang Pak Rafiq orangnya kaya apa, Nin, kok si Ezra ikutan ngegas? Padahal Pentol Korek satu ini anak matematika juga bukan." Raya melirik Ezra sinis.
"Rumor tentang Pak Rafiq kayaknya merebak satu fakultas, Ray. Jadi ya jangan kaget kalau Ezra tahu. Ya, kan, Zra?"
"Mana males banget gue sama temen satu jurusan yang kecentilan. Kaum-kaum rahim anget kalau lihat cowok ganteng. Pak Rafiq jelas masuk dalam daftar yang mereka incar."
Ah, aku lupa mengatakan ini. Selain Ezra, kami semua asli Jogja. Ezra sendiri yang asli Jakarta. Dia di Jogja tinggal bersama Kakek dan Neneknya. Jadi jangan heran kalau bahasa yang dia pakai campuran Jogja-Jakarta.
"Kaya Pak Rafiq mau ngelirik aja. Sekelas dosen, mana tahu mereka hidup." Satya menimpali.
"Riiil, cuy!" Raya manggut-manggut. "Jadi apa rumornya, Nin?"
"Sebelum bahas rumor, adik kelas nyebut Pak Rafiq itu bongkahan es kutub." Aku terkekeh.
"Oh, ya? Emangnya kenapa?"
"Dia banyak bikin mahasiswa nangis, Ray. Awalnya aku belum percaya, tapi begitu lihat sendiri ya ... gitu, emang."
"Itu Pak Rafiq yang keterlaluan atau mahasiswanya yang mental tempe?"
Aku mengedikkan bahu. "Barangkali dua-duanya. Sama satu lagi, kalau kasih nilai pelitnya kebangetan. Sebagian yang nangis ini ya karena dapat nilai D sama E. Enggak ada pilihan lain selain ngulang."
Raya melongo. "Ngeri juga, ya? Aku, sih, masih mau kalau bersahabat sama rantai karbon. Tapi kalau di bawah itu, terimakasih sekali. Semoga jangan sampai."
"Rantai karbon? Maksud lo C?" Alis Ezra bertaut.
"Yesss! C and C-." Raya nyengir.
"Udahlah, ya? Jangan bahas Pak Rafiq lagi. Mood-ku lagi enggak bagus bahas dia."
"Kenapa, Nin?" tanya Satya.
Ngomong-ngomong, di antara kami berempat Satya-lah yang paling kalem. Dia bukannya pendiam, hanya saja tidak terlalu banyak omong.
"Ya hawanya kalau ingat dia aku enggak tenang, Sat. Bayangin, ada dua beban besar di pundakku kalau ingat dia. Pertama, Skripsi. Itu prioritas utamaku. Kedua, aku jadi jembatan antara dia dan teman-teman. Ah, pusing! Monanges!"

KAMU SEDANG MEMBACA
Inevitable Feelings
RomanceAnindya Githa Prameswari (Anin), mahasiswa matematika semester tujuh yang sedang bergelut dengan tugas akhir. Di masa-masa terakhir kuliahnya, dia ditunjuk menjadi ketua angkatan oleh teman-teman satu jurusan. Itu mengharuskan dia sering berurusan d...