Bab 30. Ketahuan?

1.7K 208 114
                                    

                Akhirnya, tiba juga hari di mana aku sidang. Sebelum masuk ruangan, aku ditemani ketiga sahabatku — Raya, Ezra, dan Satya— juga beberapa teman lain dari jurusan seperti Fikri, Hanafi, dan Nida.

Aku bukanlah mahasiswa pertama dari angkatanku yang sidang. Sudah ada dua orang, dan dua-duanya sidang kemarin. Itu artinya, aku ketiga.

Sidang berjalan dengan lancar. Memang ada beberapa pertanyaan yang membutuhkan waktu untuk menjawabnya, tetapi overall aku percaya diri dengan hasilnya. Itu terbukti dengan nilai yang kudapatkan. Semua tips yang diberikan Pak Rafiq sangat berguna untuk hari ini.

Bicara Pak Rafiq, hari ini dia potong rambut. Saat pertama kali aku melihatnya di ruang dosen tadi, aku agak kaget. Dia terlihat semakin tampan saja. Sayangnya, dia hanya melirikku sejenak sambil tersenyum.

"Selamat, sayangku Anin!" Raya si paling heboh langsung memelukku begitu aku keluar ruangan setelah dinyatakan lulus. Satya dan Ezra menyusul. Mereka tidak memelukku, melainkan hanya menepuk pundakku sembari menyerahkan bingkisan kado.

Selain mereka bertiga, teman-teman jurusanku juga berhamburan memberi selamat. Sebelum aku masuk, hanya ada enam orang yang datang. Namun, begitu keluar, dua puluh orang mungkin lebih. Aku sampai terharu melihat betapa ramainya.

Mereka ada yang hanya memberi selamat, ada yang membawakan bunga, ada pula yang menghadiahiku bingkisan kado sampai kalung ciki-ciki. Memang sudah adatnya begini kalau di kampusku. Kami saling merayakan pencapaian antar teman. Bagiku, buah tangan hanyalah bonus. Yang paling penting adalah kehadiran mereka yang ikut menyemarakkan.

"Habis ini makan bareng, ya. Aku yang traktir," kataku pada tiga sahabatku yang kini duduk menunggu di bangku panjang selagi aku sibuk dengan teman-teman angkatan.

"Siap, Nin!"

"Tapi aku ke ruang Pak Rafiq dulu buat nyerahin beberapa berkas."

"Atau jam setengah satu sekalian aja, Nin. Biar enggak nanggung," usul Satya.

"Oke, boleh."

"Mau di mana, btw?" tanya Raya.

"All you can eat yang biasanya aja, biar bisa sepuasnya."

"Siap!" Raya dan Ezra berseru kompak. Satya hanya mengangguk, tetapi senyumnya tercetak lebar.

Mereka bertiga langsung pergi begitu aku pamit ke ruangan Pak Rafiq. Saat ini masih jam setengah dua belas. Sidangku memang tidak terlalu lama. Hanya satu jam lebih sedikit.

Tok tok tok!

Aku mengetuk ruangan Pak Rafiq pelan. Setelah dipersilakan masuk, aku segera membuka pintu. Namun, aku dibuat terdiam begitu tiba di dalam. Bagaimana tidak, aku melihat ada bunga dan bingkisan kado di atas meja.

"Kenapa berdiri di situ?" tanya Pak Rafiq dengan wajah santai.

"Saya mau kasih berkas yang tadi." Aku meringis.

Setelah duduk, aku menatap meja dan Pak Rafiq bergantian. Pak Rafiq tersenyum.

"Selamat, Nin," ujarnya pelan.

"Terima kasih, Pak."

Pak Rafiq menatap meja, jadi aku pun mengikutinya.

"Buat saya?" tanyaku berhati-hati.

"Memangnya buat siapa lagi?"

Aku segera mengambil bunga dan bingkisan kadonya. "Terima kasih banyak, Pak."

"Kamu hebat tadi."

"Pokoknya terima kasih banyak untuk hari ini, Pak. Saya sampai enggak tahu lagi harus gimana bilangnya." Aku berujar sungguh-sungguh. "Oh iya, saya bawain sesuatu buat Bapak."

Inevitable Feelings Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang