06. Different First Impression

109 16 4
                                    

Mata bulat Chaerra mengikuti tubuh Jeiden yang berdiri di kasir cafe. Retina mata gadis itu berputar malas, muak sendiri melihat tubuh tegap dan tinggi Jeiden yang tadi datang ke kursi menanyakan pesanan Chaerra, berikutnya kembali lagi ke kasir. Lalu sekarang pemuda itu tampak terlihat lagi berjalan mendekat.

”Yang recommended nasi gareng sea food-nya, lo serius mau pesen spageti.”

Chaerra bergumam malas. ”Makin bongsor entar badan gue makan nasi.”

”Ya elah, lo kurus kering gini,” cibir Jeiden menarik tempat duduk, ”badan lo tinggi, jadi pantes-pantes aja kalik kalau gemuk dikit.”

Sejujurnya Chaerra sudah tau apabila apa yang Jeiden utarakan dari dulu adalah sebuah bahasa yang seharusnya tidak ia pedulikan. Pemuda itu sering mengoceh, berlagak menjadi seorang perundung, dan melakukan berbagai hal yang selalu membuat Chaerra meludah ke arah pemuda itu. Sejak awal masuk kelas XI saja, kursi Jeiden sudah jadi kursi pertama yang Chaerra tendang akibat tingkah tengil pemuda itu sangat luar biasa.

Bola mata Chaerra naik, melirik tajam. ”Jei, gue serius ya, jangan sampai besok lo gue jadiin manusia panggang.”

”Kayak lo doyan daging gue aja.”

”Siapa yang sudi makan daging lo?” tanya Chaerra mendelik sinis. ”Gue kasih makan ke anjing lebih pantes.”

Jeiden memegangi dadanya berlebihan, dengan ekspresi kesakitan seolah baru saja ditikam pisau. Pemuda itu kembali berdrama membuat Chaerra makin mendengus dengan ekspresi merendahkan, benar-benar bersiap maju dengan tangan naik bersiap mencekik Jeiden. Beruntung tidak ada barang apapun di depannya untuk ia sahut dan lempar ke wajah tampan Jeiden.

Hampir semua barang di dalam tas Chaerra sudah pernah menimpuk kepala pemuda itu. Mulai dari buku, pensil, bolpoin, kotak pensil, bahkan tas Chaerra dengan isi penuh juga pernah mengenai kepala pemuda itu yang selalu berhasil membuat Chaerra naik pitam. Jeiden seolah tidak kapok untuk terus bersikap tengil, bersikap seenak jidat, dan bersikap menyebalkan lainnya.

”Sorry-sorry, Chaer,” ujar pemuda itu segera, panik sendiri segera beranjak dari kursi menjauh, ”bercanda bercanda, peace.”

”Lo sekarang bilang gue kurus kering, entar lima detik yang akan datang bilang gue bongsor gemuk. Sekarang bilang tinggi, entar bilang pendek. Mau lo apa sih sat?“ tanya Chaerra dengan suara tertahan gemas.

”Lihat situasi Chaerra,” jawab Jeiden mencoba tenang, ”lo kan kalau di antara yang lain tinggi. Tapi kalau dibanding gue ya pendek lah. Terus kalau dibandingkan orang yang bongsor, ya lo kurus. Tapi kalau dibanding anak kelas yang badannya kecil-kecil ya lo masuk gemuk.”

”Terus konteks sama omongan lo tuh apa?” bentak Chaerra galak. ”Ngomong ngalor ngidul gak jelas, kayak orang stress.”

”Omongan gue jelas lho tadi anjir.”

”Ya itu gak bisa jadi alasan logis kenapa omongan lo gak konsisten ya anjing!” amuk Chaerra kembali ingin meraih benda apapun yang berakhir dengan hanya memegang angin, ingin melemparkan pukulan pada Jeiden. ”Apa lo sekaya itu sampai tiap detik ganti mata makannya pandangan lo bisa berubah-berubah terus.”

”Asal lo tau ya, pandangan gue ke lo dari awal kelas XI sampai detik ini tuh gak berubah,” ujar Jeiden sedikit maju dengan wajah turut tak bersahabat menunjuk gadis di hadapannya, ”lo galak.”

”Gue galak aja lo makin lama makin ngelunjak, gimana gue gak galak?” sentak Chaerra kehabisan kesabaran, masih mengarahkan kepalan tangan ke arah Jeiden.

Bukannya takut, Jeiden justru terbahak. Bahu pemuda itu sampai bergetar dengan wajah merunduk menahan tawa membuat Chaerra jadi mengerutkan alis heran. Pemuda itu bergerak maju, menurunkan tangan putih layaknya vampire yang sudah mengarah padanya supaya dapat duduk dengan tenang.

Hi... BoyfriendTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang