Prolog

5.5K 419 101
                                    

               Sore ini hujan turun lagi. Pohon Sukun di samping fakultas mengugurkan daunnya bersamaan dengan angin yang berembus sangat kencang. Suaranya sedikit mengerikan, membuatku semakin enggan beranjak dari tempatku duduk saat ini.

"Anindya udah pulang?" terdengar suara yang sangat familiar di telinga. Itu milik temanku, Fikri.

"Kenapa, Fik?" aku menyahut di antara keramaian teman-teman yang belum beranjak dari kelas. Kami baru saja selesai kuliah Matematika Diskrit.

"Untung kamu belum pulang, Nin. Itu, kamu dipanggil Bu Dika."

"Sekarang juga?"

"Yess!"

Aku segera mengangguk. "Oke, habis ini aku naik ke ruang dosen."

Nama Dika biasanya identik dengan nama laki-laki, tetapi Dika yang ini adalah perempuan. Beliau adalah Dosen Pembimbing Akademikku, atau kalau lebih mudahnya, beliau ini seperti wali kelas untuk satu angkatan. Jika mendapati kesulitan atau kebingunan dalam aktivitas akademik, aku dan teman-teman satu angkatan akan mendiskusikannya dengan beliau.

"Cepet, Nin. Ditunggu katanya."

"Iyaaa. Ini lagi matiin laptop."

Aku berjalan cepat menuju ruang dosen yang ada di lantai dua. Fakultas masih ramai karena kebanyakan mahasiswa terjebak hujan dan tidak bisa pulang. Rasanya terlalu nekat kalau menerjang hujan angin seperti ini. Sungguh berbahaya. Lebih ditakutkannya lagi, bisa-bisa tertimpa pohon atau tiang listrik yang tumbang di jalan.

"Sore, Bu Dika ..." sapaku pelan begitu masuk ruang dosen. Tidak seperti lantai satu yang masih ramai dengan mahasiswa, ruang dosen justru terlihat sangat sepi. Aku hanya mendapati Bu Dika saja, tidak ada satu pun dosen lain.

"Oh, sini, Mbak Anin." Bu Dika langsung berdiri begitu melihatku. "Belum pulang, Mbak?"

"Belum, Bu. Hujan di luar deras sekali. Anginnya kencang pula."

"Silakan duduk dulu, Mbak." Bu Dika mempersilahkanku duduk di kursi yang ada di depan meja beliau.

"Terimakasih, Bu."

Hening. Bu Dika tampak menatap layar laptop dan mengetik sesuatu.

"Ruangannya sepi sekali, ya, Bu?" tanyaku mencoba basa-basi.

"Iya, Mbak. Sebagian masih ada kelas, sebagian lagi entah ke mana. Mungkin ada yang di Lab atau bahkan sudah pulang"

Aku mengangguk, juga meringis canggung. Bu Dika ini sebetulnya baik, hanya saja aura beliau sangat kuat. Aku selalu merasa beliau ini memiliki sisi yang membuat orang lain segan.

Mungkinkah beliau ini tipe Alpha Woman?

"Mbak Anin jadi dipilih teman-teman buat jadi ketua angkatan, ya?"

"Iya, Bu, jadi. Padahal harusnya tidak ganti tidak apa-apa, kan, ya? Besok habis KKN teman-teman langsung mulai aktif skripsian. Sebagian besar memang masih kuliah, termasuk saya, tapi mungkin hanya beberapa SKS saja."

"Enggak papa, Mbak, terima saja. Itu artinya teman-teman percaya sama Mbak Anin. Termasuk saya, saya lega kalau ketua angkatannya ganti Mbak Anin."

"Kenapa, Bu, memangnya?"

"Saya lebih tenang melepas anak-anak ke Pak Rafiq kalau ketua angkatannya Mbak Anin. Kepemimpinan yang baik tidak selalu datang dari laki-laki."

Mataku seketika mengerjap. "M-maksudnya melepas anak-anak ke Pak Rafiq itu gimana, ya, Bu—"

"Maaf, Bu Dika, saya terlambat. Saya baru ada kelas." Kalimatku terpotong oleh suara berat yang masih asing di telinga. Begitu aku menoleh, Pak Rafiq datang dan langsung duduk di kursi salah satu dosen.

Inevitable Feelings Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang