Happy Reading!
Vote dulu, yuk! Lalu komennya jangan lupa.♥️
___
Sesuai yang sudah disepakati, sehari sebelum pelepasan aku menemui Pak Rafiq di ruangannya untuk membahas tentang teorema yang sudah kupilih. Aku terpaksa mencetak jurnal utama karena jurnal yang sudah dicetak Pak Rafiq lupa tidak dibawa pulang.
Aku sudah menghubungi Pak Rafiq lebih dulu sebelum mencetak jurnal. Ini agar tidak terkesan aku tak menghargai pemberiannya. Aku bisa lupa dengan jurnal itu juga karena buru-buru kabur setelah dia mengusirku dari ruangannya.
"Saya setuju. Saya suka dengan teorema yang kamu pilih."
Lega. Lega sekali rasanya. Pak Rafiq langsung setuju dengan pilihanku.
"Terimakasih banyak, Pak."
Tidak ada sahutan. Pak Rafiq terlihat sedang menulis sesuatu di jurnalku. Berangkali itu catatan kecil yang harus segera kucari tahu maksudnya atau bisa jadi dia sedang menulis poin-poin penting yang harus segera kukerjakan.
"Kamu KKN berapa hari?" tanya Pak Rafiq tanpa menoleh. Di luar dugaan, ternyata dia menulis cukup banyak.
"Tiga puluh lima harian, Pak. Sudah termasuk pelepasan dan penutupan."
"Anggap saja bersihnya kisaran satu bulan?"
"Iya betul, Pak."
"Saya tidak akan menyuruhmu untuk bimbingan selama sebulan kedepan karena lokasi KKN-mu itu medannya agak sulit. Tapi perlu kamu ingat, setelah KKN selesai dan memasuki semester tujuh, sekalipun kamu masih kuliah, bimbingan skripsi akan mulai rutin. Saya ingin akhir semester tujuh skripsimu sudah kelar."
Aku terdiam cukup lama. Time line dari Pak Rafiq jelas bagus karena dia ingin anak bimbingnya cepat lulus. Namun, apa aku mampu mengikutinya?
"Pak, kalau misal pertengahan semester delapan apa boleh-boleh saja?"
"Kamu pesimis?"
Aku buru-buru menggeleng. "Bukan gitu, Pak. Maksud saya, saya ingin sedikit lebih menikmati masa-masa terakhir saya kuliah S1, termasuk masa-masa skripsian yang tidak datang dua kali. Tapi bukan berarti saya mau santai-santai."
Dari awal masuk kuliah, aku tidak pernah memaksakan diri ingin lulus cepat. Daripada cepat, aku ingin lulus tepat waktu. Karena delapan semester adalah waktu yang paling lazim, aku ingin lulus di semester delapan. Aku bukan mahasiswa yang terlalu ambisius, tetapi bukan pula mahasiswa yang seenaknya sendiri.
"Kamu bilang ingin menikmati masa-masa skripsian. Itu artinya, kamu juga ingin menikmati masa-masa bimbingan dengan saya. Semakin lama kamu lulus, semakin lama kamu berususan dengan saya. Begitu, kan?"
Mataku mengerjap. "Eee ... tapi maksud saya juga bukan gitu, Pak."
"Lalu?"
Aku kembali terdiam. Mendadak aku tidak memiliki jawaban yang bagus untuk membalas ucapan Pak Rafiq.
"Kenapa diam saja, Anin?" tanya Pak Rafiq sembari menutup jurnalku.
"Kalau begitu, bolehlah, Pak. Anggap saja, saya juga ingin menikmati masa-masa bimbingan dengan Bapak." Aku nyengir. Aku harap aku tidak salah bicara.
"Kalau begitu, sekalian saja kamu menunda-nunda sampai semester empat belas. Atau segitu juga masih kurang?" Itu balasan sarkas yang jelas menamparku.
Aku menunduk. "Maaf, Pak. Kalau begitu saya ikut Pak Rafiq saja."
"Sekarang saya tanya kamu, Anin. Kamu ada keinginan untuk lanjut S2 atau tidak?"
"Ada sekali, Pak." Aku kembali menegakkan kepala. "Tapi masih fifty-fifty."
KAMU SEDANG MEMBACA
Inevitable Feelings
Roman d'amourAnindya Githa Prameswari (Anin), mahasiswa matematika semester tujuh yang sedang bergelut dengan tugas akhir. Di masa-masa terakhir kuliahnya, dia ditunjuk menjadi ketua angkatan oleh teman-teman satu jurusan. Itu mengharuskan dia sering berurusan d...