Epilog

1.4K 28 3
                                    

Jangan lupa
Vote
Komen
Dan follow

***

Hiks

Hiks

Hiks

"Pa ini gimana hiks m-mama gamau kehilangan anak kita pa," isak seorang wanita yang tengah melihat seseorang mempertahankan nyawanya di dalam ruangan serba putih. Tak lupa dengan alat-alat di setiap tubuhnya serta para berjas putih mengelilingi orang tersebut.

"Tenang ma. Ini akan baik-baik saja," kata pria paruh baya yang sedang menengkan istrinya.

"Papa gimana sih. Gimana mama mau tenang kalau anak kita sedang di ambang hidup dan mati hiks"

Pria itu terus menenangkan istrinya serta menahan rasa sakit yang ada di hatinya. "Kita berdoa sama-sama. Semoga anak kita baik-baik saja."

"T-tapi pa hiks."

"Ssttt udah jangan di lanjut,"

"Mama gamau kehilangan anak mama satu-satunya hiks."

"Berani-beraninya nyelakain anak mama."

"Pa, p-pokonya papa harus kasih pelajaran sama orang yang sudah nyelakain anak kita pa."

Pria itu mengepalkan tangannya kuat-kuat. Suara isakan istri dan anaknya yang sedang mempertahankan nyawanya membuat dia mengeram marah, pria itu mengertakan rahangnya serta menahan emosi yang kapanpun bisa melonjak dan meledak.

'Tanpa mama suruh, papa udah ngelakuin yang terbaik untuk anak kita. Papa akan nyari tahu siapa dalang yang sudah nabrak anak kita. Lihat saja nanti!' batin pria itu.

Cklek

"Gimana kondisi anak saya dok?"

Dokter tersebut menghela nafasnya lalu menatap sepasang suami istri itu dengan lesu.

"Dok kondisi anak saya gimana?"
"JAWAB DOK JANGAN DIAM TERUS!"

Pria itu memeluk istrinya seraya memberikan kekuatan padahal dirinya sendiripun sama halnya dengan sang istri. Sangat rapuh melihat orang yang disayang terbaring dengan alat-alat asing di tubuhnya. "Ma, sabar."

Dokter tersebut menggelengkan kepalanya. "maaf buk, pak tetap--"

Bruk

Wanita itu pingsan disaat dokter tersebut ingin memberitahu kondisi anaknya. Untung saja pria yang menjabat sebagai suaminya memeluk wanita itu dengan erat.

"MAMAAAAA!"

***

"Diva maaf. Maafin Al," Liriknya yang menatap Diva tengah berbaring dengan peralatan yang menempel di tubuhnya. Aroma rumah sakit itu tercium di hidungnya. Sudah dua minggu Diva menutup matanya tanpa ada perkembangan, sudah dua minggu juga Al bolak-balik menjenguk Diva.

"Ayok bangun,"

Al mengambil jari jemari Diva. "Maafin Al, seharusnya suprise itu menyenangkan ini malah sebaliknya. Seharusnya kita punya kenangan hari itu. Seharusnya Al ga ngasih suprise hari itu, seharusnya suprise nya bukan di tempat itu. Maaf Al salah."

ALDERALD (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang