Bab 32. Kemajuan Pesat

1.7K 201 66
                                    

                Ingin rasanya aku menghilang dari muka bumi saat ini juga. Saking tidak tahunya aku harus bagaimana, sejak tadi aku hanya bisa diam, diam, dan diam. Padahal, harusnya aku bisa mengenalkan Pak Rafiq dengan baik di depan kedua orang tuaku.

Sayangnya, lidahku terasa kelu. Aku tidak menyangka kalau pada akhirnya akan begini. Ayah dan Bunda memergokiku keluar dengan Pak Rafiq, yang mana di mata mereka Pak Rafiq adalah dosenku yang harus kuhormati, bukan kupacari. Belum lagi, tadi aku pamit ke rumah Raya. Aku merasa semakin berdosa karena ketahuan berbohong.

"Sebelumnya saya minta maaf, Pak, Bu. Sudah mengajak Anin pergi tanpa izin—"

"Saya yang enggak ngebolehin. Bapak selalu mau minta izin." Aku memotong cepat. Aku tidak ingin Pak Rafiq terlihat buruk di mata Ayah dan Bunda. Lagi pula memang hubungan ini dirahasiakan atas permintaanku, bukan permintaannya.

"Sudah berani bela laki-laki di depan Ayah sama Bunda, Nin?"

Aku menatap Ayah dan Bunda tak enak hati. "Tapi beneran Pak Rafiq selalu mau minta izin ke Ayah sama Bunda, tapi akunya aja yang enggak mau."

"Nin ..." panggil Ayah.

"Kenapa, Yah?"

"Kamu pindah tempat duduk dulu, ya."

"Yah—"

"Yang patuh."

Pak Rafiq menoleh padaku, lalu mengangguk. Dia juga tersenyum, seolah mengisyaratkan kalau dia baik-baik saja.

Di sini, yang tidak baik-baik saja justru aku. Aku yang takut kalau Ayah dan Bunda bicara kurang mengenakkan ke Pak Rafiq. Aku tidak ingin dia sakit hati atau semacamnya.

"Anin!" Ayah menekankan suara. "Cepet pindah. Enggak lama."

"Kamu pindah dulu, Nin." Pak Rafiq berujar pelan, dan akhirnya aku mengangguk.

Aku mengambil minumanku, lalu pindah ke meja yang cukup jauh. Ngomong-ngomong, saat ini kami sedang berada di sebuah cafe yang lokasinya dekat dengan indomaret tempat aku dan Pak Rafiq kepergok.

Tadi Ayah dan Bunda tidak banyak berkomentar dan langsung mengajak ke cafe ini. Memang kurang bagus juga kalau ngobrol di halaman indomaret. Tidak enak dan tidak bebas karena di sana banyak orang berlalu lalang.

Dari jarakku duduk saat ini, aku tidak bisa mendengar suara mereka. Selain karena jauh, juga tertutup backsong cafe dan hiruk pikuk pengunjung lain.

Sampai detik ini, dadaku belum juga berhenti berdebar. Aku benar-benar takut Ayah dan Bunda bicara kurang mengenakkan. Aku juga tidak tahu kenapa aku sepeduli ini dengan hati Pak Rafiq. Padahal, aku yakin dia lebih tenang daripada diriku sendiri.

"Mereka ngomongin apa aja, ya?" aku menggumam sembari terus fokus menatap ke arah mereka bertiga. Dilihat dari ekspresi mereka saat ini, sepertinya obrolannya cukup santai.

Aku ikut tersenyum ketika melihat Bunda dan Pak Rafiq tersenyum. Entah apa yang mereka bicarakan sampai kompak tersenyum seperti itu.

Lama-lama melihat mereka, aku menangkap bahwasannya Bunda seperti kagum dengan Pak Rafiq. Beliau tahu siapa Pak Rafiq sudah sejak lama karena aku sering cerita. Akan tetapi, malam ini adalah kali pertama beliau tahu wajah Pak Rafiq.

Sebelum ini aku tidak pernah memberi tahu Bunda tentang wajah Pak Rafiq, bahkan di foto sekalipun. Aku hanya cerita tentang bagaimana orangnya saja, termasuk tentang gosip gay yang menimpanya.

Dulu aku berani cerita banyak hal ke Bunda tentang Pak Rafiq karena aku tidak pernah menyangka kalau aku dan Pak Rafiq akan sampai di titik ini. Jangankan menjalin hubungan spesial. Menjadi dekat saja, dulu aku tidak berani berekspektasi.

Inevitable Feelings Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang